SAPE: PELABUHAN MENUJU KESEJAHTERAAN

“Bukanlah demokrasi yang memerintah di dunia ini. Fakta yang lebih baik Anda benamkan di kepala Anda: dunia ini diperintah oleh kekerasan. Tapi kupkir, hal itu lebih baik tidak dikatakan”.
-Bob Dylan

Kesejahteraan adalah sebuah persoalan. Di Negara kita, Indonesia, kesejateraan bukan saja sebuah persoalan tetapi persoalan besar. Realitasnya, kesejateraan itu belum terpenuhi. Inilah pokok persoalannya. Kesejateraan hanya tertulis manis dalam tableau angka-angka statistik dan laporan pertumbuhan ekonomi. 

Tentang kesejahteraan adalah bagian dari wacana pembangunan. Pembangunan itu sendiri adalah gerak linear perubahan suatu kondisi masyarakat ke arah kehidupan yang lebih baik. Dalam konteks ekonomi, kehidupan yang lebih baik itu ditandai dengan peningkatan pendapatan per kapita dan tersedianya kesempatan kerja (Keynessian). Tersediannya lapangan kerja tersebut merupakan akibat langsung akan adanya peningkaan investasi. Artinya, investasi itu sendiri memberikan multiplier efek terhadap derajat kehidupan ekonomi. 

Tetapi, menurut rekam jejaknya, sejarah pembangunan Indonesia hanya berhenti pada domain pembangunan ekonomi. Padahal, seharusnya prinsip pembangunan itu sendiri berpihak pada pembebasan manusia. Melalui proses membangunan, manusia terbebaskan dari persoalan keminiskinan. Kemiskinan itu diartikan sebagai kemiskinan dalam segala dimensinya. Persoalan kemiskinan itulah persoalan kesejahteraan. 

Perjuangan masyarakat Indonesia adalah perjuangan untuk pemenuhan kesejateraan. Termasuk di dalamnya adalah masyarakat Lambu, Bima, NTB. Sabotase masyarakat Lambu terhadap pelabuhan Sape, Bima merupakan bagian dari perjuangan menuju kesejateraan itu sebagai bentuk protes atas aktivasi tambang emas PT Sumber Mineral Nusantara di tanah mereka. Dan sudah menjadi pengetahuan umum bahwa aktivitas tambang selalu membawa dampak negatif bagi lingkungan dan masyarakat sekitar. Masyarakat Lambu menilai aktivitas tambang di tanah mereka akan berdampak negatif bagi mata pencaharian mereka. Mayoritas besar masyarakat berprofesi sebagai petani dan nelayan. 

 “Perang” sipil dan militer di pelabuhan Sape mengindikasikan hilangnya keberpihakan pemerintah terhadap masyarakat khususnya petani dan nelayan. Preferensi keberpihakan pemerintah lebih kepada kaum kapitalis (pemodal domestik dan asing). Hal ini sejalan dengan kebijakan pemerintah Soesilo Bambang Yudhoyono-Boediono yang  membuka akses investasi seluas-luasnya tanpa pertimbangan kehidupan masyarakat kecil dan lingkungan. Setali tiga uang dengan itu, pemerintah daerah pun latah akan pembangunan di era otonomi daerah. Alih-alih berparadigma “daerah membangun”, pemerintah daerah justru menelurkan kebijakan tanpa keberpihakan pada masyarakat. 

Sejatinya, dalam paradigma “daerah membangun”, pemerintah dan masyarakat bersama-sama membangun daerah menuju kehidupan yang lebih baik. Demokrasi deliberatif berlangsung dalam proses ini. Masyarakat tidak bisa hanya dilibatkan dalam pesta politik pilkada. Mereka harus juga dilibatkan dalam setiap pengambilan kebijakan pembangunan yang berkaitan kehidupan masyakrata banyak (rasionalitas komunikatif Habermasian). Setidaknya ada kebijakan pembangunan yang pro terhadap rakyat. Jika tidak, rakyat hanya akan menjadi komoditas politik dan jongos-jongos partai politik. Dalam situasi seperti ini, pembangunan tidak pernah merubah kondisi masyarakat menjadi lebih baik (jebakatan rasionalitas instrumen).

“Sape  berdarah” adalah akibat dari kebijakan pembangunan yang salah arah. Masyarakat Lambu dan polisi sama-sama menjadi tumbal pembangunan itu. Dalam setiap kebijakan pemerintah yang tidak pro rakyat, masyarakat dan polisi seakan menjadi seteru abadi. Darah tumpah di gelanggang kekerasan. Polisi rakyat berubah menjadi polisi pemeritah dan pemodal. Pembelaannya adalah rust en orde. Lagi-lagi, proses pembangunan seolah-olah mengizinkan pengorbanan nilai-nilai kemanusiaan. Cacat, lumpuh dan bahkan kematian terjadi di sana.  

Lalu dimanakah demokrasi, jika pemerintah hanya berlutut di hadapan pemilik modal dan membiarkan masyarakat lainnya berjibaku dengan kekerasan??? Ternyata demokrasi politik hanya melahirkan penguasa yang loyal terhadap pemilik modal dan tidak melahirkan pemimpin yang memerintah dengan benar. Penguasa enggan bersatu dengan rakyatnya. Demokrasi pun menjadi jalan yang keras dan berkerikil. Rakyat menjadi jarang berhadapan dengan demokrasi yang renyah, lembut dan santun. Rakyat masih melihat demokrasi dibangun atas korban, darah dan senjata. 

Refleksi atas tragedi “Sape berdarah” adalah keadailan-sosial bagi seluruh rakyat  tidak pernah terjadi di negara ini. Kesejahteraan masih jauh panggang dari api. Perjuangan hak dalam konteks demokrasi ekonomi dan politik masyarakat masih dianggap tabu oleh pemerintah yang kolutif saat ini. Akibatnya, seperti terminologi kaum eksistensialis, proses pembangunan tidak membesaskan malah memenjarakan;  tidak membebas kita dari (freedom from) kemiskinan ekonomi dan tidak membebaskan kita untuk (freedom to) hidup berpolitik demokratis tanpa intiminadasi dan dominasi. Kita pun diajak untuk sepakat dengan teman-teman muda LMND Maluku bahwa tragedi “Sape berdarah” itu adalah ulah kebijakan neoliberal SBY-Boediono. Kita sudah berikan kewajiban kita pada negara, maka bersama kita bisa tanyakan apa yang sudah negara berikan pada kita??? 

Jawaban itu dimuntahkan di depan mata. Tetapi jawaban masih seperti yang dulu. Sampai penyair Wiki Tukul menulis puisi “Sampai di Luar Batas” 17 November 1996, jawaban tetap sama dan mungkin akan tetap sama: “... dari bibirku luka sudah kau bilurkan/ ke sekujur tubuhku cahaya sudah kau rampas/ dari biji mataku derita sudah naik seleher/ kau menindas sampai di luar batas”.

Lantas sampai kapan???


Djogja, 30 Desember 2011
Alfred Tuname          

Komentar