Hidup di kota
besar yang mbudak, aktivitas berjalan kaki adalah sesuatu yang susahnya bukan
main. Jalan kaki pasti
bersentuhan dengan nilai-nilai ideologis selain life style. Jalan kaki
menjadi life style hanya terjadi pada ruang-ruang publik yang hijau atau
pun taman-taman yang bebas dari asap kendaran. Alasan utamanya adalah
kesehatan. Aktivitas jalan kaki pun berhenti di situ. Sisi ideologisnya adalah
cengkraman pasar membuat masyarakat terjebak dalam labirin konsumerisme. Masuk
ke dalamnya berarti tidak akan pernah ke keluar. Konsumerisme adalah anak
kandung kapitalisme. Hantu kapitalisme ini terinfiltrasi dalam atribut gengsi.
Memiliki kendaraan seakan mempertegas identitas subjek. Kendaraan pun tidak
lagi memiliki nilai utilitas tetapi
penanda simbolik kekuasaan, kekayaan dan lain-lain. Itu berarti berjalan kaki
berarti beranii miskin dan menjadi jongos di antara barisan kendaraan mewah
yang lalu-lalang di jalan raya.
Siapa yang berani jalan kaki di jalur pedestrian kota? Hampir pasti hanya terdapat 0,01% dari
100% orang dari jumlah penduduk. Jalur untuk pejalan kaki sudah digunakan untuk
aktivitas bisnis. Pedagang kaki lima berbondong-bondong merebut ruang sempit
yang kosong tersebut. Belum lagi kalau berada pada jalur padat lalu lintas,
pedestrian pun berubah menjadi jalur alternatif.
Kompas Rabu, 23 Mei 2012,
menurunkan feature berjudul ”Jumlah Pejalan Kaki Terus Menurun”. Koalisi
Pejalan Kaki Jakarta, membeberkan data bahwa ”tahun 2002 jumlah orang berjalan
kaki sebanyak 23,5 persen dari total
perjalanan sebanyak 18 juta kali per hari. Tahun 2010 jumlah perjalanan dengan
berjalan kaki 22 persen dari total 21 juta perjalanan per hari”. Jadi terjadi
penurunan riil terhadap jumlah orang yang berjalan kaki di Jakarta. Sebabnya
adalah kondisi trotoar yang malfungsi. ”Trotoar di Jakarta juga masih sarat
dengan penyerobotan mulai dari pengguna
sepeda motor yang melintas di trotoar,
parkir, hingga pedagang kaki lima”. Ternyata di ”ruang tamu” Indonesia itu, kota sudah tidak
bersahabat dengan pejalan kaki. ”Trotoar yang ideal masih terpusat di kawasan
Sudirman, Thamrin, Monas, Menteng, kebayoran Baru dan Rasuna Said”. Hanya itu saja. Di jalanan, cerita roman
keakraban dua sahabat karib, Jakarta dan kemacetan, sudah menjadi cerita yang
umum. Anak dalam kandungan pun mungkin saja sudah tahu cerita itu.
Lain Ceritanya dengan Djogja. Belum ada trotoar ideal. Di kawasan Malioboro
sendiri sudah sesak. Trotoar sudah untuk pedagang kaki lima dan parkir
kendaraan roda dua. Di tempat lain, di wilayah Sleman, kondisi trotoar juga
hampir sama. Di tempat-tempat anglomerasi bisnis, trotoar sudah menjadi lahan
pendapatan para juru parkir. Juru parkir hanya berfungsi sebagai penata
kendaraan biar semakin banyak kendaraan yang bisa diparkir. Mereka bukan menjaga sebab kehilangan
kendaraan pun helm adalah resiko pemilik. Selanjutnya, mereka duduk
ngantuk-ngantuk sambil menunggu uang retribusi.
Di luar daerah anglomerasi bisnis, trotoar hanya berfunsi sebagai pelengkap
atribut kota dan bahkan belum ada trotoar. Di daerah itu, trotoar berfungsi
seperti halaman jemur ikan asin; panasnya bukan main. Nilai utilitas trotoar
pun belum tercapai. Konsep kota nan hijau hanya di atas kertas. Memang di
beberapa tempat telah dibangun semacam halte dengan langit-langit tumbahan
rambat. Hanya terkesan tidak terawat. Di
kota pendidikan saja sudah begini, apa lagi di kota-kota lain? Di pulau Dewata,
Bali, pemerintah sedang bersusah payah menanggulangi masalah ledakan kendaraan
beroda empat. Simpang lima bali
menjadi simpang-siur. Memang tidak ada kendaraan roda dua yang melewati
trotoar. Hanya saja trotoar hampir belum termanfaatkan secara maksimal. Bali
yang panas membuat orang lebih memilih untuk menggunakan kendaraan pribadi atau
taksi. Bali setelah tragedi Bom Bali I dan II adalah suatu kondisi dimana turis
manca negara tidak lagi merasa nyaman untuk berjalan kaki. Momen traumatik
selalu membayangi langkah mereka. Akan tetapi Bali tetap menjadi surga bagi
para pelancong.
