Bahwa
seorang humanis selalu berjalan menghadap hamparan cakrawala luas tetapi tidak
pernah melupakan jejak-jejak konstruksi langkahnya. Inilah pesan singkat Milan
Kundera tentang humanisme. Humanisme adalah der
kampf der erinnerung gegen das vergessen (perjuangan ingatan melawan lupa).
Manusia diaspora yang terlepas dari tanah asalnya selalu terpanggil untuk
menyetuh rahim asalnya itu. Sisi perjuangan tidak hanya sebatas melayangkan
kenangan tetapi berpikir rahim asalnya. Lupa berarti jiwa ke-Manggarai-an itu terkubur seperti ari-ari
yang tak memiliki tubuh dan jiwa.
Rahim
congka sae telah melahirkan
putri-putra Manggarai. Manggarai tidak saja melahirkan tetapi memberi susu dan
madu untuk membesarkan anak-anaknya itu. Memasuki abad XXI, bumi congka sae mendapati wajahnya yang
bopeng. Karena kepentingan ekonomi dan politik, tanah Manggarai digadaikan.
Pertambangan merangsek masuk dan mengesktradisi kultur pertanian yang sejak
lama memberi asi kepada putri-putra Manggarai. Penguasa daerah, Lakimangir (dalam diksi GNB), sekangan
menggali kubur untuk rakyatnya sendiri. Penyair mendapati keserasahannya yang
mendalam. “Kampungku akan hilang dalam
peta/rahim bumiku tersayat-sayat buldozer tambang dan isinya dibuang ke empat
benua/ natas, uma dan orang-orang akan dihujam ke dasar lima samudera/kampungku
akan hilang dalam peta.
Bagi
orang Manggarai, tanah, natas dan uma, memiliki makna yang sangat sakral.
Ekspresi sakralitas tersebut dinyatakan dengan ritual adat ketika orang Manggarai hendak membuka uma, sawah baru atau merayakan hasil
panen dan lain-lain. Substitusi uma
menjadi lahan tambang bisa dianggap sebagai pemerkosaan terhadap kultur dan
adat-istiadat orang Manggarai. Orang Manggarai “dihujam ke dasar lima samudera”.
Puisi
adalah ekspresi humanitas yang sangat bertenaga. Merayakan puisi berarti merayakan kedalaman
jiwa. Puisi, mengutip Sam Lasman, kolumnis Yale
Daily News, “…enrich(es) our human experience by linking lonely existences in a
chain of communion” . Dengan puisi “Saat Tintamu Habis”, penyair memeluk
rasa ke-Manggarai-annya dan bergumul dengan luka ketidakadilan yang sedang
meradang di tanah congka sae. Di
sana, pemimpin telah bermetamorfosa menjadi penguasa. Sebagai penguasa, Lakimangir lebih tunduk kepada pemodal
sambil memagari rakyatnya dengan berlaksa-laksa retorika. GNB menulis “… dan Lakimangir tahu kampungmu perlahan-lahan
tenggelam tidak hanya dalam/ lumpur tambang tetapi juga dalam timbunan
retorika”. Penguasa seakan merayakan “parkinson”
dini. Gestur lupa seperti ini filsuf Jacques Lacan menyebutnya fetishist disavowal: “I know, but I don’t
want to know that I know, so I don’t know”. Atau Lakimangir
knows it, but he refuses to fully assume
the consequences of this mining, so that he can continues acting as if he don’t
know it. Mengapa demikian? Penguasa
sudah ganjen terhadap kekuasaan; harta dan tahta. Benar kata Cicero, “tidak ada
benteng yang demikian kuat dimana uang tidak dapat memasukinya”. Lalu, retorika
memberi lapis chrome untuk membungkus
lubang kebusukkannya.
Retorika
semakin tambun ketika gebyar politik suksesi menyilaukan hasrat pengusa. “… dia
bernafsu ke kampungku untuk menjadi gubernur/untuk melaksanakan satu cara
kesejahteraan baru/ kata Lakimangir: ‘dari lumpur tambang, kau akan sejatera
seumur hidupmu’”. Dari puisi ini,
penyair sedang melihat sisi dalam gadai politik suksesi yang sedang
berlangsung. Dalam penerangan penyair Prancis, Yves Bonnefoy, kita melihat
lebih jelas gadai politik tersebut dalam puisi “Du Mouvement et de I’immobilite’ de Douve”, “… Mati tanah yang dulu
kau sayang. Aku datang/ Dengan langkah kekal lewat jejalankau yang muram/
Kurusak hasratkau, rupakau, ingatankau/ Akulah musuhkau yang takkan punya
kasihan”.
