Corruption Nobis Cum

 Korupsi sudah merendam sebagian bangsa besar ini ke dasar kemiskinan dan rimba ketidakadilan. Ketidakadilan dan kemiskinan hampir merata di seantero negeri, Indonesia. Rakyat masih merayap antara realitas itu dan harapan akan kehidupan yang layak. Harapan itu nyaris patah ketika menyaksikan uang negara lenyap diserap aparatur kelas kakap. Aparatur kecil pun mengekor. Dalam kamus orde baru, mengekor disebut tricle down effect. 


Semangat reformasi ternyata hampir tidak mampu menghadap laju tingkat korupsi. Jalan panjang reformasi hanya menyisahkan redup-redup euforia nihil substansi. Borok korupsi rezim orde baru sekarang semakin bernanah. Pedang hukum hampir-hampir tak mampu menjahit “dosa warisan” orde baru itu. Lembaga eksekutif, legislatif, yudikatif dan kepolisian ramai-ramai meneguk jatah. 


Data di atas hendak menceritakan secara gamblang bahwa Indonesia adalah surga para koruptor. Christianto Wibisono (Kompas, 02 Januari 2011) dengan manis menyebut negara ini  sebagai “Republik Gayus”. Gayus Tambunan menjadi ikon korupsi. Ia menjadi koruptor “Al Capone” yang tertangkap dari antara para gembong mafia korupsi yang masih samar-samar.                       


Persoalan korupsi adalah persoalan moral (banality) selain hukum (extraordinary crime). Itu berarti moral pejabat negara kita sedang “koma”(hampir mati rasa). Karenanya korupsi masih dianggap wajar dan biasa-biasa saja. Mengutip Hannah Arendt, kondisi ini menjadi banal (ketiadaan rasa bersalah). Banalitas ini menyebar bagai cendawan di musim hujan di seantero negeri. Banalitas korupsi ini membadan dalam kualitas pelayanan publik yang telah terlempar jauh dari dasar-dasar modalitas etika publik bahwa  fundamen teleologis etika Ricoeurian (filsuf Prancis Paul Ricoeur)  adalah “hidup baik bersama dan untuk orang lain di dalam institusi yang adil” (Haryatmoko, 2012, hlm. 2).


Dalam sebuah kesempatan, seorang teman dari tanah Papua pernah bercerita, “Pace, kalau KPK bertindah tegas di Papua, semua pejabat pasti masuk penjara”. Ini hanya sepenggal kisah sengsara rakyat kecil di tanah Papua. Masyarakat di NTT, Sulawesi, Ambon, Borneo, Sumatera, Jawa dan lain-lain pasti punya versinya masing-masing dengan substansi yang sama, korupsi. Ini berarti “dendawan” kourpsi telah terdistribusi merata dan mengakar dalam segenap lapis birokrasi. 


Lapis-lapis birokrasi yang kedodoran telah memberanakan ngengat-ngengat koruptor yang siap menjadi gajah. Relasi politik, birokrasi dan bisnis menjadi duri dalam daging pelayanan publik. Dan korupsi menjadi  perempuan paling bahenol  dari sorot pandang publik. Lambat-laun gravitasi wacana keseksian itu menimbulkan pasang surut kepercayaan publik terhadap pemerintah. 


Tentu publik juga tahu bahwa pemerintah sedang bersusah payah menurunkan kadar korupsi di badannya. Lembaga-lembaga pseudo-yudikatif dibentuk untuk menyertai lembaga kepolisian dan yudikatif. Pada mulanya, lembaga-lembaga ini harus terlebih dahhulu menekan keberlangsungan korupsi yang menggemuk. Teriakan “o medicae, sanate ipsum” (dokter, sembuhkan dirimu sendiri) harus menjadi sarapan refleksi harian. 


Jika merefleksikan sepak terjang lembaga-lembaga hukum, publik seakan disuguhkan  opera ketakberdayaan hukum di hadapan mafia korupsi. Mafioso dengan “the invicible hands” bekerja giat mendikte hukum.  Ini berarti negara berada dalam kegalauan hebat sebab mafia hegemonizes state. Rechtstaat  memformulasi diri dalam  forma Machtstaat.  Kekuasaan itu adalah sejumlah uang dan sedikit kedudukan. Kesewenangan  (detournement de pouvoir) menubuh dalam kedudukan. Kasus BLBI Bank Century, Mafia Pajak, pemilihan deputi BI Miranda S. Goeltom,  pembangunan gedung atlet Hambalang adalah sederet  opera ketakberdayaan hukum. “Dalang” korupsi nyaris tak tersentuh hukum dalam opera itu. 


Dengan skema ex ante publik mendalami opera itu. Proposisi Tractatus Wittgenstein sengaja dicerna ke dalam lambung meja hijau. Bahwa “whereof one cannot speak , thereof one must be silent”. Filsuf Slavoj Zizek dalam buku Less Than Nothing: Hegel And The Shadow Of Dialectical Materialism (2012) membaca paradoks itu sebagai berikut: “it contains a superfluous prohobition, since it prohibits something which is already in itself imposible”.  Dengan mengadopsi proposisi Tractatus Wittgenstein dalam penerangan Zizek, tertampak jelas bahwa aparatus hukum tidak mampu berbuat  apa-apa dengan nubuat-nubuat hukum terhadap para pelaku tindak pidana korupsi. Memenjarakan “kakap” koruptor seakan tidak mungkin sebab tersirat “larangan-larangan” (tabu) yang melindunginya;  mungkin karena pemimpin partai penguasa, politikus berpengaruh dan konglomerat, wakil presiden, presiden dan lain-lain. Karenanya, mendekatkan hukum (atau bahkan mendapatkan keterangan/klarikasi) terhadap orang-orang “keramat” tersebut menjadi tidak mungkin di negeri ini.


Bahwa semua sama di hadapan hukum (equal before the law). Bahwa setiap orang memiliki  “the right to equal treatment before the tribunals and all other organs administering justice”.  Tetapi, di hadapan hukum tidak semua orang sama. Ada kasta di dalamnya.  Hukum hanya berlaku untuk wong cilik sebab “dalang” korupsi tidak tersentuh, “kakap” koruptor mendapatkan remisi. Keadilan terjerembab dalam kabut retorika ketimbang pisau etika. Defenisi adil pun menjadi konstruksi kekuasaan sebab intik politik memamabiak di dalamnya.      


Publik sudah tahu (know very well) tabiat politik hukum berserta tetek bengeknya, akan tetapi masih ada harapan untuk perbaikan. Harapan menjadi modalitas penting menikmati secercah keadilan di masa yang akan datang. Harapan itu memberikan sedikit rasa percaya kepada para penegak hukum.  Guta kepercayaan itu jatuh pada KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi).  KPK masih dianggap membawa, mengutip Paul A. Taylor,  “Heineken effect”  (kemampuan KPK untuk me-refresh bagian-bagian yang nyaris terlupakan yang mana penegak hukum lainnya tidak bisa melakukannya)  pada persoalan tindak pidana korupsi ini. Sebagai lembaga independen, KPK telah diberikan kekhususan-kekhususan. Oleh sebab itu, KPK tidak boleh lagi terjebak dalam Tractatus Wittgenstein tetapi,  dengan mengutip Zizek, “what cannot be said must be shown”.    


Perjalan bangsa masih panjang. Korupsi masih menjadi budaya. Corruption nobis cum. Segenap elemen bangsa harus bahu-membahu dengan perannya masing-masing untuk siap perang terhadap korupsi dan koruptor. Si vis justitiam para bellum!!!



Djogja, 04 Juni 2012
Alfred Tuname

Komentar