Politik lokal
di NTT (Nusa Tenggara Timur) kekinian sedang bergeliat yakni Pilgub NTT 2013. Melirik Pemilu Gubernur (pilgub) NTT 2013 berarti menceburkan
diri dalam horison demokrasi politik NTT. Teleologi politik itu adalah
kekuasaan. Dalam hal ini, kepantasan putra daerah menjadi gubernur NTT periode 2013-2018. Political discourse pun berkisar pada
kontestasi politik NTT tersebut.
Dua
putra terbaik Manggarai, tanpa ragu, siap menceburkan diri dalam kontestasi
politik NTT 2013 nanti. Mereka adalah Dr. Benny Kabur Harman (BKH) dan Drs.
Cristian Rotok (CR). Setiap bakal calon gubernur NTT ini memililiki latar
belakangnya masing-masing. CR adalah bupati Manggarai dua periode, 2004-2010 dan 2010-2015. BKH adalah anggota
legislatif pusat dari partai Demokrat periode 2009-2014. Sistem demokrasi
Indonesia menjamin hak politik itu. Dengan percikan “Aristotelian Insight” bahwa man
is a zoon politikon, BKH dan CR maju dalam pilgub NTT 2013.
Alih
perhatian warga NTT pun tertuju pada pilgub NTT 2013. Bagi orang Manggarai,
kehadiran dua tokoh BKH dan CR menimbulkan secercah harapan. Mereka adalah hadiah
terindah bumi congkasae untuk
perubahan NTT yang lebih baik. Masyarakat NTT sudah mengalami perubahan yang
lebih sejahtera. Akan tetapi selalu saja ada persoalan pokok yang belum tuntas.
Problem kemiskinan (poverty) masih menjadi hantu dalam mimpi kesehateraan bersama. Problem
kemiskinan NTT adalah “’spacial poverty
Trap’ atau jebakan kemiskinan spasial yang dapat dijelaskan sebagai
berikut: secara ekologis-geogragis terisolasi, tipis sumber daya alam,
rendahnya infrastruktur, lemahnya kelembagaan (rule of law, governance) dan secara politis terisolasi karena tidak
dipikirkan oleh pengambil kebijakan di sentra kekuasaan” (Silvia Fungidae,
2008:4-5).
Perjuangan
politik adalah pilihan politis untuk memotong rantai kemiskinan itu. Sebagai
warga NTT, orang Manggarai mempunyai pilihan politis sendiri dalam merespon dua
tokoh Manggarai dalam kontestasi pilgub NTT 2013. Pilihan itu menjalar dalam
dukungan kepada salah satu tokoh. Kerangka buttom
up pun beralas pada pilihan yang sadar. Bahwa dukungan itu timbul dari
pilihan rasional (rational choice)
atas kiprah dan sepak terjang dua tokoh Manggarai tersebut.
Dalam
kerangka buttom up, Geliat akar
rumput masyarakat Manggarai menandai adanya keberpihakan pada tokoh tertentu. Tentu,
masyarakat Manggarai mengharapkan satu calon pemimpim untuk dalam pilgub NTT
akan tetapi realitas itu tidak ada. Saat ini, masyarakat Manggarai hampir
terjebak dalam corrosion of democracy.
Bahwa, seperti dikatakan Montesquieu, bahwa prinsip demokrasi dikorup bukan
saja ketika spirit kesetaraan hilang, tetapi juga ketika spirit kesetaraan yang
ekstrem berlangsung-manakala setiap orang merasa pantas memimpin (Yudi Latif, Kompas, 23 Maret 2009).
Namun,
keyakinan tetap ada bahwa akan ada satu tokoh Manggarai yang memimpin NTT
menuju bonum commune dan mengikuti jejak
anak “mantri kakus” dan leermeester von
velen, Ben Mboi. Keyakinan itu beralas pada intuitive ideas warga masyarakat an sich. Mengutip Chantal
Mouffe dalam buku The Return Of The Political bahwa “ society is a fair system of cooperation and that citizens are free and equal in virtue of their possession of two moral
powers- (1) capacity for a sense of justice and
(2) capacity for a conception of the
good”.
Warga
masyarakat Manggarai, dalam kesenyapannya, sudah mulai berpikir tentang
hinggar-binggar politik NTT “satu”. Berpikir
menempati horison freedom dan equality.
Atas dasar itu, warga masyarakat Manggarai
memiliki sense of justice dan conception of the good yang melekat pada landas berpikir
masing-masing. Fundamen kekuatan moral ini (moral
powers) boleh jadi mendeterminasi pilihan (dukungan) politik. Setidaknya
filsuf Gilles Deleuze pernah meyakinan bahwa “the movement is always made behind the thinker’s back”.
Di
Manggarai, gerakan politis untuk mendukung bakal calon pemimpin NTT sudah ada.
Diseminasinya sedang diperlebar. Masyarakat akar rumput yang mendukung salah
satu bakal calon mengambil inisiatif dengan menyebut diri sebagai “sahabat”. Sementara
bakal calon lain menggandeng para jurnalis lokal untuk meramaikan jagad
publikasi lokal. Bakal calon seperti ini pun seolah-olah omnipresent. Hal ini
boleh dibandingkan dengan incumbent yang
mendapat hati Pos Kupang. Pos Kupang merayakan proyek “Anggur
Merah” melalui headline beritanya. Tentu
kita pun pasti sepakat bahwa media bukan saja medium-McLuhan tetapi “agama” yang bisa meng-santifikasi
“santo-santo politik”.
Kontestasi
politik Pilgub NTT 2013 masih lama. Ajakan profetiknya adalah mari kita rakit
kekuatan moral kita. Kekuatan moral itu membantu kita memilah mana pemimpin
yang benar-benar berani menerjang badai kemiskinan dan melawan arus banjir
korupsi. Tak usah muluk-muluk, cukup dua itu saja. Bahwa ekonomi NTT yang
tumbuh membaik masih kontra intuitif sebab berita hari ini di NTT adalah berita
tentang kemiskinan akbar dan korupsi berjamaah.
Djogja, 15 Mei 2013
Alfred Tuname
Mantap...
BalasHapus