Edo
Sateng
Edo Sateng, sebuah nama di
media facebook. Nama aslinya,
Eduardus Sateng. “Name has no name or defenition”, itu kata filsuf Prancis, Alan
Badiou. Karenanya, nama Edo Sateng hanya bisa terdefenisikan melalui perakat-perangkat
relasi konstruktif dalam bangunan sosial di sekitar aktivitasnya.
Bagi orang Katolik Manggarai,
Edo Sateng adalah seorang imam, sebab mereka adalah umatnya. Ia juga adalah
seorang imam bagi umat Manggarai diaspora di Yogyakarta dan juga bagi orang
katolik di Yogyakarta. Orang “extra-ecclesia”
menyebutnya Pastor. Bagi teman-teman muda Manggarai di Yogyakarta, Edo Sateng
adalah sosok pemain tegah (mid-felder)
yang gesit dan taktis dalam permaian sepak bola kedaerahan. Tentu, ia juga
seorang sahabat yang baik. Di Kampus Sanata Dharma, Edo Sateng adalah seorang
mahasiswa karena memang ia juga sedang belajar. Lalu bagi saya, Edo Sateng
adalah seorang penyair, bukan sekadar tukang syair.
Edo Sateng sebagai penyair
karena, bagi saya, puisi-puisinya menohok emosi yang dalam. Emosionalitas
puisinya menawarkan jalan kembali kepada kemanusian. Dengan gelembung-gelembung
nostalgis, puisi Edo Sateng membuka kembali cakrawala ingatan akan tanah kelahiran dan budaya lokal yang
mestinya tidak untuk diingkari.
Kepala
(1)
Jelas saja, “we can not translate a poem into prose”.
Ini sebuah kalimat menarik dalam film Howl
(2012) yang mengisahkan penyair Allen Ginsberg dengan puisinya “Howl”. Meskipun begitu, pembaca
dibolehkan untuk “melihat” drama yang sama dalam dirinya seperti yang dialami
penyair. Demikian defenisi puisi menurut Peter Altenbernd, “as an interpretive dramtization of
experience in metrical language”.
Sebaliknya juga,
pengalaman-pengalaman yang bermetrum menjadi cair dan bermeterai manis dalam puisi. Puisi pun
menjadi ekspresi cair penyair atas realitas-realitas padat harian. Puisi itu
mengalir lewat kata yang menawan dan mengorek kalbu.
Puisi “Kepala” Edo Sateng “dibelah”
menjadi empat bagian (“Kepala 1-Kepala 4”).
Setiap bagiannya berbicara tentang kepala. Pada bagian ini, saya hanya melotot
pada satu “Kepala” Edo Sateng, “Kepala 1”. Ada sesuatu yang menawan dalam
“Kepala” Edo Sateng yang satu ini.
Kepala (1)
telah kutemukan wajah
lengkap kepalanya
tergeletak di atas meja di
dalam kamarku
kepala dengan mata wajah
sayu
kepala dengan rimbun
uban-uban
kepala dengan mulut bibir
dan
kumis jambang misai liar
tak terurus
sejak musim penghujan
berakhir
kepala.
telah berapa kali aku
menebak terka
apakah adanya disini punya
misi khusus?
maka diam-diam, sore itu
kuajak bercerita.
mulutnya diam. matanya, tak
lagi bening, tapi serupa karatan
tak lama lagi kena katarak,
sepertinya begitu.
tak ada jawaban sampai
tandas kopi pahit di gelasku.
kepala.
pada sore lain. ia
tinggalkan pesan.
ia galau berat.
di atas meja. rak buku.
laci buffet.
lagu keroncong nun jauh di
sana …
pemain violin yang tua
rapuh tangannya di atas dawai
syahdu dari layar kaca
saluran nasional
“jangan ajak aku
bercakap-cakap!”
singkat. padat.
asap rokok di senja itu
seperti kata penghabisan
bagi sang kepala.
kepalaku rasanya
pusing-pusing.
waktu membaca kepala memang efeknya
pusing-pusing.
(Djogja, Mei 2013)
“Satu
Kepala”
Ketika
membaca “Kepala” Edo Sateng, ingatan tertuju pada apa yang dikatakan Reiner
Maria Rilke akan kehadirannya di dunia ini, “perhaps we are here in order to
say…” dan dengan puisi, Edo Sateng sebagai penyair sedang mengatakan
sesuatu. Penyair menyadari keber-ada-annya (being)
terpisah dari apa yang mengkontruksi kemeng-ada-annya. Ia bukan lagi “wajah”
dan “kepala”. Tetapi, melalui melalui semua itu (wajah dan kepala), ia
mengidentifikasi dirinya. Karenyanya, “telah
ditemukan wajah lengkap kepalanya/tergeletak di atas meja di dalam kamarku/…”
Melalui
cara baca filsuf Emmnuel Levinas, wajah (le
visage) menandakan sesuatu “yang-etis” (the
ethical). Dalam wajah “Yang Lain” (le visage d’autrui), seseorang
mengidentifikasi dirinya melampaui gagasan yang lain dalam dirinya. Sebuah ungkapan bernas Levinas yakni “toi, c’est toi” (setiap orang adalah
dirinya sendiri) sebenarnya hendak menyodok spektator untuk melihat wajah
sebagai identitas persis sang pengada. Lalu wajah sang pengada itu-le visage d’autrui-menjadi sebuah
epifani untuk mengidenfikasi diri spektator. Dalam hal ini, penyair sedang mengidenfikasikan diri dan membangun relasi
etis dengan wajah itu. Wajah itulah diri sang penyair-me voici!