Puisi
“Saat Tintamu Habis” adalah statement politis (political statement). Penyair berpolitik dengan caranya sendiri. Ia
menyuarakan rasa hati rakyat yang tidak mau didengar oleh penguasa. Penyair Goenawan
Mohamad pernah mengatakan politik sejatinya “politik yang senantiasa
memperbaiki demokrasi”. Di negeri congka
sae, demokrasi hanya berhenti pada momen pilkada. Selanjutnya demokrasi
berubah wujud dalam rupa kleptokrasi. Demokrasi tidak lagi dirayakan dalam
penghargaan atas bangunan perbedaan (dissensus-Jacques
Ranciere) tetapi malah bermuara pada penyempitan konsensus dan loby politik tingkat elit penguasa dan
pemodal. Dalam bahasa penyair Remy Sylado dalam puisinya “Aku”, politik loby berarti “siapa punya uang, dia
punya taring”. Maka jadilan petaka di tanah Manggarai.
Karena
kata adalah senjata, maka amunisinya adalah penolakan terhadap kesewenangan
penguasa di Manggarai. Bahwa penyair menolak mentah-mentah kebijakan-kebijakan
yang tidak peduli terhadap nasib rakyat. “Oh Lakimangir, ketahuilah!/ aku tidak
ingin kau datang ke sini”. Ekspresi penolakan terhadap presentasi Lakimangir
adalah strategi perjuangan rakyat untuk terjerat dalam rantai kekuasaan yang
loba. Kehadiran penguasa hanya akan memperdalam ngarai penderitaan. Dalam pada
itu, penguasa sangat narsis pada apa yang sudah dilakukan. Penguasa terlalu
banyak berbuat (sehingga terjadi bancana dan chaos di mana-mana) tetapi tidak
berpikir (tentang harmoni kebersamaan dan kesejahteraan rakyat).
Sebuah
anekdot menarik diceritkan kembali oleh filsuf Slavoj Zizek dalam bukunya “Violence” (2008, hal. 11). “ a
German officer visited Picasso in his Paris studio during Second World War.
There he saw Guernica and, shocked at the modernist ‘chaos’ of the painting,
asked Picasso: ‘Did you do this?’ Picasso calmly replied: ’No, you did this!’ Masuk
dalam realitas di tanah congka sae,
dijumpai banyak jebakan hedonisme, pragmatisme, konsumerisme, perilaku
banalitas, mental proyek dan lain-lain yang memakan korban. Tindak korupsi
berjamaah di setiap gradasi jabatan merebak. Fenomena “kupon putih”, HIV-AIDS,
kelindanan ojek dan lain-lain mewarnai rutinitas rakyat. Dalam bahasa GNB,
masyarkat tinggal di “lumpur tambang”, luka-lukanya terhujam ke ulu hati.
Apakah masyarkat yang membuat semua itu? Jawabannya, seperti Picasso: Tidak!
Elit Penguasa yang membuatnya. Jadi, jika ada yang meragukan keberadaban rakyat
Manggarai atau Flobamora maka yang harus diperiksa adalah laku penguasa dan
elit-elitnya.
“Tiba-tiba
langit Flobamora dikerubung kabut”. GNB seakan merasakan harmoni alam Flobamora
yang meradang, marah. Penguasa lagi-lagi hendak menabuh lama rasa kekuasaanya
dengan menancapkan phallus kuasanya pada ibu Flobamora. Flobamora akan terus
dirundung “kabut” kemiskinan dan kesengsaraan jika praktik korupsi politik
tersebut terjadi. Dengan sinis, GNB menulisnya sebagai berikut: “retorika Lakimangir belum selesai-selesai”.
Penyair
merasakan hatinya “semakin sakit bagai teriris sembilu”. Sakit hati penyair
adalah kesengsaraan rakyat yang dirasakan penyair. Melalui guratan puisinya,
penyair “berkata benar pada kuasa”. Hal
itu semata untuk menjaga kewarasan dan keberadaban bangsa, rakyat Flobamora. Penyair,
GNB, pasti akan terus menguraikan air mata Flobamora selama pemimpin heroik
belum tiba.
Djogja, 10 September 2012
Alfred Tuname
Komentar
Posting Komentar