“Tiba-Tiba Langit Flobamora Dikerubung Kabut…”: Puisi Politis Gerard N. Bibang

Itu adalah sepenggal kalimat puitik Gerard N. Bibang dalam puisinya “Saat Tintamu Habis”. Puisi ini merupakan satu dari antologi tulisan bertenaga dalam buku berjudul “Gereja itu Politis, dari Manggarai-Flores untuk Indonesia” (2012). Gerard N. Bibang (selanjutnya GNB) adalah seorang yang saya kenal dalam dunia sastra (puisi). Dia pernah menabiskan dirinya sebagai seorang “petani humaniora”. GNB pun seorang penyair humanis.

Bahwa seorang humanis selalu berjalan menghadap hamparan cakrawala luas tetapi tidak pernah melupakan jejak-jejak konstruksi langkahnya. Inilah pesan singkat Milan Kundera tentang humanisme. Humanisme adalah der kampf der erinnerung gegen das vergessen (perjuangan ingatan melawan lupa). Manusia diaspora yang terlepas dari tanah asalnya selalu terpanggil untuk menyetuh rahim asalnya itu. Sisi perjuangan tidak hanya sebatas melayangkan kenangan tetapi berpikir rahim asalnya. Lupa berarti jiwa  ke-Manggarai-an itu terkubur seperti ari-ari yang tak memiliki tubuh dan jiwa.

Rahim congka sae telah melahirkan putri-putra Manggarai. Manggarai tidak saja melahirkan tetapi memberi susu dan madu untuk membesarkan anak-anaknya itu. Memasuki abad XXI, bumi congka sae mendapati wajahnya yang bopeng. Karena kepentingan ekonomi dan politik, tanah Manggarai digadaikan. Pertambangan merangsek masuk dan mengesktradisi kultur pertanian yang sejak lama memberi asi kepada putri-putra Manggarai. Penguasa daerah, Lakimangir (dalam diksi GNB), sekangan menggali kubur untuk rakyatnya sendiri. Penyair mendapati keserasahannya yang mendalam. “Kampungku akan hilang dalam peta/rahim bumiku tersayat-sayat buldozer tambang dan isinya dibuang ke empat benua/ natas, uma dan orang-orang akan dihujam ke dasar lima samudera/kampungku akan hilang dalam peta.

Bagi orang Manggarai, tanah, natas dan uma, memiliki makna yang sangat sakral. Ekspresi sakralitas tersebut dinyatakan dengan ritual adat  ketika orang Manggarai hendak membuka uma, sawah baru atau merayakan hasil panen dan lain-lain. Substitusi uma menjadi lahan tambang bisa dianggap sebagai pemerkosaan terhadap kultur dan adat-istiadat orang Manggarai. Orang Manggarai “dihujam ke dasar lima samudera”.

Puisi adalah ekspresi humanitas yang sangat bertenaga.  Merayakan puisi berarti merayakan kedalaman jiwa. Puisi, mengutip Sam Lasman, kolumnis Yale Daily News, “…enrich(es) our human experience by linking lonely existences in a chain of communion” . Dengan puisi “Saat Tintamu Habis”, penyair memeluk rasa ke-Manggarai-annya dan bergumul dengan luka ketidakadilan yang sedang meradang di tanah congka sae. Di sana, pemimpin telah bermetamorfosa menjadi penguasa. Sebagai penguasa, Lakimangir lebih tunduk kepada pemodal sambil memagari rakyatnya dengan berlaksa-laksa retorika. GNB menulis “… dan Lakimangir tahu kampungmu perlahan-lahan tenggelam tidak hanya dalam/ lumpur tambang tetapi juga dalam timbunan retorika”.  Penguasa seakan merayakan “parkinson” dini. Gestur lupa seperti ini filsuf Jacques Lacan menyebutnya fetishist disavowal: “I know, but I don’t want to know that I know, so I don’t know”.  Atau Lakimangir knows it, but he refuses  to fully assume the consequences of this mining, so that he can continues acting as if he don’t know it.  Mengapa demikian? Penguasa sudah ganjen terhadap kekuasaan; harta dan tahta. Benar kata Cicero, “tidak ada benteng yang demikian kuat dimana uang tidak dapat memasukinya”. Lalu, retorika memberi lapis chrome untuk membungkus lubang kebusukkannya.

