Sering terdengar semacam tradisi lama yang diungkapkan
dalam sebait kalimat bahwa “belum ke Djogja kalau belum ke Malioboro”. Para
pengunjung dan “tamu” pun hampir pasti mengayun langka pendek di sepanjang
Jalan Malioboro. Setiap hari Malioboro selalu ramai dan padat. Juru parkir dan security
Malioboro bekerja ekstra mengamankan jalur ini. Radio pun berkumandang di
sepanjang etalase Malioboro. Sepertinya, setiap orang yang ke sana di”paksa”kan
untuk berbenja. Berbagai jenis barang dipajang di sana. Barang baru dan
barang lama ada. Hukum Say tengah berlangsung di jalan itu. Bahwa supply
creats its own demand.
Ke Djogja tidak
berarti menghabiskan waktu dengan piknik belanja barang yang selalu habis terpakai
seperti jajan di Jalan Malioboro tersebut. Datang ke Djogja berarti menelusuri
labirin-labirin kekayaan pengalaman jika kita berani untuk keluar dari jebakan
labirin pertama, Malioboro. Jelas, Dogja bukan hanya Malioboro. Mungkin kita
bisa menelusuri dataran panjang pantai selatan asri tanpa harus mencebur diri
ke dalam desiran ombak dengan yang berlantai cekung. Di sana kita bisa
“bermain-main” dengan mitos dan menyentuh mistis tanpa harus ritual sakral. Para
orang tua boleh mengetuk pintu nostalgia lama atau momen kemesraan kembali
sembari tetap melirik anak-anak mereka. Pasang muda boleh meramba romantisme
percintaan. Merasakan debaran jantung laksana arus pasang-surut yang mencoba
menyentuh ketinggian bibir pantai. Memadang pantai seakan menerawang falsafah
percintaan pada luasnya hamparan laut di bawah garis demarkasi.
Atau garis-garis
peta Djogja masih menunjukan banyak situs-situs sejarah dan museum yang menimbun
kekayaan kearifan dan spirit bangsa. Kraton, benteng Vredeburg, Kota Gede, museum Djogja Kembali, Tugu Djogja, et
cetera. Selain itu ada peramaian masangin (masuk di antara dua beringin) di
alun-alun selatan Kraton, keindahan alam Goa Cerme, Air terjun Sringethuk, et
cetera. Djogja tidak hanya menawarkan keindahan yang tertampak indera
penglihatan dan penyejuk hati. Ada
”wisata” seni dan intelektual. Yang
terakhir ini penting. Keistimewaan Djogja bukan hanya karena sisa-sisa warisan
kerajaan Mataram atau pun keindahan alam yang given. Jika hanya itu yang dipakai sebagai ikon wisata maka Djogja akan menjadi
kota tua. Keunggulan komparatif itu juga dimiliki oleh banyak daerah di
Indonesia.
Keistimewaan juga
ada pada keunggulan kompetitifnya. Perkembangan
sains yang meledak sejak tahun 1990-an telah mendorong teknologi informasi.
Perkembangan itu telah membantu perbaikan peradaban manusia. Kepedulian
pemerintah daerah akan pendidikan sains siswa pembangunan Taman Pintar. Taman itu bertujuan untuk membantu para siswa
memperdalam materi-materi sains yang diterima di sekolah. Makna keberadaan
Taman Pintar adalah menanankan kesadaran teknologi dan kreativitas anak
sehingga bangsa Indonesia tidak saja menjadi sasaran eksploitasi pasar
teknologi tetapi juga turut berpartisipasi dalam proses inovasi teknologi. Pendidikan
sejak usia dini ini sangat penting. Artinya, perubahan di ”dasar”, dalam bahasa
Karl Marx, akan menghasilan perubahan di ”suprastruktur”. Keunggulan
kompetitif jelas dimulai dari proses pendidikan. Pendidikan akan melahirkan
kultur intelektual dan kreativitas yang
mumpuni.
