Buku
di Djogja
Dalam sebuah pameran buku,
gabungan beberapa penerbit nasional dan lokal Djogjkarta meneriakan seruan
bijak tentang membaca dan memproklamasikan kota Djogjakarta sebagai kota buku. Sebagai
kota buku, penduduk ataupun setiap orang yang sudah mampir ke kota ini
diharapkan membaca buku. Kata orang buku adalah jendela dunia. Itu berarti
membaca buku berarti seseorang sedang melihat dunia melalui sebuah lubang
jendela. Di permukaan, dunia ini terasa sempit tetapi semakin pandangan itu
jauh, dunia tampak luas dan semakin sulit dimengerti, karenanya orang perlu
membaca banyak buku. Dengan begitu, dunia yang jauh akan semakin dekat dan
semakin dimengerti.
Slogan Djogjakarta sebagai
kota buku terasa seakan gayung bersambut dengan pakem lama bahwa Djogjakarta
sebagai kota pelajar dan kota pariwisata. Banyak pemuda belajar di kota ini.
Sekolah-sekolah dan universitas bertebaran di mana-mana. Djogjakarta pun
menjadi Indonesia mini. Budaya intelektual, kritis dan solidaritas melekat pada
masing-masing pribadi yang sedang belajar di kota ini. Dengannya, buku menjadi
kebutuhan pokok. Setiap orang membaca dan pasti membaca.
Akan tetapi, masih tetap ada
persoalan perihal baca, tulis dan buku an
sich. Buku bisa dianggap sebagai rekaman pemikiran yang tertulis dan
komprehensif. Selain berisi pemikiran yang komprehansif, sistem penulisan dalam
buku harus mengikuti kaidan-kaidah kepenulisan yang baik dan benar. Setidaknya,
penulisan itu harus benar dan baik secara gramatikal dan leksikal. Persoalan
gramatikal dan leksikal pun tidak bisa dianggap teknis sebab akan bersentuhan
dengan semanein (arti, maksud) pada
kata atau kalimat.
Buku yang hadir di hadapan
kita juga sering kali tidak berarti apa-apa selain sebagai sebuah proyek
pesanan atau propaganda. Buku jenis ini biasanya punya motif politik. Artinya,
buku bisa membawa dampak popularitas seraya menjernikan luka-luka sosial yang
melekat padanya. Tiba-tiba saja terdapat banyak buku tentang seorang tokoh yang
tidak lain hanya berisi adorasi manipulatif. Menjelang pilpres 2014, buku-buku jenis
ini terbit melimpah. Buku-buku jenis ini sebenarnya hanya sampah yang mengotori
jagad kepenulisan sebab tidak informatif dan tidak memiliki nilai pengetahuan.
Orang membaca buku karena
ingin mendapatkan informasi dan pengetahuan. Selain itu, dengan membaca banyak
buku, seseorang dapat melihat persoalan lebih jernih dan kritis. Akan tetapi,
soal membaca adalah soal budaya. Membaca belum menjadi budaya. Parahnya lagi, habitus baca seseorang dianggap sebagai
kutu yang bisa menyinggung kebiasaan nongkrong
orang lain. Seorang bule yang asik membaca sebuah buku pada sebuah angkutan
umum dianggap wajar. Sementara, seorang warga negara yang asik dengan bukunya
pada kendaraan umum mendapat senyum sinis. Ini adalah sebuah budaya yang aneh bahwa
membaca hanya untuk rutinitas sekolah dan kampus. Maka tidak salah jika seorang
yang sedang asik membaca, tiba-tiba temannya datang dengan pertanyaan, ”besok ada ujian kah?” Sebenarnya, ujian terberat intelektual muda
adalah duduk membentang kata di antara tumpukan buku.
Baca
di Manggarai Timur
Soal membaca, sebuah berita
menarik datang dari bentangan Indonesia bagian timur yakni Kabupaten Manggarai
Timur, Flores, NTT. Sebuah berita online (www.theindonesianway.com)
pada tanggal 25 Juli 2012 menulis bahwa “DPRD Manggarai Timur Tak Setuju
Dianggap Jarang Baca Buku”. Bantahan itu muncul untuk menanggapi pernyataan
Kepala Kantor Perpustakaan dan Kearsipan Kabupaten Manggarai Timur (Matim),
Hendrikus Manus. Premis mayor pernyataanya adalah minat baca pegawai negeri
sipil (PNS) sangat minim. Salah seorang anggora DPRD Matim, Siprianus Nejang,
membantah pernyataan tersebut. Ia mengatakan bahwa membaca adalah aktivitas
yang bersifat personal. Uniknya lagi, dikatakan bahwa hanya Wilybrodus Nurdin,
Wakil Ketua I DPRD Matim yang rajin meminjam buku di kantor Perpustakaan dan
Kearsipan tersebut.
Terlepas dari kisah
kontroversi klasik di atas, beritas di atas sedang mengisahkan “tragedi” kultur
baca di Manggarai Timur. Sebenarnya realitas ini sudah lama terjadi. Banyak
pejabat publik yang sudah tidak lagi membaca buku selain tabel-tabel RAB (Rencana Anggaran Biaya). Buku menjadi benda tua berlumut. Buku hanya dikenang
di meja-meja kuliah.
Namun, kalau diteliti secara
lebih mendalam (duc in altum), terdapat
riak-riak politik Matim yang menggelembung atas berita itu. Matim akan
mengadakan pilkada pada tahun 2013. Wilybrodus
Nurdin dengan paket “Wintas” akan maju dalam pentas politik pilkada. Politik
pilkada menandakan aksi saling dukung untuk mendapatkan massa rakyat atau
sekadar mempengaruhi massa rakyat. Di Matim, dukungan pejabat publik atau elit
politik boleh jadi berkonotasi mendapat simpati “keluarga besar” pejabat publik
atau elit politik tersebut. Jelas, nilai tukarnya adalah jabatan penting pada
dinas-dinas “basah”, kelak. Pernyataan kepala kantor perpustakaan dan kearsipan
secara tidak langsung berarti dukungan terhadap “Wintas” sekaligus menyiapkan
kuda-kuda kontra incumbent. Sementara
anggota DPRD Matim, Siprianus Nejang, mengambil jarak dengan skala aman pada
peta politik Matim kekinian. Ia membela diri sekaligus merayakan label “silent reader” dalam aktivitas membaca.
Berita tentang tragedi kultur
baca PNS Matim meneguhkan status kuasa media. Media pandai membasahi merahnya
bibir politik politik lokal yang merayu. Media pun punya cara berpolitiknya
sendiri sampai-sampai politik lupa memahaminya. Bahwa dalam tragedi kultur baca
PNS ternyata ada jenaka politik suksesi yang senang senggol saraf kekuasaan.
Rembesannya muncul dalam harapan bahwa semoga semua pejabat publik Matim senang
membaca buku. Buku dapat menyemai karakter bangsa yang lebih bernilai dan
beradab. Buku dan peradaban adalah sahabat sejati. “seperti satu lembar kertas”,
mengutip Ferdinand de Saussure (1965) dalam kanonnya, Cours de linguistique générale,”pikiran adalah recto dan suara adalah verso; seseorang tak dapat memotong satu
sisinya tanpa memotong sisi lainnya di waktu yang sama; dan di dalam arti yang
sama, dalam bahasa seseorang tak dapat mengisolasi suara dari pikiran maupun
pikiran dari suara (kata)”. Buku adalah suara/kata, dan peradaban adalah
pikiran. Oleh karena itu, ambil (buku) dan bacalah!!!
Djogja,
01 Agustus 2012
Alfred
Tuname
Komentar
Posting Komentar