Retorika semakin tambun ketika gebyar politik suksesi menyilaukan hasrat pengusa. “… dia bernafsu ke kampungku untuk menjadi gubernur/untuk melaksanakan satu cara kesejahteraan baru/ kata Lakimangir: ‘dari lumpur tambang, kau akan sejatera seumur hidupmu’”.  Dari puisi ini, penyair sedang melihat sisi dalam gadai politik suksesi yang sedang berlangsung. Dalam penerangan penyair Prancis, Yves Bonnefoy, kita melihat lebih jelas gadai politik tersebut dalam puisi “Du Mouvement et de I’immobilite’ de Douve”, “… Mati tanah yang dulu kau sayang. Aku datang/ Dengan langkah kekal lewat jejalankau yang muram/ Kurusak hasratkau, rupakau, ingatankau/ Akulah musuhkau yang takkan punya kasihan”.

Puisi “Saat Tintamu Habis” adalah statement politis (political statement). Penyair berpolitik dengan caranya sendiri. Ia menyuarakan rasa hati rakyat yang tidak mau didengar oleh penguasa. Penyair Goenawan Mohamad pernah mengatakan politik sejatinya “politik yang senantiasa memperbaiki demokrasi”. Di negeri congka sae, demokrasi hanya berhenti pada momen pilkada. Selanjutnya demokrasi berubah wujud dalam rupa kleptokrasi. Demokrasi tidak lagi dirayakan dalam penghargaan atas bangunan perbedaan (dissensus-Jacques Ranciere) tetapi malah bermuara pada penyempitan konsensus dan loby politik tingkat elit penguasa dan pemodal. Dalam bahasa penyair Remy Sylado dalam puisinya “Aku”, politik loby berarti “siapa punya uang, dia punya taring”. Maka jadilan petaka di tanah Manggarai.

Karena kata adalah senjata, maka amunisinya adalah penolakan terhadap kesewenangan penguasa di Manggarai. Bahwa penyair menolak mentah-mentah kebijakan-kebijakan yang tidak peduli terhadap nasib rakyat. “Oh Lakimangir, ketahuilah!/ aku tidak ingin kau datang ke sini”. Ekspresi penolakan terhadap presentasi Lakimangir adalah strategi perjuangan rakyat untuk terjerat dalam rantai kekuasaan yang loba. Kehadiran penguasa hanya akan memperdalam ngarai penderitaan. Dalam pada itu, penguasa sangat narsis pada apa yang sudah dilakukan. Penguasa terlalu banyak berbuat (sehingga terjadi bancana dan chaos di mana-mana) tetapi tidak berpikir (tentang harmoni kebersamaan dan kesejahteraan rakyat).

Sebuah anekdot menarik diceritkan kembali oleh filsuf Slavoj Zizek dalam bukunya “Violence” (2008, hal. 11).  “ a German officer visited Picasso in his Paris studio during Second World War. There he saw Guernica and, shocked at the modernist ‘chaos’ of the painting, asked Picasso: ‘Did you do this?’ Picasso calmly replied: ’No, you did this!’   Masuk dalam realitas di tanah congka sae, dijumpai banyak jebakan hedonisme, pragmatisme, konsumerisme, perilaku banalitas, mental proyek dan lain-lain yang memakan korban. Tindak korupsi berjamaah di setiap gradasi jabatan merebak. Fenomena “kupon putih”, HIV-AIDS, kelindanan ojek dan lain-lain mewarnai rutinitas rakyat. Dalam bahasa GNB, masyarkat tinggal di “lumpur tambang”, luka-lukanya terhujam ke ulu hati. Apakah masyarkat yang membuat semua itu? Jawabannya, seperti Picasso: Tidak! Elit Penguasa yang membuatnya. Jadi, jika ada yang meragukan keberadaban rakyat Manggarai atau Flobamora maka yang harus diperiksa adalah laku penguasa dan elit-elitnya.

“Tiba-tiba langit Flobamora dikerubung kabut”. GNB seakan merasakan harmoni alam Flobamora yang meradang, marah. Penguasa lagi-lagi hendak menabuh lama rasa kekuasaanya dengan menancapkan phallus kuasanya pada ibu Flobamora. Flobamora akan terus dirundung “kabut” kemiskinan dan kesengsaraan jika praktik korupsi politik tersebut terjadi. Dengan sinis, GNB menulisnya sebagai berikut: “retorika Lakimangir  belum selesai-selesai”.  

Penyair merasakan hatinya “semakin sakit bagai teriris sembilu”. Sakit hati penyair adalah kesengsaraan rakyat yang dirasakan penyair. Melalui guratan puisinya, penyair  “berkata benar pada kuasa”. Hal itu semata untuk menjaga kewarasan dan keberadaban bangsa, rakyat Flobamora. Penyair, GNB, pasti akan terus menguraikan air mata Flobamora selama pemimpin heroik belum tiba.

Djogja, 10 September 2012
Alfred Tuname            

Komentar