Suatu Senja Di Angkringan

Senja melahirkan dinginnya sendiri kala jalanan mulai sepi. Jalan kota yang sempit seakan menjadi semakin lebar. Kepadatan jalanan terlerai. Hujan perlahan-lahan merayap di atas permukaan. Rintik-rintik air berbaris menyirami telapak-telapak daun yang lama berdebu. Djogja yang biasanya panas dan sesak sesaat menjadi remang dan lengang. Tetapi itu hanya terjadi pada rentang horison di mana kakiku melangkah meninggalkan bekas-bekas alas sepatu di belakangku. 

Pakaianku yang lembab menubuhkan dingin. Rokok sebatang basah di tangan. Beban tas buku yang kelewat berat menindih pundakku. Kuliah Ekonomi Keuangan Daerah dan Econometrics masih meninggalkan pening. Garis putus-putus hujan terus menerjang. Makin lama makin cepat. Sementara perjalanan masih penjang. Senja itu aku berlindung di balik atap kecil yang menyuguh beberapa menu ringan non-pro-deo. Angkringan. 

Angkringan dengan atas terpal merah baru saja dibuka. Menu-menunya masih lengkap dan sedikit hangat. Di situ, seorang dengan perawakan masih muda sudah duduk dan minum. Mungkin sudah sejak tadi. Sepeda onthel tuanya dipakir dekat situ. Dia juga sedang bersembunyi dari kejaran butir-butir hujan. Setelah duduk, aku memesan segelas kopi hitam panas dan sebatang rokok untuk mengusir dingin dan ilusi keterasinganku di tempat itu.   

“waduh mba, mba. Hujan dingin kaya ngene kok pake celana pendek”.
Terdengar suara celetuk penjaga angkringan. Ia mengomentari seorang perempuan muda mengendarai motor metik yang sedang lewat. 
“...yang dingin itu bukan dia, tapi ilusi pikiran bapak tetang keadaan perempuan itu”, kujawab komentar bapak itu dalam hati saja. 
Seorang pria di hadapanku ternyata juga merasa terganggu dengan komentar bapak itu. Di balik tebaran tebal asap rokoknya ia coba memberi pengertian.   
“hahaha santai saja, pak. Djogja baru mulai musim penghujan. Mungkin perempuan tadi masih terjebak pada musim panas Djogja”. 

Bapak tua penjaga angkringan itu pun mengangguk-angguk sembari tersenyum. Mungkin ia merasa jawaban itu cukup rasional untuk dimengerti. Dan kami pun tersenyum serentak saat kontak mata terjadi. Komentar penjaga angkringan itu ternyata adalah “menu” pembuka kebekuan komunikasi tempat itu. 

“oh ya, mas-nya orang Batak atau Aceh ya”, tanya pria itu sebagai awal perkenalan. 
Aku tersenyum mendengar pertanyaan tebakan pria itu. Mungkin saja tebakan itu muncul dari “medhok” (dialek) yang ia dengar saat aku memesan minuman. Ia mengira aku adalah seorang dari bangsa Batak. Atau mungkin dari seraut wajah yang agak asing, ia mengira aku seorang. Maklum, kata orang, Aceh an sich adalah akronim dari empat bangsa yang mendiami tempat itu, yakni Arab, Cina, Melayu dan Hindia (India).   