Kreativitas yang
mumpuni ada pada penciptaan karya seni yang bernilai estetik selangit. Maestro
Affandi pernah bercerita tentang keindahan Indonesia kepada dunia melalui
lukisannya yang ekspresif. Itu terjadi di Djogja. Selain Affandi, maestro yang terkenal juga
adalah Soenarto P.R. (pendiri Sanggar Bambu Yogyakarta), Nasirun, Jaya Purnama,
H. Widayat, dll . Kreasi imaginatif mereka dapat dilihat pada gantungan yang
tersebar di galeri-galeri yang tersebar di wilayah Djogja. Lukisan-lukisan mereka
adalah rekfleksi makna kehidupan yang tidak hanya ”mampir ngombe”. Seni fotograsi juga mengambil bagian dalam
hegemoni estetik Djogjakarta. Dengan fotografi, sang fotografer sedang menulis
sejarah kemanusiaan dengan cahaya dan gambar. Foto mereka menjadi saksi
peradaban dan bersuara tentang kehidupan.
Tentang kerajaan
seni, Djogja juga masih menawarkan seni teater, seni tari, wayang orang, seni musik et cetera. Jika kita alergi dengan
musik-masik major label , mari kita masuk ke jantung kota Djogja.
Lagu-lagu indie dengan musikalitas tinggi dapat kita dengar di sana. Lagu-lagu
indie lebih jujur menyuarakan rasa hati dan rasa badan yang dibungkus dalam
harmoni nada. Ada jazz, blues, kroncong, campur sari, reage, ska,
klasik, country, rock n roll dan lain-lain. Yang jelas bukan musik dangdut ke
timur-an yang joroknya lebih jorok dari kejorokan itu sendiri. Catatannya,
dangdut bukan lagi musik rakyat tetapi rakyat yang terkooptasi oleh imperial
industri dangdut modern yang hanya menjual dada padat-banyak bekas bibir dan
paha dalam belitan erotisme goyangan dan bukan musik. Dangdut mungkin lebih
pantas pentas dalam ruang-ruang karaoke sebab lebih privasi. Dangdut is the music of your country, not
mine.
Di tanah
nusantara, anak-anak negeri bermain seperti menari. Tarian pun menjadi
kekayaan budaya bangsa Indonesia. Setiap daerah punya tariannya sendiri yang
unik dan khas. Di Djogjakarata kita bisa menikmati semuanya. Bukan hanya tarian
asal Jogja saja (srimpi, golek ayun ayun,
sangupati, dill) tetapi ada juga tarian-tarian dari luar daerah Djogja yang
sering dipentaskan dalam even-even
budaya. Sebut saja, tarian dari Aceh (rapai
geleng, gampar, ratoh duek , dll) , Riau (tanduk, lenggang melayu, joged lambak, dll), Jawa Timur (reog Ponorogo, kuda lumping, jaran ucul,
dll), kalimantan (monong, pedang
mualang, jepin lembut, dll), Nusa Tenggara (tarian caci-Manggarai,
kataga-Sumba, pedoa-Sabu, likurai-Atambua dll). Semuanya mencertikan kearifaanya dan falsafahnya sendiri dan indah. Indah
tarian juga indah teater. Seni teater Djogja sangat berkembang. Anak muda-anak
muda kreatif dan pencinta teater hampir tersebar di segenap kampus.
Kelompok-kelompok teater juga ikut lahir. Teman-teman muda pencinta sastra dan
teater dari kampus diantaranya Institut Seni Indonesia (ISI), Univesitas Gajah
Mada (UGM), Universitas Negeri Yogyakarta (UNY), UIN Sunan kalijaga dan
Universitas Ahmad Dahlan (UAD) sering mengadakan pertunjukan dalam kampus dan
di luar kampus. Gedung-gedung pementasan banyak tersedia di Djogjakarta. Kenapa
teater? Dengan menonton teater kita dapat mengerti bahwa hidup bukanlah teater
dan dunia bukan panggung sandiwara. Bahwa hidup adalah proses menjadi diri
sendiri dan teater lahir di atas sampah pembusukan diri. Poinnya, teater adalah power of imagination yang menyilet
hipokrisi kita.
