Natal
adalah perayaan suci umat kristiani yang setiap tahun dirayakan penuh khidmat.
Kelahiran Yesus yang dirayakan setiap Natal menjadi pemenuhan atas janji
keselamatan dunia. Sebab Ia yang datang itu “rules the world with truth and grace”. Itulah yang diyakini oleh
umat kristiani sedunia. Natal tahun 2013 dimaknai oleh umat kristiani Indonesia
sebagai doa dan harapan akan kehidupan berbangsa yang damai dan adil. Karena
itu, PGI (Persekutuan Gereja-Gereja Indonesia) dan KWI (Konferensi Wali Gereja
Indonesia) memilih tema bersama Natal 2013 ini berjudul “Datanglah, Ya Raja
Damai”.
Perayanaan
Natal 2013 bertalian dengan perayaan Tahun Baru 2014. Secara politis, tahun
2014 menjadi ruang dan waktu yang begitu sempit menuju kekuasaan yang siap digelar
pada 09 April 2014. Dalam kesempitan itu, pertarungan politik menjadi begitu
sengit. Boleh jadi, nuansa politik Hobbesian tercecar bebas dalam partai
politik (parpol) dan setiap politisi. Saat itu, defenisi manusia politik Thomas
Hobbes seakan tergenapi; “man’s natural
state is war of every one against every one”. Tahun Baru 2014 pun menjadi
lonceng pemarka pertarungan politik itu semakin sengit. Setiap parpol dan
politisi akan benar-benar “tikam kepala” menghadapi tahun Pemilu 2014.
Natal 2013 dan Skesta Politik
Lagu
“Oh Holy Night” yang selalu
dinyanyikan setiap Natal mengungkapkan kerinduan akan kedatangan Sang Raja.
Bayi Yesus yang dibungkus dengan lampin dalam palungan adalah Sang Raja yang
bersedia hadir bersama manusia. Ia datang dalam kesederhanaan. Dalam kesederhanaan itu ia menjumpai
manusia-manusia yang sering didera oleh ketidakadilan. Sebagai Raja, Yesus
datang membebaskan manusia dari lembah ketidakadilan dan gelap dosa. Karena itu,
Dia-lah sang penebus dunia (salvator
mundi) dan Allah yang menjadi manusia.
Itulah
iman yang selalu mengalir dalam darah umat kristiani. Iman diyakini tanpa
sedikit pun ragu, “ …is like a human body
without any antibodies in it” (Bdk. Timothy Keller, 2009). Atas iman itulah,
Yesus menjadi teladan hidup orang kristiani. Ajaran-Nya akan nilai-nilai
kebenaran dan keadilan menubuh dalam setiap diri orang beriman. Kebenaran dan
keadilan pun menjadi ajaran universal yang diyakini semua orang sekaligus
menjadi perjuangan bersaama untuk mewujudkan dunia yang damai. Perjuangan itu
dimaknai oleh Gustavo Gutierrez (1974) sebagai “struggle to construct a just and fraternal society, where people can
live with dignity and be the agents of their own destiny”. Semua agama di
dunia pun menghendaki persaudaraan di antara para pemeluknya.
Pada
dasarnya, semua agama mengajarkan nilai-nilai yang sama, keadilan dan
kebenaran. Keadilan dan kebenaran itu menjadi pegangan hidup setiap orang. Pada
saat yang bersamaan pula, setiap orang merindukan kebenaran dan keadilan itu
sendiri. nilai kebenaran dan keadilan terasa jangan jauh dari kehidupan
berbangsa dan bernegara.
Persoalan
bangsa Indonesia sering kali didasari oleh persoalan kebenaran dan keadilan. Konflik
agama, suku, ras dan golongan merebak justru karena setiap kelompok berusaha
menjadi yang paling benar. Selalu saja ada pihak-pihak yang sengaja diasingkan
(corpus alienum). Konflik ini menjadi
begitu laten sehingga membahayakan integrasi bangsa Indonesia sendiri. Pancasila
hanya menjadi jargon tanpa ada “interpretasi konkret dan pengisian bagi
prinsip-prinsip Pancasila dakam kenyataan hidup politik dan sehari-sehari”
(Huub J.W.M. Boelaars, 2005).
