ORANG-ORANG BORONG: Quo Vadis?
Borong
memang sedang berkembang dan terus berbenah. Tetapi, setiap orang yang datang
dan menetap di tanah ini harus mengenalnya. Paling tidak, cerita-cerita di
sekitar kota kabupaten Manggarai Timur ini. Adalah kurang bijak rasanya jika
hanya menjadikan Borong dan Manggarai Timur sebagai sapi perah. Lalu, ia ditinggalkan
kurus dan kering tanpa pernah mau tahu tentang cerita dan budaya tentang tanah
ini.
Tanah
Borong nyaris padat dengan penduduk yang berdatangan menambang rezeki. Dalam
pada itu, Borong terlalu panas dan terik dibanjiri oleh sinar mentari siang
hari. Lalu angin laut datang membasuh debu dan tanah yang terlepas dari alas
kaki dan bangunan. Orang berbondong membangun dan menjatuhkan pohon-pohon jalan
yang dulu kokoh menghadap angin dan badai. Hutan dengan pepohonan pasrah
menjadi gundul dan tandus. Lantas, Borong terlalu panas bagi orang yang hanya
mengandalkan otot untuk bertahan hidup. Borong juga terlalu kolot untuk bisa
menghidupkan habitus intelektual
sehingga menghasilkan cendikiawan dan budayawan. Pragmatisme sudah terlalu
mengakar dan membentuk delta dalam cara hidup masyarakat. Hidup benar-benar
hanya untuk makan dan harta. Selebihnya kebekuan menjalar di segenap bidang. Seni
budaya hidup ala kadar. Inilah momen
manusia hanya menjadi “binatang ekonomi”. Seni budaya dibutuhkan takala
pemerintah membutuhkannya yakni sekadar pelapis kekeringan ritual pemerintahan atau
hanya untuk merayu massa. Seni dikurung dalam kerangka besi “biasanya” dan
begitu sulit untuk menembus seni-seni luar biasa. Kromasi politik primordial
pun menebal keringnya orang-orang Borong.
Lantas
orang-orang Borong sendiri pun nyaris lenyap dari panggung kota. Mereka
terdepak keluar menuju tanah-tanah luar yang dulunya hanya hutan belukar dan hijau.
Tak ada kepemilikan mereka di Borong. Di jalanan tak lagi dijumpai orang-orang
Borong yang dulu hangat menyapa. Hanya ada wajah-wajah baru yang pandai menakar
manusia sebagai konsumen potensial. Saat itulah orang-orang Borong bukan lagi
pemilik dan pemain di tanahnya sendiri. Boleh jadi mereka sebenarnya terasing
dari tanah mereka sendiri. Seakan, kota Borong menjadi terra incognita dalam diri mereka sendiri. Di pinggiran jalan dan
tempat-tempat strategis, tak akan dijumpai lagi orang-orang lama yang memiliki
tanah itu. Tanah itu sudah milik orang-orang yang hanya memegang sempoa. Meski pada dasarnya orang asli
Borong pun sebenarnya pendatang, tetapi mereka menghidupi Borong dengan budaya
dan seni, bukan hanya sekadar menggembosi angin kehidupan Borong dengan sebuah takaran
sempoa. Tanpa sikap bijak, refleksi kehidupan di Labuan Bajo akan
sama terjadi di Borong; sebagian besar tanah bernilai ekonomis sudah milik
investor luar pulau atau investor asing.
Pertanyaanya,
quo vadis orang-orang Borong? Mereka
tidak kemana-kemana, hanya tersingkir dari panggung ekonomi lokal. Mereka tidak
punya modal finansial untuk melenggang di dunia enterpreneurship. Tetapi mereka tidak mengeluh ketika modal
finansial itu kurang mencukupi. Entalah, ada kekuatan apa yang sedang
bergentayangan. Sementara, akses rancangan tata kota pun hanya diketahui
segelintir orang. Akibatnya, tanah-tanah yang nantinya bernilai ekonomis
digerayang oleh orang yang itu-itu saja. Dengan demikian, mereka yang kaya
semakin sedikit. Mereka yang miskin semakin melarat dan banyak. Aparatus
pemerintah pun tidak banyak berbuat selain berteduh di bawah fasilitas dan
kemapanan yang entah dari mana.
Sebenarnya,
goodwill aparatus negara itu ada.
Hanya saja, mereka lebih tunduk pada pragmatisme akut dan ketamakan ekonomi
sendiri sehingga kebijakan publik pun hanya berbuah korupsi berjamaah. Korupsi
dengan segenap bentuk mewabah di seantero instansi. Mereka berbondong menjarah
harta negara dan rakyat demi kekayaan sendiri dan status sosial. Di Manggarai
Timur, keberadaan status sosial begitu sangat penting sekaligus menjadi tujuan
yang mendesak. Setiap orang akan menjadi penting jika memiliki status sosial
tertentu. Apalagi itu disangkutkan dengan status aparatus negara. Seolah-oleh
mereka memiliki posisi sosial tertinggi di antara masyarakat yang mampu membeli
kendaraan bermotor secara kontan dan mengendarai mobil dengan plat hitam, bukan
merah. Pantas saja, ekonomi Borong hanya dikuasai oleh orang-orang yang baru
datang dari luar pulau. Dengan status sebagai kabupaten baru, orang Borong lama
lebih senang berburu jabatan dari pada kesejahteraan. Dengan jabatan itulah,
status sosial naik sekaligus “gerbang emas” untuk merampok harta negara. Proyek
Perahu Motor Ikan Borong, Proyek Tambatan Perahu Pota, Proyek Jembatan Waebobo
II, dan lain-lain termasuk “gerbang emas” itu. Semua itu bermula dari pragmatisme
yang hampir penuh pada setiap cara pandangnya.
Lalu
kita harus bertanya pada siapa? Ini soal kepemimpinan. Jika saja pemimpinnya
mampu membuka cakwala berpikir tentang kesejahteraan bersama dan kekuasaan dari
rakyat, maka disparitas sosial, ekonomi dan politik tidak akan pernah mencolok.
Selebihnya, hanya pemimpin-lah yang mampu memangkas dari dalam kebobrokan aparatus
pemerintah itu sendiri. Lalu sebagai orang Borong, mari kita kontrol kebijakan
publik pemerintah daerah dan mengikat kebersamaan satu sama lain dengan seni
dan budaya.
Borong, September 2013
Alfred Tuname
Komentar
Posting Komentar