“Java Heat” : Sebuah Jelajah Fantasi

Stat rosa pristina nomine, nomina nuda tenemus"
-Umberto Eco, "Il Nome de la Rosa"



Mendiskusikan sebuah film adalah mengumpulkan pecahan-pecahan makna (sense) yang berserakan dalam jalin-jalin pemikiran. Bahwa makna itu mungkin saja masih bertengger manis dalam kandungan interpretasi kita. "Sense is like an ashole, everybody has one". Maka marilah kita membicarakannya agar kita tidak sendirian mengendus makna dalam sebuah film.


Bahwa penulis bukanlah seorang pengamat film, kritikus film, atau pun subjek yang banyak melintang di dunia per-film-an. Penulis hanyalah seorang penikmat film yang lantas tangkas mencoba menjadi seutas "benang"; benang yang menghubungkan satu titik makna dengan makna yang lain. Lantas, kita pun berhak menjadi benang yang sama untuk menghubungkan titik makna kita ke titik makna yang lain dalam lingkar persemaian makna.


Film tidak lain adalah juga sebuah seni sastra, satra yang ter-audiovisual. Tesis spekulatif ini bertolak dari fakta bahwa banyak karya sastra yang mutatis mutandis digodok menjadi sebuah film. Bahkan ada pula yang sebaliknya. Mungkin dari sinilah, sutradara film The Godfather, Francis Ford Coppola mengatakan "film adalah sebuah puisi".


Ruang pangku diskusi kita saat ini adalah film Java Heat. Film Java Heat ini menggerakan hasrat sentrifugal berpikir. Di sini, film Java Heat hadir lebih dari sebuah tontonan hiburan. Film Java Heat adalah teks (sebuah perspektif Derridian) yang berpretensi ideologico-politis yang tersebar pada tiap-tiap fragemen ceritanya. Oleh karena itu, kurang elok rasanya jika jebakan materi teknis per-film-an menjadi dominan dalam "pembacaan" film. Biarlah itu menjadi "darah dan daging" sutradara. Sedikit mengingat Jean-Paul Sarte,"the authors are not to be blamed; they did what they could" [1] . Seperti itu jugalah sang sutradara, layaknya "ars poetica" dalam dunia sinematografi.Dengan demikian, film Java Heat menjadi medium jelalah langit fantasi. Di sini, fantasi bukanlah tentang realitas imaginer ideal yang kita bayangkan atau sesuatu yang kita inginkan. Fantasi yang diunggah di sini adalah fantasi dalam perspektif Lacanian, yaitu apa yang the other kehendaki untuk kita ingini. Di sini, kita sedang mendeteksi apa yang "the other" kehendaki dalam film Java Heat.


Karena sebagai medium, maka film Java Heat akan tampak sebagai referensi menuju cakrawala pemikiran yang lebih luas bahkan kompleks. Atau seperti komentar filsuf Slavoj Zizek tentang film-film Krysztof Kieslowski, "not to talk about his work, but to refer to his work in order to accomplish the work of Theory "[2].


"Arok-Dedes"[3]  Film Java Heat
Film Java Heat telah ditandai sebagai film Hollywood dengan cita rasa Indonesia. Cita rasa Indonesia bukan saja berkenaan dengan setting-an tanah Java dan sekitarnya. Dengan sebuah interpretasi radikal, film ini juga sedang mengorek epos "Arok-Dedes" ; sebuah kisah muslihat Ken Arok untuk mempersunting Ken Dedes. Dengan bentang logika "Arok-Dedes" sinopsis film Java Heat dapat digambarkan sebagai berikut:


Langit tersaput awan dengan mata hari menyengat bumi tanah air. Efek silet pun bertabur pada stupa candi Borobudur. Lalu, tulisan "Jawa, Indonesia", "negara keempat terbesar di dunia", menjadi permarka kuantitas status ke-Indonesia-an. Atau secara interpretatif, kita menyebutnya dengan Kerajaan Kediri pada masa pemerintahan Raja Kertajaya.  Singkat cerita, terjadi peristiwa ledakan bom bunuh diri dalam sebuah pesta yang diadakan di pendopo sebuah istana. Peristiwa ini merenggut nyawa seorang putri mahkota, Sultana (Atiqah Hasiholan). Jika diparalelkan dengan epos "Arok-Dedes", Sultana adalah sosok Ken Dedes. Ken Dedes merupakan istri Tunggul Ametung, seorang akuwu Tumapel. Dengan cara pandang phallogo-centrism, Ken Dedes dalam diri Sultana versi film Java Heat adalah representasi dari hasrat yang selalu dikandung dalam diri laki-laki, yaitu tahta, harta dan wanita. Kencantikan paras Sultana, berlian Khmer Royal Treasury yang pakai Sultana dan gelar Putri Mahkota adalah gugusan triad semiotik yang dihasrati kaum lelaki di atas.  


