Cepi Watu: “Anak Perawan di Sarang Penyamun”

Cepi Watu adalah nama salah satu pantai terindah di Borong, Kabupaten Manggarai Timur (Matim), NTT. Pantai ini menjadi ikon pantai pariwisata kebanggaan orang-orang Borong seklaigus corong pariwisata pemerintah daerah (Pemda) Matim. Keindahan pantai Cepi Watu telah dikenal sejak lama; sejak sebelum kabupaten Matim terbentuk di tahun 2008. Pantainya sangat tenang dan landai. Pesisir pantainya terdapat areal berpasir yang luas. Sehingga wisatawan lokal sering datang bermain-main di tempat ini. Sebelah barat pantai itu terdapat barisan bebatuan besar yang sangat indah dan gagah untuk menantang keangkuhan gelombang. 
Pembangunan ruas-ruas sekitar pantai Cepi Watu menandakan persiapan Pemda Matim mendukung infrastruktur pariwisata daerah. Pemda membangun semacam taman kecil di pesisir pantai, lengkap dengan permainan-permainan anak-anak. Ada pun pembatas pantai yang kokoh menahan abrasi ombak pantai. Sementara di dekat pintu masuk pantai telah dibagun halaman yang cukup luas, lengkap dengan atribut simbol rumah adat. Di tempat ini, pemerintah dan masyarakat biasanya mengadakan acara pantai atau acara pementasan terkait budaya dan pariwisata daerah.
Pantai Cepi Watu sangat sering dikunjungi wisatawan lokal yang hendak menikmati suasana pantai. Wisatawan itu biasanya datang untuk mengusir kepenatan kota dan menikmati jamahan angin pantai. Borong terlalu panas di siang hari sehingga pantai menjadi tempat yang cocok untuk sekadar beristirahat. Selain itu, orang dari daerah pegunungan juga sering datang menikmati hangatnya air laut pantai Cepi Watu. Hari minggu dan hari libur adalah waktu-waktu yang paling sering dipilih orang untuk memadati pantai Cepi Watu. Barisan pasangan muda-mudi dan kelompok-kelompok keluarga besar berkumpul menikmati suasana pantai. Lingkar-lingkar senyum pun gelak tawa bertabur bersama deru ombak dan angin pantai di Cepi Watu.
Cepi Watu sendiri punya cerita penamaan. Nama Cepi Watu sendiri diberikan oleh para nelayan yang lebih dahulu mendiami daerah sekitar. Mereka adalah orang-orang Ende. Mulanya, Cepi Watu bernama sepi watu. Dalam bahasa Ende, sepi artinya pesisir, watu artinya batu. Sepi watu berarti batu-batu pesisir. Dahulunya, daerah Cepi Watu terdapat banyak bebatuan dan luas sampai ke bibir pantai. Karena abrasi, sebagian batu sudah tenggelam dan menjadi alas pantai. Seiring perjalanan waktu, nama sepi watu berubah menjadi Cepi Watu. Sepi watu adalah nama yang berikan untuk daerah pantai yang berbatuan besar dan bukan di daerah yang berpasir. Daerah yang berpasir ke arah timur sebenarnya bernama Watu Reku. Saat itu, Watu Reku menjadi kampung nelayan. Watu Reku juga dinamakan oleh para nelayan yang tinggal di bibir pantai itu. Dalam bahasa Ende, watu artinya batu, reku artinya bangun. Ceritanya, dahulu masih terdapat batu berukuran besar dan berlubang di bibir pantai. Batu itu akan mengeluarkan gema yang sangat besar ketika dihempas ombak. Gema yang besar ini sampai ke kampung nelayan dan seakan hendak membangunkan para nelayan tersebut. Karena itulah daerah itu dimanakan Watu Reku.  
