Cambridge Advanced Learner’s
Dictionary, 3rd Edition, mendefenisikan kata innocencesebagai sebuah keadaan “when someone is not guilty of a
crime, or does not have much experience of life and does not know about the bad
things that happen in life”.Smart thesaurus - nya adalahblameless dan guiltness.
The Innocence of Christian Rotok (CR) ini adalah suatu perjalanan singkat
menemukan pecahan-pecahan simbolik di bawah the
real pada sepak
terjang politik CR, Bupati Manggarai, Nusa Tenggara Timur. Dalam penerangan
Jacques Lacan, the
simbolic berarti
bahasa atau penamaan, dan the
real (sang
antah-dalam bahasa Goenawan Muhamad-GM) berarti sesuatu yang belum tersentuh
oleh struktur bahasa. Tulisan ini pun berangkat dari sentuhan bacaan penulis
atas berita yang di-posting oleh
media online, www.sergapntt.com.
Membaca berita di media ber-tag line media revolusi itu,
pada 05 Oktober 2012 dengan judul “Christ Rotok: Hanya Orang Iri yang Ribut Soal Tambang Di
Manggarai” adalah membaca cara berpikir
penguasa yang banal terhadap kekuasaannya sendiri. Argumentasinya adalah
masyarakat sipil yang kontra terhadap pertambangan diduga karena iri hati. Iri
hati itu berpangkal pada sejumput kekayaan yang diperoleh oleh mereka yang
memiliki hak atas tanah pertambangan.
Set of mind penguasa seperti ini sangat berbahaya bagi kepentingan
masyarakat banyak. Bagaimana mungkin, penguasa menggadaikan harmoni alam dan
lingkungan kepada segelintir manusia yang “kekurangan” dan dahaga harta
kekayaan? Laku penguasa seperti ini bisa jadi dianggap sebagai, dalam
bahasa Fred Hirsch, the
tyranny of small decisions: keputusan individual yang tidak
bertautan satu sama lain dalam transaksi.
Dalam berita di sergapntt.com itu, CR menyebut, ada 4 orang yang
menemuinya untuk melakukan “transaksi”, meminta sang bupati agar memberi
“surat sakti” pada investor tambang untuk melakukan eksploitasi di tanah milik
mereka. Jelas, mereka datang bukan atas nama rakyat banyak tetapi sekelompok
orang yang datang dengan kesadaran akan persoalan kesejahteraan mereka sendiri.
Kepentingan mereka hanyalah perbaikan nasib. Kedatangan mereka sebenarnya
adalah kritikan kepada pemimpin yang tidak/belum memperhatikan kesejahteraan
rakyat.
Kemiskinan membuat mereka tidak
berdaya dan melepaskan martabat hidupnya atas “janji” pertambangan. Di sini,
pertambangan mengeksploitasi kemiskinan. Seharusnya, sebagai seorang bupati,
sikap bijak yang diambil adalah mempertimbangkan keinginan mereka itu atas kepentingan
umum orang Manggarai sekaligus memberikan solusi alternatif terhadap persoalan
kesejahteraan mereka. Sayangnya, sang bupati mengartikan kedatangan 4 (empat)
orang tersebut sebagai kehendak rakyat, volonté
generale. Lalu, membaptis diri sebagai pejabat yang “taat asas”
dengan mengabulkan keinginan orang-orang yang tidak berdaya itu.
Fundasi kebijakan pro-tambang di atas sebenarnya cacat
jika diteropong dari logika ekonomi pertambangan. Logika ekonomi pertambangan
adalah maksimalisasi keuntungan (profit). Jadi, investor tidak mungkin berani
melakukan ekspolitasi jika hanya di atas tanah milik sekelompok orang.
Eksploitasi pasti akan merambah ke areal-areal sekitar. Ketika para investor
menguasai tanah dan isinya, bukankah ini merupakan bagian dari laku penjajah
menurut Soekarno?
“Penjajahan ialah usaha mengolah tanah, mengolah harta-harta di
dalam tanah, mengolah tanam-tanaman, mengolah
hewan-hewan dan terutama mengolah penduduk, untuk
keuntungan keperluan ekonomi dari bangsa yang menjajah”.
Demikian tulis Soekarno mengutip Dernburg, Kolonial direktor negeri Jerman,
dalam bukunya “Indonesia
Menggugat”. Ia menggugat karena watak kolonial yang serakah.
Kolonial tidak henti-hentinya mengeruk kekayaan tanah air. Kolonialisme versi
baru sedang terjadi di Manggarai berkat the tyranny of small decisions sang pejabat.
Tambang dan Politik
Kemudian, CR mengendus persoalan
tambang sebagai isu politik menjelang pilgub NTT 2013. Seolah-olah persoalan
tambang di Manggarai adalah persoalan yang dipaksakan untuk menjegal laju
politik CR menuju NTT satu. De
facto, persoalan tambang di Manggarai sudah terjadi sejak lama
sebelum benih hasrat CR menuju NTT satu mencuat. Persoalan itu muncul sebagai
ekses darithe
tryranny of small decisions CR an sich.
