Ola more ebe gheta
Welu nau sawe mema
Tau guru tau pera”*
-Pantun
daerah Lio, Flores, NTT oleh Bapak Jacobus Ari**
Hipotesisnya
adalah semua orang pasti suka dihiburan. Oleh karenanya semua orang bergeliat
mencari hiburan. Efek psikologis hiburan sudah jelas yakni terhibur.
Tertawa dan senyum menandakan ekspresi rasa terhibur itu. Hiburan pun datang
dalam beragam bentuk. Ada musik, tari, film, teater, et
cetera. Masing-masing bentuk hiburan itu pun berproliferasi
dalam genre yang begitu banyaknya. Setiap orang pun dapat memilih hiburan
sesuai dengan rasa hatinya. Dalam hal ini, selera berperan penting dalam proses
preferensial tersebut.
Kita
semua pasti sepakat, musik adalah pilihan sejuta umat dalam kerajaan hiburan.
Lagi-lagi selera menjadi faktor paling determinan atas pilihan itu. Soal musik
yang adalah hiburan ternyata tidak terpetak otonom. Saling sikut antara kultur,
ekonomi, politik dan agama dalam mempengaruhi hiburan musik menandakan musik
sebagai terra incognita. Musik
tidak hanya seonggok musik. Musik bukan anak sebatang kara yang asik dengan
dirinya sendiri. Paket subjektif ”de
gustibus non est disputandum” (soal selera tidak dapat
diperdebatkan) harus mendapatkan tandem motif kultur, paket ekonomi, muatan
politik dan kutu agama.
Ketaksendirian
musik menandakan hegemoninya atas lintas bejana-bejana kehidupan. Artinya musik
bukan lagi hanya sebagai medium tetapi subjek atas dirinya sendiri sehingga
ramai-ramai partisi sosial berkelindan di atasnya. Slogan ”Make Music not War”
mewartakan pesan profetis musik yakni perdamaian. Pesan profetis ini tersirat
elemen ejekan politis kepada negara-negara adikuasa yang dianggap doyan
kekerasan dan perang. Di sini, bermusik berarti berperang secara simbolik
melawan aktivitas perang konvesional. Perang versi ”make music” adalah rasa damai dan terhibur.
Perang versi ”war” adalah kekerasan (violence)
dan kematian.
Posisi
inversial ”make music”
dan ”war” hanya
dapat dimengerti dalam orde politik demokrasi. Bahwa musik adalah vox
dei yang
menegur kelaliman dan kesewenangan praktik kekuasaan. Ketika pluralitas
dan kemanusiaan diberi tempat yang agung maka musik menjadi penanda subversif
atas praktek-praktek totaliter penguasa. Berbeda dengan rezim politik
demokrasi, rezim totaliter menjadikan musik sebagai ”anak pingit”. Di
sini, musik menjadi pesakitan dan dipaksa untuk menghibur kekuasaan. Musik
disangkarkan dalam liak-liuk kebebasaannya. Ungkapan V.I. Lenin
yang terkenal saat mendengar Bethoven, Appassionata, yakni ”if i keep listening to it, i won’t finish the revolution”
terbaca sebagai tafsir kebebasan pada musik untuk membongkar notasi kekuasaan
totaliter pada bangsa Rusia.
Bangsa
Indonesia pernah mengalami penertiban atas liak-liuk kebebasan bermusik. Selama
orde lama dibawah kepemimpinan Soekarno, musik-musik yang berasal dari Eropa
dianggap sebagai penyusupan ideologi kapitalisme. Oleh sebab itu, genre musik
musik seperti jazz, blues, country , rock n roll et
cetera tidak
diperbolehkan bergema di bumi Indonesia. Orde baru di bawah kepemimpinan
Soeharto, musik-musik Eropa diperbolehkan masuk dan berbaur dengan musik-musik
tradional. Akan tetapi, musik dan syair harus seiring dan seirama dengan bahasa
pengusa. Musik yang ditafsir sebagai kritik penguasa akan di”aman”kan sebab
dianggap sebagai ngengat penganggu stabilitas nasional. Musik pun
dipenjara dalam diorama-diorama megah untuk menghibur kekuasaan. Musik pun menjadi
alat kekuasaan untuk meninabobokan obyek kekuasaanya.
Di
era yang lebih modern sekarang dan demokratis, ternyata hantu-hantu dengan
watak-watak totaliter maih bergentayangan. Dengan klaim-klaim tertentu, dengan
kaidah-kaidah tertentu dan dengan aturan-aturan tertentu, musik digotong dalam
kondisi ”under presseure”.