Kembali ke Djogja. Suatu suatu saya berbincang-bincang dengan seorang sopir
sebuah bus angkutan dengan ijin trayek terminal Giwangan-Imogiri. Ia membawa
saya pada nostalgia era sebelum reformasi. Katanya, sebelum reformasi bus
angkutannya selalu penuh dengan penumpang. Penumpang dari berbagai kalangan
dari berbagai kalangan mengisi setiap kursi yang kosong, bahkan ada yang
berdiri. Akan tetapi setelah era reformasi, penumbang berangsur-angsur
berkurang. Pendapatannya semakin berkurang. Keluahannya ditambah dengan
analisis ekonomi politik yang cukup cerdas. Bahwa setelah era reformasi, kran
liberalisasi perdagangan semakin lancar. Industri otomotif terus berkembang dan
bersaing. Kompetisi itu berujung pada kebijakan harga kendaraan. Dengan sistem
sedemikian rupa orang dengan muda membeli kendaraan, khususnya roda. Hanya
dengan KTP, KTM dan uang Rp 500.000,- seseorang bisa membeli kendaraan dengan
sistem angsuran. Maka terjadilah pembludakan kendaraan di Djogjakarta.
Analisa sopir itu benar. Dan pembludakan kendaraan roda dua bahkan roda
empat di Djogjakarta adalah berkat sekaligus bencana. Berkat karena Pendapatan
Asli Daerah (PAD) dari pajak kendaraan
bermotor akan mengalami kenaikan progresif. Akan tetapi perlu diingat
bahwa sebagian besar kendaraan itu juga datang dari daerah luar kota. Selain itu beban pengeluaran pemerintah
untuk perbaikan jalan juga semakin besar. Kepadatan kendaraan juga
mengakibatkan kesembrawutan jalur lalu lintas. Para pengguna jalan yang beraktivitas
pagi hari dan malam minggu akan mengetahui kondisi kesembrawutan itu secara
baik. Atau silakan tanya pada polisi lalu lintas (polantas) yang bertugas saat
itu. Atau silakan coba melewati Bundaran UGM saat pagi hari. Yang lebih penting lagi adalah urusan
kesehatan. Radang paru-paru, kanker, dan gangguan saraf dan penyakit mental bisa muncul akibat gas buang kendaran
yang terakumulasi; polusi udara juga suara.
Ada terobosan brilian pemda DIY yakni dengan menyediakan angkuran publik
mewah (ber-AC) lengkap dengan fasilitas penunjangnya; Trans Jogja. Masyarakat
pun antusias dengan kendaraan ini. Penumpang difable pun dapat dengan enteng
menggunakan jasa angkuran ini. Pengguna
pun semakin lama semakin melonjak. Kemacetan lalu lintas sendikit teratasi. Hanya
saja masih ada kendala. Alokasi belanja APBD untuk transportasi publik ini
masih terbatas, bahkan defisit. Unit kendaraan Trans Djogja tidak bertambah
padahal jumlah penggunanya terus meningkat. Maintenance-nya pun bermasalah. Defisit anggaran membuat angkutan ini tidak terawat. AC
bocor, kursi patah, pintu dengan sistem buka-tutup otomatis menjadi sangat
manual dan bahkan berjalan dengan tanpa pintu.
Terkesan, masyarakat selalu menuntut. Tuntutan akan perbaikan pelayanan
publik memang harus dilakukan. Masyarakat sudah menjadi warga negara yang baik
dengan membayar pajak. Kontor pajak di Jl. Ring Road Utara, Maguwoharjo, sangat
megah dan mewah. Pembayaran pajak pun menggunakan sistem digitalisasi super
canggih. Lantar kemana rekapitulasi pajak tersebut kalau bukan untuk membiayai
penyelenggaraan negara dalam hal ini pelayanan publik yang memadai? Kita
bertanya sambil tetap memberi ruang pada optimisme akan Djogja yang nyaman dan
selalu berbenah.
Djogja, 20 Juni 2012
Alfred Tuname
Komentar
Posting Komentar