Penyair perlu saling
bersilaturahmi. Berisilaturahmi berarti saling membaca. Penyair Imam Budhi
Santoso mengatakan “penyair perlu saling membacakan puisi”. Itu sarannya dalam
acara Sitok Srengenge baca puisi Hari Leo di Taman Budaya Yogyakarta (TBY), 30
April 2013. Penyair seharusnya tidak hanya menulis puisinya sendiri tetapi juga
perlu untuk membacakan puisinya sendiri dan penyair lain. Sejatinya, puisi
tidak melayani private pleasure.
Adalah sesuatu yang sangat
menarik jika mendengar penyair membaca puisi baik itu puisinya sendiri maupun
puisi penyair lain. Menarik karena kata-kata yang terdengar itu seakan sedang
mengisi lubang sanubari. Mendengar pembacaan puisi itu boleh jadi diri menjadi
seperti puzzle yang dipasang-pasang
orang. Lubang-lubang kekosongan itulah yang diisi sang penyair.
Saat mendengarkan penyair baca
puisi seseorang menemukan momen regresi. Momen regresi itu seperti saat
seseorang kembali ke masa kanak-kanaknya. Saat ia mendengarkan cerita dongeng
yang diceritak seorang ibu. Cerita dongeng itu pasti berpengaruh pada sang
anak. Entah itu bahagia, takut, bahkan menciptakan mimpi anak. Dalam hal ini,
penyair yang membacakan puisi menemukan perannya sebagai seorang ibu. Penyair
adalah ibu bagi sebuah peradaban.
Penyair tentu tidak saja
mengajarkan orang untuk merasakan suatu kejadian, tetapi juga bagaimana
merasakannya. Melalui puisi-puisinya, kita disodok masuk ke dalam kesadaran
ultimum akan sebuah kejadian. Di sini, seseorang akan menyadari diri akan
realitas-realitas artifisial. Karenanya, puisi sebagai sebuah seni sastra
tinggi sejak zaman Plato punya tanggung jawab besar pada sebuah peradaban.
Puisi adalah, mengutip George
Eliot, “seperangkat pengalaman hidup, suatu jerih payah untuk menghadirkan apa
yang bisa dirasakan dan dipikirkan”. Memang, sepertinya puisi hanyalah
jerih-payah menghadirkan diri. Tetapi puisi tidak berhenti di situ. Puisi juga
adalah amunisi bagi penyair. Dan benar kata sitok srengenge, bahwa “puisi itu
pemberontak”. Puisi itu memberontak terhadap setiap realitas artifisial,
realitas etalase, realitas ketidakadilan dan kesewenangan-wenangan politik. Di
sini, penyair menghadirkan diri dalam aktus yang-politis (dalam bahasa filsuf
Carl Schmit, le politique).
Penyair yang-le politique mengambil bagian dalam
momen emansipatoris. Karya-karya seninya berisi pembelaan dan keberpihakan pada
orang-orang yang digusur, ditindas, dan marginalkan dan lain-lain. Sitok
Srengenge menemukan dimensi emansipatoris ini dalam puisi-puisi Hari Leo.
Dalam puisi-puisinya, Hari Leo
tidak saja, seperti kata guru besar Universitas Negeri Yogyakarta (UNY), Prof.
Suminto A. Sayuti, “merumahkan pengalaman-pengalamnya”. Melalui puisi-puisinya,
Hari Leo sedang membangunan benteng untuk sebuah peradaban Indonesia yang lebih
baik. Benteng itu berisi trakat-trakat luhur untuk Indonesia yang beradab.
Dan malam, 30 April 2013, kami (saya,
Atra Lophe, Monik Arundhati, dan Berto Beding) mendengarkan Hari Leo dan Sitok
Srengege membacakan puisi. Mereka membacakan puisi dengan sungguh-sungguh dan
sangat memukau. Sanubari tersentuh, reaksi tubuh menegangkan bulu-bulu tangan
dan kuduk.
Akhirnya, mendengarkan Sitok
Srengenge dan Hari Leo baca puisi meninggalkan sajak yang belum selesai. Selalu
saja tersisa barisan-barisan kosong yang harus diisi. Bukan saja bagi mereka,
tetapi juga bagi kita untuk menyelesaikannya (meskipun akan terus tak terselesaikannya).
Sebab, seperti yang dikatakannya dalam buku kumpulan puisinya, “Menggambar
Angin: Dokumentasi 70 puisi”, 2011:
“Ada keterbatasaan yang
Memaksa kita berbagi
jarak
Ada keterasingan
Membuat kita bersimpang
jalan…”
- Hari
Leo AER, “SAJAK YANG BELUM SELESAI”,
Djogja,
02 Mei 2013
Alfred
Tuname
Komentar
Posting Komentar