Wajah
itu sedang memantulkan ekpresi eksistensial penyair yang tidak lagi muda; jarak
pandangan tak lagi tempias; tetapi bulu-bulu kebijaksanaan mekar di akhir musim
penghujan masa muda sang penyair.
Lalu, penyair
mengunggah dirinya adalah bukan apa yang dipikirnya. Penyair sedang mengambil
jarak dengan pikirannya (cogito). Di sini, pikiran itu kepala dan kepala sedang
terpisah dari kedirian penyair. Seolah-olah, penyair kalau bukan sedang
mengulik “cogito ergo sum”-Descartes,
ia sedang membaca ulang (rereading)
subjek Cartesian tersebut. Dalam hal ini,
penyair secara tak tersengaja tersodok masuk dalam alam cogito Lacanian.
Jacques
Lacan membaca ulang Descartes dengan mengatakan bahwa “I am not where I think”. Atau dengan membaca puisi “Kepala”, sang
penyair tetap ada (being) meskipun ia
terpisah alam thought (=act of thinking,
dalam metafora kepala). Akan tetapi, “the
site of truth is not being but thought”. Karena itu, Lacan menelurkan satu rumusan
lagi, “I do not think where I am”. Di
sinilah dunia “ke-tak-bersadar-an” (unconscious) penyair. Menurut Lacan, “the unconscious is thought without being”. Oleh karena itu, penyair mengkontruksi cogito (aku yang berpikir) dengan memadukan being dan thought. “kepala/telah
bebeapa kali aku menebak terka/apakah adanya di sini punya misi khusus/ maka
diam-diam, sore itu kuajak bercerita/…” Dengan cara ini, subjek cogito terbentuk sebab, kata Lacan, cogito is a unity of being and thought.
Cogito dibentuk dalam diam.
Bagi penyair, diam merupakan nodal point
unfikasi itu. Saat organ mulut dan mata tak lagi “bicara”, penyair dengan
sendirinya masuk ke dalam subjek cogito-nya yang ultimum. Dalam senyap, penyair
menemukan dirinya, dan gradasi volume kopi pahit yang tersikat habis menandakan
tabiat kegentingan saat penyair bergumul dengan dirinya. “…/tak ada jawaban
sampai tandas kopi pahit di gelasku//” Dalam pada itu, penyair belum bisa
menyelesaikan teka-teka the unconscius.
Di
waktu yang lain, penyair hanya mendapati “symptom
of the unconscious”. Simptom itu tersebar di ruas-ruas aktivtas sang
penyair yang “I am not where I think”. Di atas meja, rak buku, laci bufet, simpton
itu menjamur. Galau pertanda simpton. Simptom itu menggeliat pekat. Intrusi
simbolik media televisi pun tak mampu menghasilkan “pembicaraan” dalam diam. “…jangan
ajak aku bercakap-cakap!”// Ini adalah personifikasi untuk the unconscious.
Rayuan
asap rokok belum juga mampu menyetubuhkan being
and thought. Ke-tak-setubuh-an itu membuat penyair penyair menggasing dalam
void. Penyair terlempar jauh dalam samudera putaran yang hampa. “…kepalaku
rasanya pusing-pusing/ waktu membaca kepalaku memang efeknya pusing-pusing//” Semakin
besar usaha mengidentifikasi the
unconscious dalam kata dan tanda baca, semakin tinggi pula tensi
turbulensinya.
Nah
Jika
membidik teori puisi versi Horatius, bagi saya puisi “Kepala” ini sangat
menghibur (dulce), sedikit humor. Ia indah dan renyah untuk dibaca
berulang-ulang. Tetapi, puisi ini juga bermanfaat (utile). Puisi “Kepala” sedang menggiring kita sebagai “penyair”
atas kehidupan kita sendiri untuk bercakap dengan diri, masuk ke dalam diri. Masuk
ke dalam diri yang lebih sublim untuk mendefenisikan siapa kita sebenarnya. Perjumpaan
kita dengan le visage l’autrui mempu
memantulkan identitas diri. Tetapi, itu mengadaikan kita mampu diam dan
bercakap dengan diri sendiri. Saat itulah diri mampu menemukan bentuknya yang
otentik. Memang, untuk ke sana pasti pusing, sebab tabrakan-tabrakan dalam cogito pasti ada. Atau bagaimana romo? Tabe.
Djogja, Juli 2013
Alfred Tuname
Komentar
Posting Komentar