Kita juga bisa
menonton wayang orang. Mendengar kata wayang mungkin menimbulkan rasa alergi di
sebagian kalangan muda. Akan tetapi wayang orang merupakan warisan budaya luhur
yang perlu dipertahankan. Di belahan bumi lain, wayang orang tidak ada. Wayang
orang adalah sejenis opera dengan benang pertunjukan yang mengangkat unsur seni
yang nayris utuh; seni tari, drama, seni suara (tembang), seni musik, tata
rias, dekorasi dan tata busana. Wayang orang punya makna hidup yang tampak
dalam tokoh dan karakternya. Karenanya wayang orang merupakan gambaran
kehidupan (wewayanging ngaurip). Wayang orang pun bukan sekadar tontonan
tetapi ia menuntun gerak kehidupan.
Atmosfer kehidupan intelektualitas ada di kedai-kedai
kopi (caffee) selain di kampus. Di sana, muda-mudi mahasiswa berkumpul
sejak langit menguning-emas di kala senja. Para cendikia muda itu, selain mengerjakan
tugas, berdiskusi tentang berbagai persoalan bangsa dari politik hinga ekonomi.
Caffee menjadi favorit sebagai tempat diskusi karena nyaman dan jauh
dari kesan formal. Angkringan hampir-hampir terlepas dari ikon diskursus. Sejauh pengamatan penulis, angkringan sudah
menjadi ”rumah makan mini” dan tidak lagi memiliki makna simbolik sebagai ruang
publik. Kesahajaan angkringan mulai terlupakan. Cendikia muda sudah beralih ke caffee.
jika masa muda
Affandi, Buter Kertayasa, Amin Rais, bakdi Soemanto berada di masa sekarang
mungkin preferensial pilihan jatuh pada caffee sebagai tempat di diskusi
atau sekadar mendapatkan ilham. Suasana yang nyaman dan bebas panoptik penguasa
membuat caffee selalu dipadati cendikia-cendikia muda. Mereka menulis dan
berbicara tentang idea di caffee sembari menyeduh kekayaan nusantara;
kopi dan rokok. Itu saja sudah cukup. Suasana caffee dan aroma intelektualitas
ini seakan bercerita tentang Djogja yang mengidupkan kembali mumi habitus lama di Vienna.
Fareed Zakaria,
editor Newsweek International dan analis pollitik ABC News dalam
bukunya The Future of Freedom (2003) menulis tentang Vienna menjalang
abad XX. Di kota tersebut Richard dan Gustav Mahler membuat komposisi musik,
Gustav Klimt dan Egon Schiele membuat karya lukisan, Robert Musil dan Arthur
Schitzler menulis cerita fiksi, Theodor Herzl menulis artikel koran, Sigmud Freud
mempraktekan psikoanalisis, Leon Trotsky berbicara di kafe-kafe. Vienna
terkenal karena kedai kopinya, dimana para tokoh sentral intelektual Eropa
berkumpul untuk minum hingga mabuk, merokok dan berdiskusi.
Lain padang, lain
belalang. Lain Djogja, lain Vienna tentunya. Akan tetapi sepintas ada kesamaan
habitus meski itu sudah lama terjadi di Vienna. Nge-caffee adalah
habitus baru di kota Djogja. Habitus ini baik untuk dipertahankan dan
dikembangkan. Intelektualitas bukan hanya untuk onani pikiran tetapi perlu
berbagi dan berdiskusi dengan banyak orang. Di caffee, pikiran
dan idea dapat dicecerkan kepada banyak orang sekaligus mendapat tantangan dan
bantahan. Dialektika ini penting untuk sebuah kemajuan dan tidak terjebak dalam
pembenaran diri. Benih-benih cendikia tumbhuh di sini. Harapannya adalah muncul
cendikia-cendikia hebat. Setidaknya mereka dapat menjadi seorang yang kritis,
kreatif, punya integritas dan negarawan.
Siapa tahu ”Freud baru, Herzl baru, Schitzler baru, Musil baru, Shiele baru, Klimt
baru, Mahler baru” lahir dari kota ini, kota Djogja. Jika begitu, sejarah
Djogja modern akan menjadi sejarah lahirnya para cendikia yang hebat bukan,
mengutip Richard Rubinson dalam pengantar buku Dynamics of World Development
(1981), ”history of capitalist accumulation”.
Djogjkarta, 19 Juni
2012
Alfred Tuname
jogja banyak menyimpan cerita...
BalasHapus