Kampung Nggeok: Kampung di Pusat Kota

Adalah sebuah nama yang unik dengan penamaan kampung Nggeok. Kampung Nggeok menjadi unik justru karena ia merupakan kampung yang berada di basis ibu kota kabupaten Manggarai Timur yakni Borong. Jika definisi sosiologis kampung berarti suatu wilayah terpencil dengan komposisi masyarakatnya masih tradional dan pemikiran yang kolot. Klaim kampungan boleh jadi berasal dari karakter masyarakatnya seperti itu. Tetapi, kampung Nggeok merupakan realitas kampung yang sedikit lain dari defenisi kampung tersebut.

De facto, kampung Nggeok berada di pusat ibu kota kabupaten. Letaknya di pinggir bagian barat sungai Wae Bobo dan ca. 100 m dari muara sungai Wae Bobo menuju pantai Laut Sawu. Barisan perumahan di kampung Nggeok sangat rapat nyaris sesak. Kesan padat akan tampil pada pandangan pertama. Hanya ada gang-gang kecil nan sempit yang menghubungkan “petak” perumahan yang satu dengan yang lainnya. Design rumah permanen, semi-permanen dan non-permanen ada di sana. Bronjong tebal berbatu di pinggir sungai memberi rasa aman bagi penghuni rumah dari luapan banjir Wae Bobo. Sungai Wae Bobo sering banjir di musim penghujan.

Masyarakat kampung Nggeok di sekitar sungai Wae Bobo merupakan masyarakat dengan kultur yang nyaris homogen. Masyarakat kampung Nggeok adalah suku bangsa Ende (ata Ende), sebagian besar beragama islam dan bermata pecaharian sebagai nelayan. Bahasa Ibu di kampung ini adalah bahasa Ende. Mereka bisa berbahasa Manggarai, tetapi lebih sering menggunakan bahasa Ende. Kemampuan dwi-bahasa daerah ini membuat mereka supel dalam berkomunikasi di wilayah (kabupaten) yang mayoritasnya menggunakan bahasa Manggarai.  
Menurut cerita, kampung Nggeok merupakan bagian kecil dari sebuah wilayah pemberian raja Riwu, raja yang mengguasai Manggarai bagian timur, kepada para pejuang dari suku Bugis, Makasar, yang mendiami daerah lembah Borong. Raja Riwu memberi tanah itu sebagai ungkapan terima kasih kepada para pejuang Bugis yang ikut dalam peperangan melawan Bajawa. Hingga saat ini, ahli waris suku Bugis masih menguasai dan berhak atas tanah pemberian itu, meskipun sebagian besarnya sudah diberikanan pro deo atau dijual dan menjadi hak milik orang lain (ditandai dengan akta kepemilikan tanah). Sementara itu, kampung Nggeok merupakan wilayah dengan tanah yang digunakan dengan “hak guna pakai” tanpa ditandai dengan akta kepemilikan. Atas kemurahan hati pemiliknya, tanah di kampung Nggeok boleh digunakan oleh warganya dengan menyerahkan sejumlah uang sebagai ungkapan terima kasih kepada pemiliknya, yakni ahli waris keturunan Bugis. Tentu dengan syarat bahwa mereka yang menempati tanah itu tidak boleh membuat akta kepemilikan atas tanah. Tentu saja atas perjanjian, Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) ditanggung oleh pemilik rumah. Atas dasar inilah, warga kampung Nggeok memiliki rasa hormat yang besar kepada pemilik tanah dan selalu menjaga tanah pemberian itu dengan saling menghargai sesama warga.

Hampir semua warga kampung Nggeok mengenal sejarah kepemilikan tanah kampung dan juga cikal bakal nama kampung Nggeok. Nama kampung Nggeok berkenaan dengan asal muasal kondisi wilayah itu. Pada mulanya kampung Nggeok merupakan daerah hutan manggrove atau tenger dalam bahasa setempat. Karenya letaknya tidak jauh dari muara dan bibir pantai, saat air laut pasang (air naik) daerah itu selalu digenangi air payau. Luapan air payau ke daratan itu biasanya disertai dengan ikan-ikan kecil, udang, kepiting-crustacea (kalamango dalam bahasa setempat) dan lain-lain. Kadang orang memburu “pelengkap hidangan” itu di luapan air pasang yang dangkal. Saat air laut surut, di daratan itu akan dijumpai lubang-lubang kecil dengan gundukan lumpur kecil. Lubang-lubang itu merupakan liang kepiting darat. Kepiting darat ini sangat beracun dan bentuknya sedikit berbeda dengan kalamango yang bisa dimakan. Orang setempat (orang Ende) menyebut kepiting darat beracun ini dengan nama nggeok. Karena jumlah nggeok ini sangat banyak seperti mendiami sebuah kampung maka warga setempat menyebut daerah ini dengan nama kampung Nggeok. Saat musim kemarau, ketika air laut pasang tidak meluap ke daratan, di tempat itu dijumpai jalan-jalan setapak para nelayan yang melaut atau para pencari kayu bakar dan pohon-pohon tenger berukuran sangat besar. Di atas pohon-pohon besar itulah beberapa orang bertindak sebagai predator biawak (Hora dalam bahasa Manggarai). Sekarang, semua itu sudah tiada lagi. Rimba bakau itu sudah menjadi peradaban yang indah; kampung di tengah kota Borong. Itulah kampung Nggeok.


Borong, 04 Oktober 2013
Alfred Tuname 

Komentar