“Neraca-Timpang” Infrastruktur


Membayangkan Indonesia yang besar dan luas berarti kita sedang tenggelam dalam kolam keindahan bangsa yang bhineka tetapi satu. Kebhinekaan itu terbayang dalam satu pigura Indonesia. Tetapi, Indonesia tidak habis dalam bayangan satu bangsa. Fitur-fitur kesatuannya harus menyentuh tulang dan daging manusia-manusia Indonesia. Darah yang mengalir dalam tulang dan danging manusia Indonesia menjadi tubuh kebangsaan. Darah itulah semangat kebangsaan. Salah satu fitur kesatuan bangsa yang penting kita bicarakan adalah infrastruktur (fisik).  

Infrastruktur itu sendiri berasal dari bahasa Prancis, infrastucture. Kata itu, sebelumnya, digunakan untuk kalangan militer dalam kaitannya dengan sarana dan prasarana pendukung di bidang pertahanan dan keamanan. Sekarang pun, ketersidiaan infrastruktur pun menjadi sangat penting bagi susteinabilitas pertahanan dan keamanan ekonomi negara. Infrastruktur itu sendiri adalah indikator ulung bagi pertumbuhan ekonomi. suatu negara atau daerah dikatakan maju jika akses masyarakat terhadap pola kehidupan yang lebih baik dan bermartabat ditunjang oleh infrastruktur yang memadai. Infrastruktur itu harus disediakan oleh negara. Itulah infrastruktur publik.

Infrasturuktur publik adalah faktor determinan kualitas hidup masyarakat. Kualitas kehidupan masyarakat menandakan kualitas pertumbuhan ekonomi. Secara makro, pembangunan ekonomi dapat berpengaruh signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi negara. Oleh sebab itu, target pertumbuhan ekonomi yang tinggi harus disertai dengan injeksi investasi infrastruktur yang tinggi. Secara ekonomi riil pun, pembangunan infrastruktur publik sangat bersentuhan dengan kebutuhan akses ekonomi masyarakat. Ketersediaan jalan raya yang memadai, jembatan, irigasi, rumah sakit, pelabuhan laut, internet dan lain-lain sangat penting bagi aktivitas ekonomi masyarakat. Tesisnya adalah kesediaan infrastuktur dapat meningkatkan pendatapan masyarakat dalam aktivitas ekonominya.

Infrastruktur dan ironi demokrasi
Berdasarkan tesis di atas, kita pun dapat mengamini bahwa infrastruktur dapat mereduksi danau kemiskinan  menjadi hanya sebutir embun. Bahwa danau kemiskinan tidak hanya berkenaan dengan klaim ekonomi (pendapatan rendah) tetapi juga berdimenasi sosiopolitik (ketidakadilan). Oleh sebab itu, pembangunan infrastruktur publik merupakan konstruksi keadilan pada bejananya yang retak. Di sini, infrastruktur menjadi neraca equilibrium sosial-ekonomi rakyat.

Akan tetapi, infrastruktur menjadi sebuah neraca yang timpang bila kebijakannya hanyalah ekspresi kekuasaan yang loba. Jalan politik pun beriringan dengan ekspresi kekuasaan itu. Dengan politik, rakyat mengharapkan moment emansipatoris. Bahwa aktor-aktor politik dapat mengawasi distribusi kekayaan negara secara merata di seluruh negeri.

Lantas, dari mana kita harus angkat bicara ketika para legislator justru menimbun kekayaanya dalam proyek-proyek infrastruktur? Kasus korupsi dalam Dana Penyesuaian Infrastruktur Daerah (DPID) adalah bukti pemakzulan hak-hak rakyat oleh wakilnya sendiri. Infrastruktur ternyata tidak menjadi bagian dari investasi publik tetapi hanya bagian dari “do ut des” para anggota dewan. Menciptakan proyek hanya untuk mendapatkan pecahan dana saku sendiri. Proyek seperti menjadi modus untuk merompok uang rakyat. Demokrasi menjadi ironi karena ternyata harus memilih para “perampok”. DPID hanya salah satu contoh perilaku perampokan itu. Proyek wisma Altet Hambalang, ………………… adalah rangkaian bunga bangkai korupsi yang keluar dari kubangan gedung Senyan.

Proktek korupsi telah mematahkah tiang-tiang demokrasi dan merusak sendi-sendi kehidupan masyarakat. Harapan masyarakat akan kehidupan yang lebih baik masih jauh panggang dari api. Demokrasi yang lahir untuk mewujudkan kehidupan masyarakat yang lebih baik sudah dikebiri oleh segerombolan orang yang justru dibesarkan oleh demokrasi.

Infrastruktur dan Bangunan Nasionalisme
Persoalan utama infrastruktur di masyarakat adalah infrastruktur dasar (basic infrastrcture). Infrastruktur dasar itu diantaranya jalan raya, penerangan, telekomunikasi, pelabuhan Fery, jembatan dan irigasi. Tujuan infrastruktur dasar ini adalah memudahkan geliat aktivitas ekonomi masyarakat dan menjebol tambok isolasi daerah.

Indonesia adalah negara yang besar dan terdiri dari banyak suku bangsa yang tersebar di berbagai daerah dari Sabang sampai Marauke. Keterbatasan infrastruktur akan mengisolasi daerah-daerah yang terpencil sekaligus merawat kemiskinan daerah tersebut. Isolasi dan kemiskinan daerah menandakan keterbelahan negara sebab negara tidak menjamin kesejahteraan. Kesejahteraan adalah raison d’etre kehidupan bernegara.

Kehidupan bernegara yang menjamin kesejahteraan rakyat dimulai sejak rasa nasionalisme melambung tinggi. Nasionalisme dan kesejahteraan adalah rumus identitas yang pasti. Persoalan disintegrasi selalu muncul dari persoalan kesejahteraan. Orang pun tidak bisa meneriakan nasionalisme sementara perutnya masih kosong. Nasionalisme semakin sulit begeliat  jika pembangunan infrastruktur hanya berpusat pada daerah-daerah “dekat” ibukota negara. Persoalan kemiskinan, urbaniasai dan konflik sosial dan lain-lain tersebar justru dipicu oleh persoalan pemerataan pembangunan infrastruktur.

“Nasionalisme tanpa keadilan sosial adalah nihilisme” (Cindy Adams, 2011). Soekarno sudah melihat persoalan nasionalisme sejak bayi negara Indonesia dibentuk. Itu berarti bangunan nasionalisme tidak hanya dibangun dengan pemeo “aku cinta Indonesia”. Nasionalisme dibanguan fondasi pemerataan pembangunan infrastruktur. Pembangunan infrastruktur yang merata menjamin kualitas kehidupan (quality of life) dan memproyeksi kemajuan manusia (human progress) Indonesia di masa depan. Itulah cita-cita kemederkaan Indonesia. Di tengah nafas nasionalisme Indonesia yang kian lemah, pertanyaan reflektif filsuf Jean Jaques Rousseau perlu dihembuskan lagi; “Oú est-telle, la  patrie?... La patrie est dans les relations de l’état à ses membres. Quand ces relations changent ou s’anéantissent, la patrie s’évanouit” (Di manakah tanah air itu?... Tanah air ada dalam hubungan antara negara dan warganya. Bila hubungan itu berubah atau rusak, tanah air itu akan lenyap).

Djogja, 24 Agustus 2012
Alfred Tuname

Komentar