ORANG-ORANG BORONG: Mborong

Sinar mentari pagi samar-samar menusuk kulit bumi. Pagi yang cerah berubah sayu dalam cahaya pantulan di lembah Borong. Hanya bayangan meruncing, lalu merayap perlahan dan lenyap. Pocondeki terlalu kokoh memunggungi sinar itu. Hingga ia pun mengalah setelah bulu-bulu cahaya itu meninggi, memecah bayang. Sementara, pantai melahirkan gelombang yang seakan memburu daratan. Lalu, sisanya merayap di antara sela-sela dahan Manggrove (tenger, dalam bahasa orang setempat). Itulah Borong di lembah Gunung Pocondeki.

Borong adalah ibu kota kabupaten Manggarai Timur. Sebagai kota kabupaten, Borong masih relatif baru dan baru berbenah. Setelah pemekaran kabupaten Manggarai pada tahun 2008, Borong terpilih menjadi ibu kota Kabupaten yang baru itu. Sebelum sebagai kota kabupaten, Borong merupakan sebuah daerah kecamatan yaitu kecamatan Borong. Di dalam kota Borong sendiri terdapat dua kelurahan yaitu kelurahan Kotandora dan Ranaloba. Kedua kelurahan ini dipisahkan oleh sungai Waebobo.

Borong sering pula disebut dengan nama Mborong. Ada pendapat, perubahan nama Borong menjadi Mborong disebabkan oleh penyebutan nama oleh orang Jawa yang biasanya menambah huruf “m”. Misalnya, kabupaten Bantul, Yogyakarta, menjadi Mbantul. Sebab, nama Borong biasanya tertulis pada gambar-gambar peta yang dibuat oleh orang-orang di tanah Jawa.

Terlepas dari penulisan pada gambar peta itu, nama Borong itu sendiri diberikan oleh pelaut-peluat Ende yang pernah singgah di tanah Borong dahulu kala. Ketika mereka masuk mulut muara Waebobo, Borong, mereka menjumpai banyak pohon sebangsa Palm (family palmae). Orang setempat menyebutnya pohon borong atau juga pohon gebang. Nama Latinnya, coryphautan. Pohon borong ini tumbuh secara liar dan biasa dijumpai di daerah panas dan tropis. Pohon borong tumbuh menjulang seperti pohon kelapa dan akan mati setelah berbuah. Pelaut-pelaut Ende itu kemudian menamai pohon borong itu dengan sebutan “nanga mboro”. Dalam bahasa Ende, nanga berarti muara, tempat bertemunya air tawar dan air laut. Nanga kemudian diadopsi menjadi bahasa Manggarai dengan arti yang sama yakni muara. Sejak saat itu, penyebutan nanga mboro mulai membumi. Lambat-laun, penyebutan nanga mboro menjadi Mborong dan kemudian Borong. Hingga saat ini, nama Borong pun diterima dan dikenal oleh masyarakat luas. Cerita yang sama juga ketika para pelaut Ende menamai muara-muara di bibir pantai Laut Sawu seperti Nanga Penda, Nanga Rawa, Nanga Ramut, Nanga Paang, Nanga Kolang, Nanga Woja dan lain sebagainya.

Saat ini, keberadaan pohon Borong itu sendiri nyaris punah. Perkembangan kota yang mulai pesat membuat “habitat” pohon Borong pelan-pelan sirna. Lingkungan yang biasa ditemukan pohon Borong ini sudah menjadi alas untuk bangunan-bangunan baru. Masa sebelum tahun 1990-an, masyarakat petani dan nelayan biasanya menggunakan daun pohon Borong sebagai tali ikat. Daun Borong, baik mentah maupun kering, sangat baik untuk digunakan untuk mengikat kayu kering, batang padi, jagung atau merantai ikan dengan memasukan 1 atau 2 helai daun pohon Borong pada lubang antara insang dan mulut ikan. Dan ketika manusia sudah sangat mengandalkan teknologi, dalam hal ini untuk memproduksi tali pengikat, maka fungsi daun pohon gebang pun terlupakan berikut pohon Borong itu sendiri.

