andang antara penonton dan layar (screen). Penonton membiarkan film dalam keberjarakan itu sehinga mereka dapat memasukinya dalam ruang fantasi dan melihatnya sebagai ruang yang melampaui dari realitas kesehariannya. Interpretasinya adalah film dibuat tidak untuk melayani hasrat penonton, melainkan bagaimana cara untuk berhasrat (how to desire)2.
Dalam
konteks “how to desire”, pembuatan film sering masuk dalam
perangkap penggunaan bentuk pengetahuan rasional dan irasional dan
pengalaman untuk menciptakan apa yang oleh Walter Benjamin disebut
sebagai “Profane Illumination”. Artinya, aspek-aspek
realitas digunakan sebagai material dan inspirasi antropologis, guna
menciptakan kesadaran transformatif potensial bagi kekinian.
Membaca
“teks” pada Film The Dreamers adalah membongkar struktur
ideologis sekaligus menelusuri gorong-gorong cara berharsrat yang
hendak “ditawarkan” dalam film. Bagaimana pun, selain sebagai
sebuah karya estetis, film juga menyiratkan ideologi yang hendak
dipertentangkan dengan ideologi-ideologi dominan. Atau boleh jadi,
film itu sendiri merupakan representasi dari sebuah ideologi dominan
itu sendiri.
Sinopsis
The
Dreamers
(2003) merupakan film yang disutradarai Bernardo Bertolucci.
Bertolucci adalan serorang sutradara kawakan yang banyak memproduksi
film seperti Before
the Revolution (1965), The
Spider's Stratagem (1970), The
Conformist (1970), Last
Tango in Paris (1972), The
Last Emperor (1987),
and The
Sheltering Sky (1990).
Film The
Dreamers
diperankan oleh aktris Eva Green dan aktor Louis Garrel dan Michael
Pitt.
The
Dreamers bercerita tiga tokoh yang memiliki relasi yang intim.
Saat itu, Prancis bermusim semi di tahun 1968. Kakak beradik (kembar
siam) Theo (Louis Garret) dan Isabelle (Eva Green) adalah pencita
film. Meraka menyebut dirinya sebagai pecinta film (cinephile).
Kelompok seperti ini tidak saja gemar dan menikmati penayangan film
dalam bioskop, tetapi juga ikut berjuang melawan kebijakan-kebijakan
pemerintah yang mengkastrasi dunia per-film-an.
Pada
sebuah aksi melawan demonstrasi, Theo dan Isabelle bertemu dan
kemudian bersahabat dengan seorang mahasiswa yang sedang belajar
bahasa Prancis, asal San Diego, Chicago, USA, bernama Matthew.
Kegemaran yang sama pada film membuat Matthew semakin jadi “one
of us” dalam kehidupan Theo dan Isabelle.
Intimasi
ketiga pemuda/pemudi tersebut terjadi ketika Theo dan Isabelle
mengajak Matthew untuk mengujungi dan menginap di rumah mereka.
Mattew disambut baik oleh ayah (penyair) dan ibu mereka. Dan ketika
orang tua Theo dan Isabelle berpergian keluar kota, Matthew
meninggalkan apartement-nya dan menginap di rumah Theo dan Isabelle.
Di rumah itu, mereka berdiskusi tentang film sekaligus meniru adegan
memorable
dalam film (film klasik Bande
à Part (1964),
Scarface (1932),
Blonde Venus (1932).
Taruhan menebak judul film dalam setiap adegan film ditiru menjadi
semacam testing akan kegemaran film. Hukumannya adalah masturbasi
(Theo) dan seks (Isabelle dan Matthew). Mereka juga berdiskusi
tentang politik dalam perang Vietnam. Di luar rumah, ada aksi
demonstrasi kelompok maoist melawan pemerintah yang memberi tekanan
penting dalam seting Prancis tahun 1968. Akhir intimasi Matthew dan
si kembar siam adalah aksi demonstrasi, ketika Theo dan Isabelle
meninggalkan Matthew sendirian di tengah massa demonstran.
Overture
Film
The Dreamers sepertinya menceritakan sebuah intrusi yang jusru
didambakan. Theo dan Isabelle mendambakan orang ketiga untuk
memecahkan kantungan mimpi mereka yaitu melebihi rekor menelusuri
koridor museum seperti dalam film Sunset Boulevart. Matthew adalah
sang intruder tersebut. Kenyamanan (Lacanian imaginary)
sang kembar siam dalam merituskan hari-hari hidupnya tidak dirusaki
oleh sang intruder, justru mengaktifkan kehidupan mereka.
Di
sini, Matthew bertindak sebagai vanishing mediator yang hadir,
lantas terlepas dari kehidupan Theo dan Isabelle. Kehadiran Matthew
menegaskan watak “keakuan” sang kembar siam itu. “Keakuan”
kembar siam tersebut terjadi melalui proses subjektivasi dengan
kehadiran Matthew. Theo merupakan representasi sisi animus
Isabelle. Hal ini ditandai permintaannya kepada Theo untuk melakukan
masturbasi. Isabelle merupakan representasi sisi anima Theo. Juga
ditandai dengan permintaanya kepada Isabelle-the virgin-untuk
melakukan hubungan seks dengan Matthew. Pandangan voyeur
mereka (Theo dan Isabelle) menegaskan subyek yang satu dalam
keterbelahan (anima dan animus).
