Mari kita membaca kompas,
04/02/2013. Judulnya, “Dana Rp 1,7 Miliar di NTT Diduga Tak Tepat Sasaran”.
Diberitakan bahwa dana bantuan sosial (bansos) tahun anggaran 2011 senilai Rp
1,7 miliar tidak tepat sasaran. Sementara tahun 2010, dana bansos senilai Rp 17
miliar tidak tepat sasaran. Melihat malpraktik ini, pertanyaanya adalah apa
yang terjadi dengan demokrasi dengan propinsi Nusa Tenggara Timur?
Demokrasi dalam padangan Robert
A. Dahl (2010) setidaknya memiliki perihal penting berkaitan dengan mendorong
kemakmuran, persamaan, otonomi moral dan menjamin kebasan umum. Akan tetapi,
ketika perihal ini tidak terpenuhi maka bermasalahlah demokrasi itu.
Terkait penyelewengan dana
bansos NTT, demokrasi NTT terkoreksi menjadi lebih buruk. Injeksi finansial
yang sebenar adalah hak rakyat justru dijarah habis-habisan oleh pemimpin NTT.
Dana bansos sedikit-banyak bisa menggaransi kemakmuran rakyat miskin NTT. Ketika
garansi ini “dicoret” oleh penguasa, persamaan politik dan kebebasan umum hanya
akan menjadi kenangan janji kampanye politik. Di sini, relasi pemimpin dan
rakyatnya menjadi mandul sebab kesejahteraan bersama itu tak kunjung tiba. Kasarnya,
inilah watak “tyranical” pemimpin
sebab keadilan tak hadir di sana.
Korupsi dana bansos juga ada
kaitan dengan impotensi otonomi moral pemimpin. Kebaikan bersama terus saja
tertunda oleh karena impotensi moral pemimpim ini. Impotensi moral pemimpin ini
bersentuhan dengan tertunduknya etika publik di NTT dihadapan kekuasaan. ketertundukan
etika publik itu ditandai oleh pemimpin yang tidak mengindahkan modalitas
kekuasaan yang melekat dirinya. Modalitas itu, mengutip Haryatmoko (2011),
berkenaan dengan “harapan masyarakat dan
fasilitas kekuasaan yang mendukung perubahan”. Terlalu naif jika mengatakan NTT
sudah berubah jika predikat terkorup masih mewarnai dahi pemerintahannya.
“Regresi”
Politik
Regresi (regression) pada dasarnya merupakan basis analisis dalam studi Econometrics. Ahli Econometrics, Domar Gujarati (2004), mengatakan “regression analysis is concerned with the study of the dependence
of one variable,…on one or more other variables,… with a view to estimating
and/or predicting…”. Jadi, analisis regresi berfungsi untuk melihat
(memprediksi) keterkaitan antara variabel bebas dengan varibel penjelasnya.
Uniknya, dalam analisis regresi, relasi asimetri dua jenis variabel tersebut
dapat digunakan untuk membongkar derajat keterkaitan. Setidaknya, itulah yang
membedakannya dengan korelasi (corelation),
menurut Gujarati.
Berdasarkan uraian di atas,
regresi politik di sini dimaksudkan sebagai pembongakaran variabel-variabel
yang tampak asimetrik untuk melihat derajat keterkaitannya dengan perihal
politik praktis. Politik praktis di sini mengacu pada filsuf Nietzsche yang
melihat dunia politik dekat dengan kenaifan; sebuah reduktifasi politik dan
cara pikir politik yang sempit.
Korupsi dana bansos dari tahun
ke tahun tampaknya bersifat asimetrik dengan politik praktis; sesuatu yang
lepas jauh dari hiruk-pikuk mempertahankan kekuasaan. Akan tetapi, jika
ditelisik lebih jauh (duc in altum), aroma
politik sangat pengat mengitari korupsi dana bansos tersebut. Dana bansos ini
mengandung bumbu “aphrodisiac” bagi
syahwat kekuasaan. Kandungan “aphrodisiac”
ini dimengerti sebagai akselerator selera kekuasaan.
Akselerator selera kekuasaan mengandung
dua hal yang saling mendukung. Pertama, klaim Actonian, bahwa power tends to corrupt, terbukti dalam kasus
korupsi dana bansos ini. Besarnya determinasi penguasa atas aliran dana bansos
memunculkan banyak motif penyelewengan. Motif penyelewengan itu diantaranya
adalah kuitansi dengan kegiatan yang tidak jelas/fiktif, tanda-tangan pada
kuitansi kosong, mark-up dan
favoritisme sasaran penyaluran dana (biasanya terkait relasi politik dengan penguasa).
Kedua, klaim kekuasaan itu
sendiri. Bagi penguasa yang berwatak “tyranical”,
kelanggengan kekuasaan itu sangat penting. Dana bansos, yang jumlahnya sangat
besar, mudah diselewengkan dan susah “ditangkap”, adalah sumber dana haram yang
paling sering digunakan untuk melanggengkan kekuasan. Akumulasi penyelewengan
dana bansos dalam satu periode kekuasaan cukup signifikan membiayai proses
politik untuk periode kekuasaan berikutnya.
Inilah tragedi politik yang
terus membayangi NTT. Masyarakat NTT terus saja terbelenggu oleh kesengsaraan
yang riil. Sementara riil politiknya hanya menghasilkan pemerintahan penguasa
yang korup dan minus etika publik. Demokrasi ternyata hanya menghasilkan apa
yang disebut Edmund Burke sebagai “Artificial
Government”. Penyalahgunaan kekuasaan (abuse
of power) merajalela terjadi di pemerintahan.
Jean Luc-Nancy pernah menulis
bahwa “democracy means the conditions
under which government and organization are de facto possible in the absence of
any transcedent regulating principle…(Giorgio Agamben et al, 2011)”. Ketika
nilai-nilai keadilan, kebaikan dan kesejahteraan menjadi begitu abstrak di
tengah masyarakat, pemerintah seharusnya hadir sebagai simpul yang merekatkan
nilai-nilai itu kepada masyakarat. Nilai-nilai tersebut akan dirasakan oleh
masyarakat bila pemerintah membuat kebijakan-kebijakan yang pro-rakyat. Demokrasi
menjamin semua proses ini terjadi. Demokrasi seperti inilah yang sesungguhnya
masyarakat NTT butuhkan, dan bukan berpusar pada kekuasaan melulu.
Dalam demokrasi, memang,
seperti kata Slavoj Zizek, “the place of
Power is structurally empty, nobody has the ‘natural’ right to occupy it…”
(Jacques Ranciere, 2011). Akan tetapi, untuk berkoalisi dengan kekuasaan itu,
rakyat tidak boleh menjadi tumbal politik (dan sumber daya alam tidak boleh
jadi rente politik). Nilai-nilai etika harus tetap lekat pada kekuasaan. Dengan
begitu, kekuasaan dapat digunakan secara bertanggung jawab untuk sebuah
perubahan yang lebih baik. Inilah kemulian aktivitas politik Aristotelian;
sebuah tata kelola kehidupan bersama yang adil dan baik.
Pilgub NTT 2013 adalah event politik yang sangat menentukan
nasip NTT. Semoga event politik ini melahirkan
kembali pemimpin NTT yang sejati, negarawan dan bermartabat sehingga mampu menegaskan
kembali kemuliaan politik di NTT. Pemimpin itu dipilih dari, oleh dan untuk
rakyat NTT, bukan untuk diri sendiri dan kelompok.
Djogjakarta, 20 Februari
2013
Alfred Tuname
Komentar
Posting Komentar