Bagi orang Ende sendiri, pohon gebang sangat penting dalam pembuatan kain tenun tradisional Ende yaitu kain rawo. Bagian paling yang digunakan dari pohon gebang ini adalah pucuknya yang berwarna kuning (bentuknya seperti janur). Setelah dikeringkan, pucuk kering tersebut dipakai untuk membantu pembentukan motif kain rawo. Dahulu kala, Borong menjadi  salah satu pemasok pucuk pohon gebang untuk pembuatan kain tradisional Ende tersebut. Hingga saat ini, pucuk pohon gebang tersebut masih digunakan dan masih diburu oleh para pengrajin kain tradisional tersebut sebab pasokannya sudah mulai terbatas.   

Di Borong sendiri ada dua kelurahan besar yang terus berkembang bersama pembangunan Borong. Kelurahan itu adalah kelurahan Ranaloba dan Kotandora. Dua kelurahan ini berbartasan dengan sungai Waebobo. Penamaan Ranaloba berasal nama sebuah danau kecil bernama danau Loba. orang Manggarai menyebutnya rana Loba (rana berarti danau). Danau Loba itu berukuran kecil tetapi cukup memberikan kesegeran pada masanya. Danau Loba merupakan sumber air yang baik untuk lahan pertanian di sekitarnya. Nama danau Loba pun menjadi “ikon” untuk penamaan kelurahan Ranaloba. Letak danau ini berada di bawah lembah daerah antara Gololada dan Golokarot.

Konon, nama Gololada itu sendiri diambil berdasarkan posisi sebuah pohon besar di punjak bukit (golo dalam bahasa Manggarai). Orang setempat menyebutnya pohon lada. Pohon lada memiliki bunga yang kalau jatuh ia berputar seperti baling-baling helikopter. Orang yang tinggal di dataran rendah Borong sering menyebut daerah itu sebagai daerah yang ada pohon lada. Singkatnya, daerah itu pun dinamakan Gololada. Sedangkan nama Golokarot diambil dari cerita bahwa konon daerah itu terdapat banyak duri hutan yang menjalar pada pepohonan. Dalam bahasa Manggarai karot berarti duri. Tetapi wilayah Golokarot hanya sebatas wilayah bukit sebelum Gololada. Sebelah selatan lereng Golokarot disebut ro’ang keka. Diceritakan bahwa konon daerah lereng tersebut merupakan daerah hutan belukar dan banyak dijumpai burung kaka tua. Keka berarti burung kaka tua. Saat itu, burung kaka tua sangat “akrab” dengan manusia, mudah ditangkap dan dilepas, seakan burung-burung tersebut dipelihara oleh manusia. Sekarang, hutan tersebut sudah sirna berikut burung kaka tua. Begitu pula dengan nama lereng ro’ang keka tidak digunakan lagi. Daerah itu sudah menjadi bagian dari Golokarot.

Daerah sebelah barat lereng Golokarot disebut Waereca. Dinamakan Waereca karena dearah ini merupakan daerah bantaran sungai Waereca. Wilayah sekitar sungai Waereca sangat indah dan menawan sebab ia diapiti oleh hamparan sawah yang luas. Sayangnya, pertambahan jumlah penduduk dan perkembangan kota membuat daerah persawahan sebelah timur sungai Waereca menjadi kering. Daerah itu sudah menjadi tempat perhunian warga dengan bangunan perumahan yang baru. Untunglah, daerah sebelah barat sungai masih tetap asri dengan hamparan sawah nan indah.

Keindahan Borong masih tetap terasa jika itu dipandang dari ketinggian gunung Pocondeki. Hamparan lembah Borong selalu hijau dengan lahan persawahan rata dan berpola. Sementar itu, laut sawu yang membentang luas menambah semarak lembah Barat gunung Pocondeki itu. Sang Maha Kuasa sudah memberi kelimpahan sumber daya alam kepada orang-orang Borong. Orang-orang boleh memanfaatkannya, bukan mengeksploitasinya.

Borong, September 2013
Alfred Tuname 

Komentar