Sementara
itu, pada aras kehidupan politik, para pemimpinnya justru sibuk berjibaku
dengan “trias-kesenangan”; harta, tahta dan wanita. Laku para pemimpin tidak
menunjukan teladan dan jiwa pemersatu. Kekuasaan menjadi ajang multiplikasi dan
proliferasi “trias-kesenangan”. Maka, praktek korupsi, kolusi dan nepotisme
(KKN) menjadi begitu lumrah di negeri ini. inilah wabah nomor wahid di negeri
ini. Lalu, atas “trias-kesenangan” itu, rakyat dipaksa melacur dalam permainan
politik busuk. Bersama ini pulalah, para pemimpin dan elite politik sosok
predator demokrasi dalam iklim politik negeri.
Pada
rezim predatory democracy, kebenaran
adalah kedigdayaan penguasa. Penguasa menjadi pencipta kebenaran. Kebenaran
seakan menjadi barang. Filsuf Prancis, Michael Foucault (1980) menulis, “it [truth] is produced only by multiple
forms of constraint and that includes the regular effects of power”. Itu
berarti, dalam predatory democracy,
klaim-klaim kebenaran menjadi permainan kekuasaan. Penguasa memperdayai rakyat
dengan klaim-klaim kebenaran. Klaim “suara rakyat adalah suara partai”, “partai
pro rakyat”, “partai perubahan”, “partai tolak korupsi”, et cetera, hanya muncul ketika rakyat sangat dibutuhkan sebagai
sumber legitimasi kekuasaan. Setelahnya, rakyat dibiarkan menjadi pesakitan. Setelahnya,
KKN menjadi bussiness as usual dalam politik.
Sudah
menjadi aforisma politik bahwa diseminasi klaim kebenaran itu akan selalu
diikuti oleh kehendak untuk berkuasa oleh parpol atau orang yang menuturnya. Oleh
karena itu, rakyat selalu dihadapkan pada posisi kebingungan. Dalam kebingungan
itu, strategi busuk dan politik transaksional (money politics) selalu mengikuti kehendak berkuasa yang akut. Politik
busuk ini lahir dari elite politik yang miskin hati dan rakus kekuasaan.
Keadilan Politik
Di
tengah situasi perbutan kekuasaan jelas Pemilu 2014, perayaan Natal 2013 sudah
seharusnya menjadi doa dan harapan bersama untuk kehidupan bangsa Indonesia
yang lebih baik. Fidelitas pada event
Tahun Baru 2014 akan melahirkan semangat revolusioner untuk perubahan Indonensia
yang lebih baik. Momentum politik pada pemilu 2014 menjadi fundamen teleologis
perubahan bangsa Indonesia. Setidaknya, rindu kesumat akan kesejahteraan dan
keadilan dapat didekati melalui peristiwa politik itu.
Ketika
politik menjadi pilar urusan bersama (common),
maka persoalan keadilan menjadi urusan semua orang. Di sini, keadilan selalu
berdasarkan pada distribusi yang setara pada setiap anggota komunitas politik.
Setiap orang menjadi subyek politik yang harus didengarkan dan ikut ambil
bagian dalam urusan bersama (Bdk. Oliver Davis, 2010). Mengutip Aristoteles
dalam Nicomachean Ethics (1996), justice consists in not taking more than
one’s share of advantageous things or less than one’s share of disadvantageous
things”. Setiap subyek politik tidak mendapatkan lebih dari apa yang
menjadi seharusnya; “…each party takes
only what is its due” (Jacques Ranciere, 1998). Inilah keadilan politik. Keadilan
politik akan mengalami erosi ketika terjadi praktek manipulasi politik dan
korupsi.
Politik
hadir ketika semakin sulit akses keadilan itu diperoleh. Oleh karena itu, dalam
dan melalui perjuangan politik itu pulalah keadilan itu dapat dicapai kembali. Karenanya,
pilihan politik akan berdampak perjalanan bangsa meraih keadilan itu. Rakyat
perlu melihat dan menimbang figur-figur pemimpin politik yang hendak dipilih.
Kita perlu memilih, mengutip Francis Fukuyama, trusted leader. Yakni figur politik yang dipercaya karena
intergritas moral, visi dan kompetensi untuk bersama-sama menyelesaikan
persoalan bangsa. Figur politik seperti ini memiliki track record yang par
exellence dalam politik serta cara bertindak (modo de proceder) yang etis dalam berpolitik. Pemimpin seperti ini
akan sangat mungkin menjalankan tugasnya dengan adil dan benar.
Djogja, Desember 2013
Alfred Tuname
Komentar
Posting Komentar