John Jason Wild alias Jake (Kellan Lutz) harus "diamankan" polisi sebagai saksi karena dia berada di tempat kejadian perkara (TKP). Jake tampak selamat dan sebagai orang asing harus menjelaskan sekelumit peristiwa bom bunuh diri tersebut. Jake mengaku dosen tamu dari Cornell University. Warga Amerika ini diinterogasi Kapten Hashim[4]  (Ario Bayu) dari unit Detasemen Khusus Anti-teror (Densus 88).


Kelompok teroris ekstrimis yang diduga mendalangi peristiwa bom bunuh diri tersebut dapat dianggap sebagai Buto Hijo (rekan pegawai Ken Arok) dalam epos "Arok-Dedes". Aksi teror bom merupakan cara kerja "exhibitionism" dalam diri Buto Hijo yang memamerkan kris pinjaman Ken Arok buatan Mpu Gandring. Esensinya sama, yakni pernyampaian pesan dan unjuk kemampuan sehingga menimbulkan kesan heroik. Artinya, kelompok "Buto-Hjoist" tersebut merupakan ekses dalam aksi ekonomi politik "the Master". Terorisme bukanlah gesture fidelitas ultimum terhadap "revolusi" melainkan ekses politik egotistik kaum bourgeoisie globlal.


The Master masih berada pada ruang yang gelap. Oleh karena itu, kecurigaan dan interogasi aparatus Densus 88 terdapat orang asing menjadi satu-satu jalan untuk menyingkap tabir the Master. Seperti pepetah, "anjing hanya menggonggong pada orang yang tidak dikenal". Percakapan aparatus Densus 88 dan orang asing di mobil Densus 88 adalah bagian dari interogasi. Interogasi yang menegaskan posisi subjek, aku dan Anda, i/thou. Batas tegas i/thou semakin diperhalus setelah peristiwa tabarakan (mobil Densus vs mobil kaum ekstrimis) sebab titik terang identitas orang asing mulai tampak. Identitas orang asing itu semakin semakin terbuka setelah Hashim menunjukan video sosok asli John Jason Wild pada acara makan bersama di rumah Hashim. Identitas orang asing itu diketahui. Orang asing itu adalah Jake Travers, US Navy SEAL, agen superspy CIA dan "not so wild". Lantas, Jake dan Hashim pun menjadi tokoh protagonist dan co-protagonist, tokoh setyagraha yang siap mengungkap kebenaran dan siapa "the Master".


Tanda-tanda berupa tatoo (brand), tindik, operasi hidung pada the dead body adalah jalan kecil menuju "the Master". The dead body adalah Sultana palsu yang ditukar pada saat peristiwa bom bunuh diri. Setelah penelurusan kelompok yang berkaitan dengan "tiger brand" di tanah Jawa, ternyata the dead bady tersebut adalah sosok perempuan pelacur yang dibeli "the Master". The Master itu adalah Malik[5]  (Mickey Rourke). Ia adalah seorang "calo" barang antik, pedofilia, dan berkebangsaan Amerika. Malik-lah tokoh antagonist dalam film Java Heat.


Dengan logika epos "Arok-Dedes", Malik adalah Ken Arok yang menginginkan harta, berlian makhota senilai 7 juta dollar. Malik bersekutu dengan sepupu Sultan, Wazir[6]  Utama (Tio Pakusadewo) yang menginginkan kekuasaan menggantikan Sultan (Rudy Wowor). Sultan bisa dianggap sebagai Tunggul Ametung. Hanya saja, dalam versi film Java Heat, Tunggul Ametung adalah ayah Sultana. Tetapi, tetap ada intimasi relasi diantara keduanya.