“ngga bang. Aku orang Nusa Tenggara”. 
“oh ya, yang nanti tuhan tolong itu, bukan?”
“haahahaa, ya ya ya”, jawabku.
“bang kulia juga ya?”, tanyaku kepada pemuda itu. 
“iya aku juga masih kulia. Aku ambil jurusan filsafat. Pernah berminat belajar filsafat?”, ia mencoba mempengaruhi dengan pertanyaan itu. 
Aku tidak menjawab. Hanya tersenyum. Senyum menandakan banyak tanya. Artinya banyak juga jawabannya. 
“filsafat itu induk segala ilmu. Filsafat juga mempengaruhi banyak wilayah kehidupan. Belajar apa pun bidang studi pasti selalu bersentuhan dengan filsafat. Saya belajar ekonomi. Tapi saya juga belajar filsafat. Filsafat ekonomi”, sedikit aku memberi mukadimah tentang filsafat yang kupelajari. 
“haaaahaaa sip. Pernyataan Anda juga menunjukan Anda sendang berfilsafat dengan saya”, komentar pemuda itu. 
Lalu pemuda menambahkan, “aku belajar filsafat untuk membentuk cara berpikir sebelum aku belajar teologi”.
Dari penjelasan saya dapat mengerti orang ini bukan seorang awam. Ia seorang calon pemimpin. Setidaknya pemimpin umatnya. Ia seorang calon pastor. Aku tidak mengomentari statusnya. Aku hanya menduga dalam hatiku saja. Apalah arti sebuah status jika nanti menimbulkan kebekuan topik pembicaraan. Kami pun bernarasi panjang tentang filsafat. Filsafat barat sampai timur. 
Penjaga angkringan sibuk dengan pekerjaannya. Ia meniup arang api untuk menjaga air dalam cerek besi tetap panas. Ia mendengarkan pembicaraan kami sepotong-sepotong, sambil lalu. Sementara hujan di luar kemah atap angkringan masih mengamuk deras bersama angin. Hanya kami bertiga duduk di senja itu. 
Pemuda itu masih semangat bernarasi tentang filsafat dan berbagai fenomena sosial. Banyak filsuf berikut cara berpikcoba ia sebutkan untuk membantu mengupas wacana. Ia memiliki pemahaman yang dalam tentang filsafat. Ia sudah berenang ke lautan filsafat yang lebih dalam. Sepertinya, ia sudah tercebur dalam tradisi belajar filsafat yang tekun. Ketekunan dan dukungan fasilitas perpustakaan yang baik melahirkan percikan pemikiran yang berapi. Memang kuncinya adalah ketekunan. Tumpukan buku dan literatur yang berkubik-kubik akan menjadi percuma jika subjek manusia tidak punya waktu untuk duduk tenang membaca, merefleksi dan menulis. Persoalan intelektual ada duduk manis pada persoalan ini.
"lalu mengapa banyak orang tidak senang filsafat?”, aku bertanya pada pemuda itu. Aku ingin mendapatkan persepsi baru dari jawabannya. 
“hem... pertanyaan menarik. Pertanyaan itu menohok ke jantung studi filsafat. Persoalan ultimumnya adalah kegundahan berpikir. Malas berpikir bahkan boleh jadi tidak bisa lagi berpikir. Berpikir yang saya maksudkan adalah berpikir kritis.  Pragmatisme dan berpikir praktis teknis sudah menjadi jamur di musim penghujan. Ia melumuti tembok pikiran kritis. Karenanya pikiran menjadi licin dan terjerumus dalam banalitas. Mari kita melihat para ambtenaar kita. Mereka lebih senang pada draft katalog petunjuk teknis dan lakana dari pada berpikir sendiri untuk mencari cara terbaik membangun masyarakat sendiri. Padahal kita tahu ada virus politis dalam katalog itu”, jawab pemuda itu dengan enteng dan mengalir. 
“wowww jawaban yang menarik juga. Sepertinya saya menemukan sesuatu yang puitis dalam filsafat”, jawabku.
“hahhaha Anda ini ada-ada saja. Tetapi memang filsafat lebih ringan dari dari puisi. Atau boleh jadi puisi itu sendiri adalah proksi lain dari filsafat. Sayangnya, filsafat tidak pernah menjadi prosa. Dan itulah the art of philosophy. Dan kalau menurut kawan, bagaimana?”, ia mencoba membalikan pertanyaanku pada diriku.            
“ya, saya setuju dengan pendapat kawan. Filsafat menjadi susah untuk dipelajari karena kita sudah terlanjur jatuh dalam ruang gelap banalitas itu. Untungnya, kita tidak terlalu jauh masuk ke dalamnya. Kita bisa lihat sekarang. Di tengah gempuran persoalan ke-Indonesia-an kita, banyak orang mencari turning point untuk mendefenisikan kembali ke-Indonesia-an kita. Penelusuran literatur artefak sejarah dan Pancasila diekplorasikan kembali. Dan muncullah literatur filosofis berseri Indonensia bangkit. Inilah domain filsafat. Saya teringat pernyataan filsuf Slavoj Zizek begini: ‘Philosophy does not solve problems. The duty of philosphy is not solve problems but to redefine problems; to show how what we experience as a problem is a false problem. If what we experience as a problem is a true problem then you don’t need philosophy”, sedikit persepsiku pada pemuda itu. 
Pemuda itu hanya mengangguk-angguk kepala. Ia tersenyum mendengar pendapatku. Tak lama berselang, matanya melirik arloji di tangannya. Hujan sudah berhenti. Hari gelap di waktu yang lembat. 
“Sorry kawan, saya harus kembali ke liang. Waktu memaksa saya harus kembali. Saya senang berdiskusi dengan Anda. Kapan-kapan main-mainlah ke Kentungan”, katanya.
Kami pun masing-masing membayar makanan dan minuman di angkringan itu. Penjaga angkringan itu tersenyum. Entalah apa yang ada dalam pikiran pak tua itu. Mungkin karena ia telah diam-diam mendengar pembicaraan kami. Menu-menu angkringan memang murah saat dikunyah, tetapi nominal besar juga saat dibayar.
“oh ya, nama saya Al Giovani”
Sambil berjabat tangan ia menyebut namanya. “saya Prasetyo”.
Kami saling menyebutkan nama untuk tidak menjadi asing di kota berhati nyaman ini. 

Djogja, 22 November 2011
Alfred Tuname   

Komentar