Di kampung Watu Reku terdapat sebuah mushola kecil dan saat ini menjadi mesjid. Warga kampung Watu Reku hampir memiliki budaya yang homogen. Mereka beragama islam dan mengikuti budaya Ende. Mata pencaharian meraka adalah nelayan. Para suami me-laut, sedangkan istri dan anak-anaknya menjualnya di pasar. Kebiasan ini masih terjadi hingga saat ini. Akan tetapi, keberadaan mereka sudah mulai terdesak. Geliat politik ekonomi Matim yang terus tumbuh membuat mereka nyaris tidak berdaya. Kesulitan ekonomi yang terus melilit dan kurangnya informasi membuat tanah jadi taruhannya. Tanah-tanah yang dulu mereka miliki sudah dijual dan menjadi milik orang lain. ruang sosial mereka pun kian kecil karena di sekitar mereka sudah dibangun tempat-tempat usaha yang menjadi ikon pariwisata. Sekarang para nelayan itu hanya bertahan dalam tradisi yang sudah pernah ada dan sedikit mencari peruntungan dari geliat pariwisata pantai Cepi Watu.
Jika diamati dengan seksama, ada keganjalan dengan kebijakan pariwisata pantai Cepi Watu. Keganjalan itu dapat kita lihat sejak gerbang masuk pantai Cepi Watu. Di depan gerbang terdapat sebuah pap yang tertutup rapat di siang hari, “terbuka” lebar di malam hari. Ada dua lagi pap dan sejenisnya di daerah pantai Cepi Watu itu. Sebenarnya, tidak ada yang salah dengan pembangunan pap-pap itu. Keberadaan pap-pap itu biasanya menunjang pariwisata seandainya jika tetap berpijak pada fitra pap. Citra pap sesungguhnya sudah hilang.  Tetapi di Manggarai Timur, keberadaan pap telah menjadi tempat prostitusi terselubung. Prostitusi diselubung dengan bisnis karaoke dan sejenisnya. Semua orang di Borong sudah tahu tentang aktivitas malam di pap itu, hanya saja pura-pura tidak tahu. Ada kekuasaan lain yang sedang bergentayangan di balik bisnis lendir tersebut. Artinya, masyarakat setempat tidak dapat berbuat apa ketika penguasa dan pebisnis sudah terlebih dahulu “berselingkuh”. Protes masyarakat hanya akan menjadi pepesan kosong. “hang pot” (makan pot), dalam istilah prokem anak muda Manggarai (reba Manggarai). Kembang protes tumbuh memenuhi ruang publik dan telinga Pemda tidak mekar, tetapi terus layu dan dipaksa mati. Tidak ada perubahan kebijakan sama sekali. Akibatnya secara psikologi sosial, masyarakat terus tidak berdaya dan menderita radang represif.
Dalam keadaan masyarakat represif itulah, para pengusaha kelas atas (petit bourgeois) menikmati kehidupan remang-remang pap. Lobi-lobi proyek sering kali terjadi ditempat ini. Tidak jarang, mobil-mobil partai politik dan “plat merah” juga mangkal di halaman pap, ada juga sih yang nanggung: parkir agak jauh dan di hutan sekitar. Jelas, pengamanan sangat ketat. Tidak sembarangan orang bisa merayap masuk dalam pap. “Kita telah sama-sama merancang strategi/di panti pijit dan restoran// Dengan arloji emas/ secara teliti kita susun jadwal waktu// Bergadang, berunding di larut kelam/ sambil mendekap hostess di kelab malam// Kama begitulah gaya pemuda harapan bangsa//” Begitulah kata geram Rendra dalam “Sajak Kenalan Lama” untuk potret kebijakan seperti di atas (“Potret Pembangunan dalam Puisi”, 2013).   
Di situ, perempuan-peremuan cantik, hostess dalam bahasa Rendra, berperan sebagai “pelumas” jalannya mesin lobi proyek. Kencan-kencan kilat pun sangat lumrah dalam aktivitas itu. Perempuan-peremuan itu dipelihara oleh mami. Mereka didatangkan dari luar Flores, yakni Jawa, Makasar dan Manado. Mereka didatangkan dengan janji dan iming-iming materi. Tetapi janji tetap hanya janji. Mereka tidak mendapatkan kekenyangan materi melainkan hanya kenyang atas derita akibat perilaku seksual menyimpang para “tamu”. Selain itu, mereka rawan terhadap penyakit menular seksual sebab perawatan kesehatan tidak “terjangkau”. Sayangnya, “mami” dan pengusaha pap tetap saja memperlakukan mereka sebagai komoditas. Maklum pembangunan di Matim masih terus berlangsung dan “operasi senyap” masih penting untuk menunjang transaksi dan lobi.   