Gelombang aksi penolakan terhadap
tambang an sich seharusnya dimengerti sebagai gerakan
politik “Yang Politis” dan bukan politik. Pembedaan itu didasari oleh pemikiran
filsuf Paul Ricoeur yang membedakan, “Yang Politis” (the political) dan
politik (politics).
Atau dalam bahasa Claude Lefort, le
politique(the political) dan la
politique (politics).
Ricoeur melihat “Yang Politis”
sebagai realisasi dari relasi manusia yang tidak dapat direduksi dalam kategori
apa pun. Sementara politik adalah segala bentuk kedurjanaan dan permainan dalam
kekuasaan (politic
as usual). Robertus Robert, intelektual Indonesia lulusan
doctor Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara Jakarta menambahkan bahwa “Yang
Politis” adalah gerak pertemuan antara segenap bentuk simbolisasi terhadap
“ketakmungkinan” (baca: the real, “sang nyata” atau “sang antah” menurut GM).
Nuansa the political dalam
aksi penolakan tambang dapat dimengerti sebagai proses penemuan the simbolic dalam the real of politic CR.
Di sini, aksi protes itu semakin bergelombang untuk menemukan atau
membongkar segenap “ketakmungkinan” dalam ekonomi politik tambang. “Ketakmungkinan”
itu adalah deal-deal mutualis dalam transkasi bisnis pertambangan yang tidak
diketahui publik. Dari sini, publik bisa berprangsangka bahwa
jangan-jangan ada intrusi kepentingan investor tambang dalam keberanian CR
untuk mengikuti suksesi politik, pilgub NTT 2013, sebagai calon independen.
“Yang Politis” dalam framming pemikiran
filsuf Jacques Ranciére dipahami sebagai upaya emasipatoris dengan mengukuhkan
kembali kehadiran mereka yang non-part (bukan bagian) atau terusir dari
sistem komunitas politis. “Yang Politis” adalah usaha avoir-part, ikut ambil bagian, dalam kehidupan
bersama. Menurut Ranciére, politik itu sendiri adalah suatu kontruksi rejim
partisi. Politik melahirkan suatu praktik pemisahan individu atau kelompok
sebagai yang memerintah dan yang diperintah; yang bagian dan bukan bagian dalam
komunitas.
Demonstrasi massa atas kehadiran
tambang di Manggarai, dilihat dari perspektif “Yang Politis” Rancierian, adalah
suatu gerakan avoir-part, ikut
ambil bagian dalam upaya penyelamatan bumi Manggarai dari
keserakahan homo economicus.
Kondisi ketidaksejahteraan yang minus tidak bisa dijadikan alasan untuk
menerabas nilai filosofis dan kesakralan antara orang Manggarai dengan tanah
kelahirannya. Protes itu juga bisa dilihat sebagai politik perjuangan atas
proses ekslusi penguasa (the politics) terhadap rakyat banyak dalam kebijakan
pertambangan.
Pesona “disaster” dalam setiap
demonstrasi anti-tambang menyiratkan kehadiran spirit perjuangan untuk sebuah
keyakinan akan Manggarai yang lebih baik. Atau mengikuti moto filsuf Alain
Badiou, mieux vaut un désastre qu’un
désêtre : better a disaster than a non-being; one has to take the risk of
fidelity to an Event, even if the Event ends up in ‘obscure disaster’.
Singkatnya, bergerak atau tidak sama sekali dan hancur
selamanya! Lantas, bagaimana mungkin substansi pergolakan tolak tambang hanya
diletakan atas persoalan horisontal, kategori sosial: iri hati?
Aroma the politics dalam
gerakan itu justru lahir mencuat dalam sikap pemerintah (penguasa) yang tidak
akomodatif terhadap aspirasi rakyat banyak. Pemerintah yang preferen terhadap
kepentingan investor dan segelintir orang (pemilik tanah) akan menimbulkan
dampak politik terhadap dirinya sendiri. Mosi tidak percaya akan merebak di
sini. Dengan begitu, sebenarnya CR-lah yang tidak taat asas. Asas itu menubuh
dalam kehendak rakyat. Vox
populi, vox Dei. Kebenaran sangat dekat dengan kehendak rakyat
banyak dan aturan untuk manusia, bukan manusia untuk aturan. Ketidaksensitifan
akan kehendak rakyat itu menandakan innocence,
keluguan penguasa.
Pernyataan CR, kepada kepada mahasiswa yang tergabung
dalam Keluarga Mahasiswa Katolik Fisip Undana dan Himpunan Mahasiswa Manggarai
(Rabu malam, 03 Oktober 2012), bahwa “hanya orang iri yang ribut soal tambang
di Manggarai” adalah bukti keluguan politik CR di hadapan generasi muda yang
justru baru belajar soal politik.
Di hadapan generasi muda, CR
seolah-oleh tidak merasa bersalah (guiltness), tidak merasa bertanggung jawab (blameless)
atas aksi “the
tyranny of small decisions”-nya di tengah rakyat banyak yang resah
oleh kehadiran tambang di Manggarai. Adakah rakyat Flobamora mendambakan
pemimpin yang seperti ini? Hati nurani Anda-lah yang bisa menjawab.
Komentar
Posting Komentar