Malik dan Wazir adalah dua pribadi tipikal Ken Arok. Dalam melampiaskan hasrat, apa pun yang mereka sentuh akan rusak. Permainan hasrat ini, jika disodok dengan interpretasi radikal lagi, maka triad psikoanalisis Freudian yaitu id, ego dan superego menubuh dalam setiap relasi tiga tokoh antagonist (Malik, Wazir Utama dan Achmed[7] -tokoh teroris). Di sini, Superego adalah sosok yang popular dan hiperatif. Ego adalah sosok yang rasional, "menghitung setiapnya" dan egotistik. Id (the mute man) adalah sosok yang tidak banyak bicara[8] ; tetapi id juga adalah sesuatu yang ambigu (radical ambiguity). Id mendapati karakternya yang innocence tetapi pada saat yang sama menyimpan "primordial evil, aggressive all the time". Itu berarti, sosok Achmed adalah superego, Wazir Utama adalah id dan Malik adalah ego.


Sebelum menuntaskan misinya yakni "mengamankan" Malik, Us Navy SEAL sudah datang menjemput Jake sebab identitasnya sebagai agen CIA sudah diketahui. Jake harus "semper fi" kepada organisasinya itu. Kini pejuang setyagraha itu menjadi good suspect (buronan US Navy SEAL).


Jake hanya bisa lolos dengan melalukan gerakan "anti-shakespearean". Nama the Master menjadi penting untuk ditukarkan dengan nasip buronannya itu. Nama Malik juga menjadi penting untuk Hashim sebab Malik telak menculik istri dan anak-anaknya. Status buronan Jake berhasil dicopot dan kembali menjadi aparatus negara. Jake (mind) dan Hashim (weapon) menjadi satu kekuatan utuh untuk mencopot status the Master.


Setelah menghadap Sultan, Jake dan Hashim untuk sementara dapat menyelamatkan harta karun kesultanan yang hendak digadaikan Wazir kepada Malik demi kekuasaan. akan tetapi, tempat persembunyian mereka terlacak dan diledakan oleh kelompok Malik, Achmed dan Wazir. Setelah, perampasan kembali harta karun itu, Achmed dibunuh oleh Malik. Sekali lagi, drama relasi psikonalisis Freudian terjadi. Hanya ego-lah yang dapat meredam superego atas dorongan id. Ego punya senjata (boleh jadi representasi phallus, symbol of authority) yang dapat bebas dimainkan untuk menentang superego.


Jake dan Hashim menjumpai ego dengan mendekati superego. Mereka mendapatkan informasi keberadaan Malik dan Wazir di festival pelepasan lampion pada perayaan Waisak di Borobudur. Di sini, id selalu menuntun ego. Id dan ego selalu bersembunyi di balik keramaian untuk mempertegas alienasi. Dalam keteralienasian itu, jasad id dibunuh oleh ego yang semakin keranjingan, ego yang melambung tinggi ke puncak Borobudur. Tetapi spirit id tidak mati, ia kembali hidup dalam diri sang Jenderal voyeurist yang suka politik (La Politique [9]). Bersamaan dengan itu, Malik dibunuh oleh Jake menggunakan mainan Amerika, shootgun. Ken Arok pada akhirnya tidak pernah mendapatkan apa yang dikira dia bisa mendapatkannya. Ia justru "dikunya" oleh keserakahan egotistiknya sendiri.


Di akhir cerita, sebelum keberangkatannya, Jake mengembalikan berlian mahkota raja kepada Sultana (mempelai kekuasaan), dimana mahkota itu berasal. Ciuman Jake pada Sultana adalah sikap moderat kesultanan Jawa akan sentuhan asing. Saat itu, Sultana sudah menjadi "Sultana". Pada saat yang sama, Jake menunjukan kepada Hashim "mind is weapon", sebuah antitesis Kantian[10] . Inilah ontological commintment [11] Jake sebab dengan "teori" itu mereka berhasil menyelesaikan misi.  


Film Java Heat yang bergenre action ini disutradarai oleh Conor Allyn dengan rumah produksi Margate House Films. Sekaligus, Conor Allyn berperan sebagai produser bersama Rob Allyn. Film ini telah dirilis pada tanggal 18 April 2013.


Menjejaki Ideologico-politik dalam Film Java Heat
Ketika menjejaki ideologi dalam film Java Heat, maka penjejakan melalui skema Zizekian selalu menarik. Filsuf Slavoj Zizek memulainya dengan melihat "cinema is the art of appearances. It tells us about something reality itself. It tells us how reality contitutes it self". Artinya, film menceritkan kontruksi-kontruski realitas kepada penikmantnya. Kontruksi-kontruksi realitas itu menyembunyikan garis-garis ideologi di kedalamannya.


