Antalani di Kintamani

Percakapan biasa itu terdengar parau. Tidak bulat seperti orang-orang biasa bertemu.  Lepas dan bebas tanpa beban. Tawa dan senyum terasa lebih emosional. Marah dan kesal tampak sensual lalu berhenti pada peleraian. Tetapi suara itu sedang parau.

Kepergian Antalani membawa serta suaranya yang manis. Hanya ada tersisa lambaian tangan di awal kepergian. Hanya terlihat wajah di balik kaca. Tanpa ada suara. Tanpa ada kata. Kegonjangan jiwa bertambah seiring getaran raga kendaran yang siap membawanya. Tubuh Antalani pun berlalu disambut siluet kota menyambut dingin malam. Rupa air mata meranggas kering dilibas angin perjalan pulang.

Lembar kenangan muncul kembali bagai berlembar-lembar cerita War and Peace  Tolstoy. Cerita aliran kemesraan dan api bertubi-tubi tumbuh di ingatan. Ingatan ini menyiksa raga. Raga mestinya diam saja tetapi malah ia mencampakan diri pada sudut kerinduan akut. Mungkin raga pun sedang diamuk histeria. Histeria akan ketakbersentuhan. Raga ingin menguliti kembali sisa-sisa kenangan kemarin seperti tokoh Fanton Drummond yang terus membuntuti Olenka dalam novel Olenka Budi Darma. Itu tidak terjadi. Ingatan masih menghujam kepala di lapis bawah bantal.

Malam ini hujan tak ada. Angin sudah memindahkan mendung hingga menyisahkan dingin. Dingin inilah yang menyimbah diri. Lalu, degup jantung terus berpacu sembari membiarkan jemari memberi tanda di atas kertas. Antalani sudah berangkat hari ini. Ia  pergi bersama saudarinya yang baik hati. Jika sudah sampai, semoga tak lupa kembali.  .

Masuklah diri pada rentang panjang antara kepergian dan kepulangan. Diri seperti bocah kecil yang berusaha melipat temaram bayangan cermin dalam situasi liminasi itu. Cermin hanya mengembalikan keaslian Antalani dalam spasi yang ketat. Tak legit disentuh.

Chairil Anwar datang menyentuh. “Cintaku jauh di pulau/ Gadis manis, sekarang iseng sendiri…” Lirik manis ini dengan lirih membuntuti ingatan pada Antalani. Bukan dia yang sedang iseng sendiri tetapi kesendirian yang sedang iseng meraih kebersamaan dengannya  di sini. Semakin iseng, semakin pula diri terlempar dalam kawah kerinduan yang membara.

Jika waktu yang paling konsisten, maka biarlah bara kerinduan itu terus memerah bersamanya. Semantara itu, detail-detail kenangan sudah menjadi hikayat nostalgis seperti lubang pada kalung indah yang melingkari leher angsa Antalani. Itu pertanda, kota ini akan tetap menjadi liontin pertemuan untuk kembali merangkai rantai kisah yang merekah.

Di kota ini, kerinduan terus membujuk Antalani kembali. Meski itu harus menunggu. Sebab cinta, rindu tak bisa berpaling darinya. Hingga suatu pagi, ia datang membangunkan raga yang tengah lelah menunggu.

Antalani di Kintamani. Ia sedang menghalau duri-duri pendakian. Suaranya terdengar parau, meleleh bersama pecahan kembang api malam. Suaranya tersaring gabus-gabus awan dan lelehan embun. Mungkin karena cinta meronta-ronta seperti geletar hati John Rochester yang melompat dari bukit ke bukit, menerobos kegelapan malam, dan menghantam pepohonan di hutan-hutan kepada Jane dalam novel Jane Eyre Charlotte Bronte.  Setiaknya masih ada suara di tepi kesunyian yang mendamba. Ah, Antalani. Antalani. Antalani.  


Djogja, Agustus 2013
Alfred Tuname     

Komentar