Seks
dan masturbasi hanyalah bagian dari pengalaman subyektivasi. Seperti
penjelesan Jacques Derrida, “to
be in the World is to be marked by discourse, marked even in the our
flesh, body, sex and so on”3.
Karenanya, fantasi mimetik dalam mengikuti adegan memorable film
harus terekspresikan. Sang kembar siam membutuhkan vanishing
mediator
untuk melakukan itu. Tanpa itu, subyektivasi selalu gagal. Goetz
menulis dalam Lucifer
and the Lord,
“I
shall remain alone with this empty sky above me, since I have no
other way of being among men”4.
Lantas,
permainan hasrat yang terjadi dalam diri Matthew sejatinya “desire
of other”.
Yaitu hasrat yang dimaikan oleh sang kembar siam. Ia pun tidak
berhasil mendapatkan Isabelle dalam permainan hasrat itu. Bangunan
rasa cinta yang tumbuh dalam diri Matthew justru berkembang menjadi
idea bahwa cinta hanyalah varian dari hedonisme yang merajalela5.
Toilet
Dalam
artikelnya berjudul “La Musique Méecanique” (3/6/1923),
Émile Chartier, kemudian dikutip Alain Badiou, menulis “the art
of the screen has been dead since its birth owing to the absence of
man”. Itu berarti film selalu menyajikan kemanusian dengan
segenap perjuangannya. Di sini, selalu ada anasir perjuangan
ideologis yang terus mengalir dalam film sebagai “teks”. Maka The
Dreamers pun menjadi menarik untuk dibedah dalam pisau
pertentangan ideologis.
Matthew
merupakan figur yang merepresentasikan pragmatisme Amerika (dan
capitalism with Asian values). Pragmatisme ini mengintrusi
komunisme Maois yang tersepresentasi dari dalam diri sang kembar
siam. Pragmatisme itu tercermin dalam sikap-sikap Matthew yang
mengkalkulasi secara rasional apa yang terjadi dengan Theo dan
Isabelle. Sikap rasional egotistikal nyaris terus mengambil sikap
kontra terhadap alam pemikiran Theo. Basis pandangan berbeda atas
peritiwa perang Vietnam menjadi titik perpotongan yang tidak saling
bertemu. Bagi Theo, perang Vietnam merupakan aksi genoside. Bagi
Matthew, peristiwa itu adalah bagian dari kisah heroik para serdadu
Amerika yang terlibat dalam politik perang dingin pasca Perang Dunia
II.
Perbedaan
pandangan itu juga dapat dimengerti dalam permainan metafora toilet
yang diceritakan Slavoj Zizek. Dikatakannya, saluran toilet tipikal
Amerika berlubang pendek (full
of water)
langsung ke septic
tank.
Sementara saluran toilet tipikal Prancis berlubang panjang kebelakang
lalu septic
tank.
Interprestasinya, bangunan peradaban Prancis dibangun oleh sejarah
panjang politik revolusioner kiri (radikal), sementara Amerika
memiliki basis liberal ekonomi yang kuat. Inilah yang terjadi antara
Theo dan Matthew. Tetapi keduanya justru dapat dipertemukan oleh
sikap Isabelle yang terbuka. Boleh jadi, itu merupakan sikap kompromi
“jalan ketiga” Anthony Giddens. Akan tetapi, sintesa jalan ketiga
itu pun tidak berhasil ketika masing-masing bagian memiliki tujuannya
yang berbeda. Sehingga pada akhirnya, Matthew menenguhkan prinsip
pragmatisme dengan memilih berpisah dengan Theo dan Isabelle dalam
satu event
revolusioner di Prancis Mei 1968. Aktivisme pelajar Mei 1968 melekat
dalam slogan “On
a rasion de se revolter”6,
tetapi bagi Matthew, semua itu adalah kamikaze yang irasonal. Dengan
demikian, “mimpi” merupakan aktivator politik, sebab di dalamnya
ada perbedaan padangan yang dipertentangkan secara rasional. Dari
narasi nosltagia film The
Dreamers,
mimpi (idealisme) menjadi realitas postalgis akan kehidupan yang
lebih adil dan damai.
Jogja,
Juli 2014
Alfred
Tuname
1
Orson Welles and Peter Bogdanovich, This is Orson Welles,
ed, Jonathan
Roscnbaum
(New York: Harper C ollins, 1992),2 17.
2
Slavoj Zizek, documentary film Pervert Guide To The Cinema
3
Alain Badiou, Pocket Pantheon (London: Verso, 2009) hlm. 133
4
Ibid, hlm. 16-17
5
Alain Badiou, In The Praise Of Love (Paris: Flammarion, 2009)
hlm. 8
6
Slogan Gauche prolétarienne: “it is right to rebel”
sy penggemar film dan ingin berdiskusi film, apakah ada forum di internet untuk berdiskusi film?
BalasHapus