Marxisme klasik mendeteksi ideologi sebagai kesadaran palsu. Ideologi, dengan cara pembacaan Louis Althusser, dianggap sebagai sebuah kontruksi imaginer yang statusnya sama persis dengan status teoritis mimpi Freudian, sebagai residu-residu siang hari. Dengan demikian, ideologi berperan sebagai "meta-rule" yang mengkonstrusi relaitas. Oleh karena itu, Zizek mengatakan "?the task of the critique of ideology here is precisely to discern the hidden necessity in what appear as mere contigency" [12]. Sebab ideologi "?resides in externalization of the reasult of an inner necessity".


Dalam film Java Heat, tampak jelas ideologi kapitalisme berkerja maksimal. Dalam bahasa Fukuyamean, kapitalisme sudah menjadi "the end of ideology". Film Java Heat menceritakan bagaimana kontruksi-konstruksi realitas dibangun atas dasar ideologi kapitalisme; kapitalisme global dengan setting Indonesia.


Jika penjejakan dibuka secara global, berlian mahkota raja itu adalah minyak-minyak mentah di negara-negara monarki/totalitaian Timur Tengah. Malik merupakan wajah korporasi global sekaligus agen kapitalisme global. Dalam persaingan memperebutkan minyak, korporasi melakukan cara machiavellian dengan bersekutu dengan kelompok berkepentingan lainnya. Korporasi bersekutu dengan kelompok oposisi (Wazir, dalam film Java Heat) untuk menjatuhkan rezim yang tidak melarang eksplorasi dan eksploitasi minyak bagi korporasi asing. Di sini, watak kapitalisme global adalah hegemoni ekonomi. Politik internasional berjalan seiringan dengan ekspansi hegemoni sumber-sumber ekonomi (Minyak). Jika ingin mengetahui politik internasional, ikutilah alira-aliran minyak internasional.


Hegemoni kapitalisme global juga mendekati budaya. Budaya merupakan "pipa" (capital) lain untuk mendatangkan keuntungan ekonomi. Kapitalisme "meremajakan" budaya-budaya lokal untuk mengeksploitasinya. Atau dalam bahasa Zizek, "indeed, the idea of resisting global capital by retreating to protection of particular ethnic identities is more suicidal than ever" [13]. Dalam film Java Heat, cara kerja itu ada pada perilaku Malik yang mangangkat Achmed, "partner" pedofilianya dan tiga perempuan penari dari stastus paling marginal dalam masyarakat dan menyelamatkan Cendrawasi. Inilah modus capitalism with human face.


Dalam konteks lokal Indoneisa, capitalism with human face terlihat dari bantuan-bantuan dari lembaga donor internasional kepada propinsi atau kabupaten yang miskin tetapi potesial dalam hal kandungan minyak dan mineral. Bantuan-bantuan internasional itu merupakan "tawaran yang tidak dapat ditolak" dengan sumber daya alam sebagai tumbalnya.


Semantara itu, terorisme merupakan ekses dari kapitalisme global. Terorisme merupakan gerakan radikal "anti-kapitalisme" yang meninggalkan remah-remah ketidakadilan. Paradoksnya, gerakan terorisme "dipelihara" atau bahkan "dibangun" untuk mendapatkan akses pada negara-negara totalitarian (axis of devils); misalnya Al-Qaeda, Hamas.


Teroris(me) pun merupakan kodifikasi negara-negara adidaya (kapitalis). Setelah peristiwa "11 September", negara adidaya Amarika Serikat menegaskan sebagai "politisi internasional". Presiden Bush, dalam pidatonya 14 September 2001 di The National Cathedral mengatakan,"Americans do not yet have the distance of history. But our resposibility to history is already clear: to answer this attack and rid the world of evil. This nation is peaceful, but fierce when stirred to anger?. We fight, as we always fight, for a just peace-a peace that favors liberty. We will defend the peace against the threats from terrorists and tyrants".