Musik tidak lagi lepas bebas dan menghibur tetapi dicurigai dan diberi paket
budaya, muatan politik dan bobot ekonomi. Musik dipaksa cabut dari bahasanya
yang universal. Pembatalan konser Lady Gaga di Indonesia adalah bukti
menganga privatisasi bahasa musik. Cara baca musik dalam perspektif
theologico-politik yang fundamental melahirkan bahasa intoleran. Celakanya,
bahasa ini dipertegas oleh sikap inteloran kekuasaan yang melarang konser Lady
Gaga di Jakarta. Alasan-alasan di belakang pelarangan konser ini
justru menyingkapkan kepicikan dan kemunfikan ”aparat penegak moral” bangsa.
Atas
nama apa pelarangan konser, moral? ”urus saja moralmu”, demikian sebuah
pertikan syair lagu Iwan Wals. Korupsi lebih penting diurus
daripada harus ribut soal konser musik dalam peta moralitas. Mari kita
pertanyakan pluralisme Indonesia dalam kasus ini. Dari sini kita bisa melihat
bahwa butir-butir pluralisme Indonesia mulai tereduksi oleh klaim-klaim kaum fundamental.
Lantas apakah Lady Gaga adalah sesosok monster jahanam yang harus
hilangkan dari bumi pertiwi dengan klaim-klaim kaum fundamental?
Di
atas pentas pada konsernya di Singapura, ”monster” Lady Gaga tidak mengucapkan
kata diabolik kepada bangsa Indonesia. Justru ia mengajak para penggemar
bersama-sama mengatakan, ”Indonesia I love you”. Dengan itu,
boleh jadi, rasa ke-Indonesia-an Lady Gaga lebih besar dari para kaum
fundamental yang mengatasnamakan Indonesia itu. Lalu apa rasanya jika orang
asing seperti Lady Gaga memproklamirkan kepada dunia di luar negeri (Singapura)
dengan mengatakan ”Indonesia, i love you”? Ia sedang
mengkomunikasikan pesan-pesan parrhesiastik Foucaultian. Filsuf Prancis Michel
Foucault mempopulerkan istilah teknis parrhesia dalam seminar dengan judul ”Discourse and Truth: The
Problematization of Parrhesia” pada tahun 1983 di Berkeley,
California, Amerika Serikat. Parrhesia(bahasa Yunani,
pan=semua, rhema= ekspresi, perkataan) berarti bericara jujur dan terbuka.
Dalam arti riil, parrhesia berarti aktivitas penggungkapan segala sesuatu yang
ada dalam pikiran seseorang (action
de tout declarer, tout exprimer). Ungkapan ”i love you” seorang asing
Lady Gaga kepada Indonesia adalah bahasa parrhesistik yang berisi kejujuran di
atas kebebasannya bermusik. Praktek parrhesia mendatangan resiko ”pengusiran”
dirinya. Meskipun begitu, ia masih menaruh hati kepada bangsa yang telah
”mengusir” dirinya. Inilah kebenarannya. Ungkapan Lady Gaga tersebut sebenarnya
sedang menelanjangi kemunafikan kita yang sering ditutupi dengan jubah moral
dan dogma. Di balik busananya yang super seksi ternyata dia lebih bermoral dari
orang-orang yang berjubah panjang berpita moral. Itu berarti ”pengusiran” Lady
Gaga adalah penebalan sendimentasi kemunafikan. Pertanyaannya sekarang, siapa
yang lebih bermoral?
Lady
Gaga tidak gagah di atas pentas di Indonesia. Negara yang ia cintai justru
menolaknya. Di negara yang masih berkeliaran kemunafikan, sosok Lady Gaga
menjadi ”montster” yang terlalu berani dan jujur. Akan tetapi, semoga akan
lahir ”monster-monster” lain di negeri ini yang lebih berani dan jujur untuk
tampil menelanjangi semua bentuk kemunafikan. Jangan sampai kejadian seperti
Lady Gaga terjadi kembali di negeri ini. Mari kita beri tempat pada pluralisme
dan kretivitas yang parrhesistik, sebab , mengutip Susana Tamaro (2009) dalam
novel Ascolta la Mia Voce, ”musik dapat membuka pintu apa
pun”. Setidaknya ini pesan dari ”petaka” Lady Gaga di Indonesia.
Djogja,
Juni 2012
Alfred
Tuname
* tenunan Nggela kuning keemasan
Terkenal sampai di luar daerah
Tinggalkanlah semua pesan
Untuk pelajaran di masa datang
**
Gawa, John. 2009. Wisdom in 1001 Pantun. Jakarta: Gramedia
Komentar
Posting Komentar