“Operasi senyap” seperti ini tentu saja berdampak sistemik pada pembangunan infrastruktur Matim. Secara visual, pembangunan berbagai infrastruktur di Matim tidak bertahan lama. Bahkan, ada beberapa pembangunan infrastruktur seakan berhenti di jalan dan sekadar “lapis mas”; asal-asalan. Belum lagi karean tarik ulur kepentingan dan perbedaan politik pilkada, beberapa wilayah masih gersang dan belum tersentuh pembangunan. Belum kebijakan “on/off” aliran listrik dan air, itu sudah terjadi setiap saat tanpa ada konfirmasi dan informasi yang jelas. Anomali-anomali ini bermula dari lobi-lobi proyek dalam keremangan pap. Memang tidak semua, tetapi lobi seperti itu banyak terjadi. Pemabangunan pun berjalan merangkak.
Lalu bagimana dengan bagunan sosial masyarakat sekitar? Jelas saja, keberadaan pap-pap mesum di pusat pariwisata Matim mengganggu bangunan sosial masyarakat sekitar, khususnya warga kampung Toka dan Watu Reku. Warga Toka adalah warga adat yang masih kentak memegang budaya dan adat Manggarai. Warganya dieratkan dengan kearifan-kearifan lokal yang berpusat pada rumah adat (mbaru gendang) yang terletak di kampung Toka. Sementara itu, warga Watu Reku merupakan warga muslim yang taat dan soleh. Sebuah mushola antik kecil mengumpulkan mereka dalam ikatan kerohanian. Di sekitar situ juga, terdapat sebuah Sekolah Dasar (SD) dan SMA Pariwisata yang banyak menampung anak-anak didik. Celakanya, justru di sekitar situ pula-lah pap-pap berikut aktivitas senonohnya diizinkan oleh Pemda.
Di sinilah ironi arah kebijakan pariwisata Pemda Matim. Strategi kebijakan pariwisatanya tidak jeli dan terkesan amburadul. Amburadul sebab kebijakannya hanya berpusat pada syahwat ekonomi sendiri dan pebisnis besar. Aksi partisipasi masyarakat tidak didengar dalam proses perumusan kebijakan. Sementara itu, pertimbangan sosial dan budaya masih jauh dari jangkauan kebijakan. Bukankah ini juga merupakan bagian dari korupsi kebijakan? Lantas, pertanyaannya, untuk siapa pembangunan (pariswisata) Matim sesungguhnya? Jangan-jangan kita sudah benar-benar terjebak dan tergenang dalam kubang kegilaan membangun. “Keperawanan” pembagunan kabupaten baru ini pun disekap oleh para “penyamun” yang haus akan darah ekonomi semata. Sama halnya dengan apa yang terjadi di pantai Cepi Watu. Dalam geliat pariwisatanya yang masih “perawan”, aktivitas ekonomi penyamun malah dibiarkan berkeliaran di tempat itu. Ah, pantai Cepi Watu, riwayatmu kini seperti “anak perawan di sarang penyampun”.
Kabupaten Matim pun seyogya masih “perawan”. Mari kita merawat pembagunannya sehingga kelak melahirkan bayi-bayi kesejahteraan yang merata. Untuk itu birokrat-birokrat berwatak penyamun harus berubah. Tidak akan pernah ada pembangunan yang mensejahterakan jika hanya ada perubahan sosial tanpa perubahan birokrasi. Belajar dari ombak yang bisa memecah bebatuan di Cepi Watu, gelombang sinergisitas birokrat dan masyarakat akan sangat mampu memecah batu kemiskinan dan kemelaratan di Matim. Oleh karena itu, birokrat, berubalah…!!!  

                               
Borong, Oktober 2013
Alfred Tuname

Komentar