Subuh.
Ayam berteriak membuatnya terdiam. Ia duduk di pojok kasur. dekat juga ia
dengan sudut tombok kamar. Ia jauh dari bantal. Kedua mata pacarnya masih
merapat dan bersandar di atas bantal itu. Kain pembungkus tubuh sudah berada di
ujung kaki pacarnya, dekat dengannya. Sisi sebelah kasur tampak kusut-kasut.
Kusut-kasut itu seperti jejak-jejak “iringan ke puncak Semeru, di mana delapan penari
bertubuh perunggu segera merebut, memandikan dengan hujan kelopak melur…
diam-diam tersisip bara arang di bawah kaki, dan si anak kunci ke celah payudara”*.
Di
pojok kasur itu, sang dara duduk dengan tumit kakinya mengenai dagunya yang
runcing. Ia memandang pacarnya. Diam. Mulutnya terkatup. Pikirannya sedang
pergi ke ujung mimpi. Tadi, ia bermimpi tentang sesuatu yang entah dari mana
datangnya. Mimpi itu datang begitu saja.
“Sayang,
udah bangun?”, tanya pacarnya
seketika ketika tersadar.
Ia
tersenyum pendek lalu diam tanpa ekspresi.
“Sayang,
kamu kenapa? Kamu mimpi buruk?”
Ia
mengangguk lalu menggelengkan kepala. Pacarnya mulai bingung. Kebinggungan itu
membuat pacarnya mendekatinya dan duduk memeluknya.
“Ada
apa sayang? Ayo dong cerita. Kamu ngga kenapa-kenapa kan?”
Ia belum menjawab.
Senyap
pagi pecah. Bunyi langkah kaki terdengar di luar kamar. Tetangga sudah bangun.
Musik dari beberapa kamar pun mulai sayup-sayup membelai telinga.
Ia
memeluk pacarnya. Pelukan erat itu seperti ia sedang ketakutan. Setelah melepas
pelukan itu, ia tersenyum.
“Sayang,
semalam aku bermimpi”.
“mimpi
gimana?”, tanya pacarnya.
“Ceritanya
begini sayang. Aku cuci pakaian. Semua jenis pakaianku kucuci dan kujemur. Pakaian
itu kujemur di jemuran di lantai atas rumah. Entahlah di mana letak rumah itu
saya pun tidak tahu. Tiba-tiba sore hari datang. Seorang cowok mendekati
jemuran dan mengambil cawat merah yang
sering kupakai itu. Lalu ia pergi entah kemana.”
“Oh
begitu. Ya udah, itu kan cuma mimpi”.
“Sayang,
tapiiiii… cowok itu aku kenal. Ia dekat dengan kita”.
“Siapa?”,
tanya pacarnya dengan sedikit memaksa.
“Itu…
cowok di depan kamar-ujung sana”, sambil mengarahkan jari telunjuknya.
“Apa?
Astaga!!! Mulai sekarang kamu harus menjauh. Tidak boleh ngobrol lagi dengan manusia itu”.
“”Lah, kenapa begitu? Kan Cuma mimpi, kata
sayang”.
“Tidak!”,
jawab pacarnya sambil melotot.
Pacarnya
marah. Mungkin lantaran panik. Pacarnya tahu bahwa mimpi seperti itu adalah kebocoran
hasrat dari tertimbunannya di alam bawah sadar. Sebuah fenomena gunung es dalam
tulisan-tulisan psikologis. Mungkin pacarnya pernah membaca tentang itu di
majalah pada rubrik konsultasi seks dan remaja. Mungkin saja.
Bunyi
seduh kopi pagi bagai blues malam
hari. Hening menebal di antara dua pasang mata saling pandang. Sepotong kalimat
yang pernah didengar dari kuliah sastranya, “all dreams have sexual meaning**,” melingkari otak. Hening itu
menjadi mahkota duri di kepala. “Jika begitu, bagaimana dengan mimpi yang sudah
terdapat “realitas” seksual di dalamnya? Pasti………#$%^&”
Ia
melihat pacarnya sedang memikirkan sesuatu. Jauh pandang matanya menembus ruang.
Ia, lalu, membungkukkan kepala. Ia menyesali diri karena sudah menceritakan
mimpinya.
Djogja, 12 Oktober 2012
Alfred Tuname
*
Disadur dari puisi Gong, karya sastrawan Nirwan Dewanto dalam buku
himpunan puisinya berjudul “Jantung Lebah Ratu”, 2008.
**
Ungkapan pendudukan asli Amerika yang pernah
dikutip Claude Lévi-Strauss.
Komentar
Posting Komentar