Politisi Machiavellian dan Pileg 2014

Tujuan utama dalam geliat politik kekinian (tampaknya) adalah kemenangan. Kekuasaan mengandaikan kemenangan politik dalam Pemilu 2014. Persis dalam konteks itu, para politisi menggunakan berbagai cara untuk meraih kemenangan politik. Tak jarang, mereka melabrak batasan moral, etika dan atruan dalam berpolitik.

Cara berpolitik seperti itu adalah problem mahkluk berpolitik. Ketika pujaan terhadap kekuasaan melambung tinggi, perilaku para politisi akan menghilangkan keutumaan-keutamaan dalam berpolitik. Politik minus moral dan etika adalah politik Machiavellian (Machiavellian politics).        

Machiavellian
Pada konteks politik kita, politik Machiavellian ini begitu kuat menggema di jelang Pemilu Legislatif (Pileg) 2014. Banyak politisi kita (baca: calon anggota legislatif-caleg) terjebak dalam politik Machiavellian ini. Aturan, moral dan etika dikangkangi demi meraih kekuasaan politik.

Tak habis-habisnya media memberitakan para politisi Machiavellian ini. Alat peraga kampanye (APK) berupa Baliho, poster, billboard dan banner berukuran kecil maupun besar dipasang di ruang-ruang publik untuk mengiklankan diri para politisi Machiavellian itu. Di taman-taman kota, alun-alun, halaman tempat ibadah (gereja dan masjid) kuburan, pohon, dan lain-lain penuh sesak dengan APK para politisi.

Himbauan dan peringatan keras Komisi Pemilihan Umum (KPU) dan Badan Pengawas Pemilian Umum (Baswaslu) di daerah dianggap angin lalu oleh para politisi Machiavelian. Padahal, pemasangan APK itu telah melanggar Peraturan KPU nomor 15 Tahun 2013 tentang Pedoman Pelaksanaan Kampanye Pemilihan Umum Anggota DPR, DPD dan DPRD, dan peraturan daerah (Perda). Selain itu, pemasangan APK itu juga merangsek dan mensesaki ruang estetika publik. Baliho dan poster politisi pun menjadi “sampah visual” di ruang publik. Demikianlah perilaku politisi Machiavellian.


Istilah Machivellian berasal dari filsuf politik Italia abad Pertengahan, Niccoló Machiavelli. Machiavelli adalah inventor teori politik realis. Pemikir politik Inggris abad ke-20, Martin Wight, mengatakakan, sejak zaman Yunani kuno, Machiavelli merupakan orang pertama yang memisahkan politik dari prasangka-prasangka etis. Menurut Machiavelli, transendentalisme harus ditendang keluar dari koridor politik (bdk. Gabriele Wight dan Brian Porter, eds., 2005). Bahwa politik harus dibebaskan dari dominasi cara berpikir moral dan etika teologis, dan nilai-nilai budaya. Politik, ya politik.


Menurut Wight, realisme obligasi politik Machiavelian adalah bahwa politik merupakan sumber moralitas dan hukum. Politik adalah ekspresi bebas politik itu sendiri dan akumulasi kekuasaan menjadi tujuan politik. Mengutip pengajar Teori Politik di University of Leeds, Maureen Ramsay, inilah Machiavelian virtu (kebajikan Machiavellian).


Dengan demikian, demi kemenangan dan kekuasaan, para politisi justru menenggelamkan diri dalam kebajikan Machiavellian. Politik perwakilan seharusnya membawa subyek politik yang terwakili (baca: rakyat) menuju kesejahteraan. Tetapi, karena alam berpikir para politisi kita adalah machiavelianisme, maka rakyat hanya menjadi alat untuk mencapai kekuasaan. Karena itu, dengan maraknya pelanggaran aturan kampanye, politik partisipatoris (baca: Pileg) dipasung dalam retorika politik imperatif: pilihlah aku!       

Dengan retorika politik imperatif itu, para politisi, mengutip Machiavelli, “menceraikan politik dari tujuan mulianya” (Maureen Ramsay, 2002), yakni mendekatkan kesejateraan rakyat. Perceraian politik dari tujuan mulianya akan menjerumuskan politik pada ekspresi oportunis dan destruktif. Artinya, menjadi politisi bukan lagi sebagai penggilan (vocatio) yang mulia tetapi sebagai keterjerumusan dengan skala “untung-untungan”. Efek bola salju politik pun berujung pada praktik korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN). Dengan begitu, akumulasi kesengsaraan rakyat pun menjadi “premi” yang harus ditanggung dalam praktik politik Machiavellian ini.

Dalam padangan Machiavelianism, keberpihakan dan tanggung jawab moral-etis kepada rakyat hanya terjadi sejauh selaras dengan permainan politiknya sendiri. Sebab, dalam praktik politiknya politisi manchiavellian hanya bertanggung jawab pada “pendonor”, dan partai politik. Mereka-lah yang menyediakan, dalam bahasa Pierre Bourdieu, economic capital (modal ekonomi) dan social capital (modal sosial). Tentu ada logika “wani pira?” dalam transaksinya.

Sang Pangeran
Absensi kesetiakawanan terhadap rakyat dalam praktik politik Machiavellian merupakan watak agrasivitas politik dalam Pileg 2014. Para politisi dengan sadar hanya berpihak pada capaian kekuasaan. Oleh karena itu, rakyat harus benar-benar melihat dan memastikan figur politik yang layak menjadi wakilnya.

Dalam situasi kegaduhan politik Pileg 2014, “mata” rakyat harus lebih terang melihat sepak terjang para calon wakil rakyat. Rakyat membutuhkan sang pangeran (Il Principe) politik sejati yang berjuang untuk rakyat. Pangeran politik sejati adalah politisi sejati. Politisi sejati tidak menggunakan kebajikan Machiavellian. Ia taat pada “kebajikan tradisional” politik, yakni etika, norma agama dan aturan Pemilu yang menjadi buku saku berpolitik. Politisi sejati tidak terjebak dalam operasi pencitraan. Kasus-kasus pelangaran aturan, moral dan etika dalam kampaye politik sudah bisa menjadi bobot untuk menakar keberpihakan dan kesetiakawanan sang politisi.  

Politik adalah panggilan untuk mengabdi pada rakyat sebagai sumber kekuasaan. Mari siapkan diri untuk Pemilu 9 April 2014. Pilihlah politisi yang benar-benar terpanggil untuk mengabdi sumber kekuasaan, rakyat. 


03 Maret 2014
Alfred Tuname            

Komentar

  1. menuju the dark midle age. abad kegelapan dalam berpolitik.
    Rakyat di beli, pada akhirnya Rakyat juga harus membeli.
    Wani Piro?

    BalasHapus

Posting Komentar