Dengan logika Bush, terorisme dapat digambarkan sebagai berikut; pertama, mereka adalah musuh perdamaian (liberty, freedom and human dignity). Padahal, perdamaian adalah nilai unversal. Kedua, mereka sebagai kelompok yang jahat dimana kami adalah yang lebih baik (karena menjunjung liberty, freedom and human dignity). Kodifikasi ini merupakan operasi diskursus untuk membangun kekuasaan lewat bahasa (sebuah perspektif Michel Foucault). Dari sinilah mengapa, dalam film Java Heat, Jake merasa sebagai "aparatus ideologi" (Polisi Internasional) dan mengatakan "this is my case". Inilah arogansi negara adidaya sebab ia meruntuhkan batas-baras teritorial dan keadaulatan negara lain.



Akan tetapi dalam gerakan anti-terorisme global, negara adidaya hanya menjadikan kelompok teroris sebagai, dalam bahasa Zizek, "vanishing mediator". Teroris menjadi "detector" keberadaan musuh-musuh yang melawan kepentingan ekonomi negara adidaya itu. Dalam film Java Heat, target utama Amerika adalah Malik sebab dia menjual sumber daya ekonomi bukan kepada negaranya, tetapi justru kepada seteru Amerika yaitu China. Jadi, jika ditelusuri lebih dalam (duc in altum) dalam film Java Heat, simulasi bahasa isyarat "always to remind, the mind is the best weapon" yang dilakukan Jake kepada Letnan Hashim (Kapten Detasemen Khusus Anti-teror) di bandara internasional Adisucipto adalah  sebenarnya sebuah ejekan kepada organisasi itu.            



Demikianlah penjejakan ideologico-politik yang tersembunyi dalam kontruksi realitas yang ditampakan film Java Heat. Semoga ini bukan fantasi.



Djogja, 20 Juni 2013
Alfred Tuname

footnote:
[1]Jean-Paul Sartre, What is Literature? hlm. 109
[2]Slavoj Zizek, The Fright of Real Tears; Krysztof Kiesloski between Theory and Post-Theory, hlm. 9
[3]Diambil dari judul novel karangan Pramoedya Anata Toer
[4]Nama Hasyim artinya adalah Pemurah, Pemecah sesuatu; Yang suka menjamu seseorang yang diberikan untuk seorang anak Laki-laki.  Nama Hasyim berasal dari Arab (Islam), dengan huruf awal H dan terdiri atas 6 huruf.  Kata Hasyim memiliki pengertian, definisi, maksud atau makna Pemurah, Pemecah sesuatu (www.keju.blogspot.com)
[5]Malik (Arab ????) berarti 'Pemilik' dalam bahasa Arab (http://id.wikipedia.org)
[6]Seorang Wazir (Bahasa Persia,???? - waz?r) (dalam berbagai bahasa disebut sebagai Vazir, Vizir, Vasir, Vizier, Vesir, atau Vezir), secara harfiah berarti "pembantu", adalah sebuah istilah Persia untuk seorang penasihat atau menteri politik (kadang-kadang keagamaan) berkedudukan tinggi, biasanya ditemui dalam sistem monarki Islam seperti Khalifah, Amir, Malik (raja) atau Sultan (http://id.wikipedia.org)
[7]A?mad (bahasa Arab: ????, transliterasi Ahmad, Ahmed), adalah sebuah nama dalam bahasa Arab yang berarti "sangat terpuji". Kata ini berasal dari akar kata trikonsonantal H-M-D ("puji"), arti implikasinya ialah "seseorang yang selalu berterima-kasih kepada Tuhan" (http://id.wikipedia.org)
[8]Dalam bahasa Freud, drives are silent.
[9]Istilah yang ditelurkan oleh pemikir politik Claude Lefort  yang kemudian diperjelas oleh filsuf Paul Ricouer sebagai segala bentuk kedurjanaan dan permainan dalam kekuasaan. Istilah la politique dibedakanle politique yang didefenisikan sebagai realisasi  dari relasi manusia yang tidak dapat direduksi ke dalam konflik kelas dan berbagai kepentingan.
[10]Immanuel Kant countered the consevative motto "Don't think, obey!" not with "Don't obey, think!", but with "Obey, but think!"
[11]Theories have ontological commitments to the existence  of some entities. The entities a theory is commited to are those which have to exist if the theory is to be true (Alessandra Tanesini, Philosophy of Language A-Z, hlm 111)
[12]Slavoj Zizek, 1994, Mapping Ideology, hlm. 4
[13]Slavoj Zizek, 2010, "Capitalism and  The Assault On Reason", ABC Religion and Ethics



Komentar