Kompiang Belis Isi Marxisme(?): Sedikit untuk Asmat Tarsisius

Adalah sangat menarik jika aras diskusi menyikut budaya belis. Belis pun menjelma menjadi topik yang seksi sekaligus rumit untuk mencapai klimaks kesepahaman. Seksi sebab belis selalu menggeliatkan rasa budaya semua orang Manggarai, tanpa kecuali. Klimaks kesepahaman pun sulit tercapai sebab setiap insan mencoba menyimpan persepsinya pada lubang pemahamanan yang terus menganga. Tetapi dialektika itu bisa melahirkan pencerahan atas tafsir-tafsir budaya yang terus bergerak maju.

Dalam group facebook “Rindu Bangun Manggarai”, Asmat Tarsisius mencoba memaparkan persepsinya atas rentetan pertanyaan teman-temannya tentang belis. Tulisannya yang berjudul “Apakah Ada Marxis di balik Budaya Belis?” menggelitik pikiran kita. Karenanya, banyak komentar menggantung di bawah tulisan itu. Dalam pembacaan saya, ada beberapa tesis yang coba disodorkan oleh saudara Tarsisius. Pertama, tidak ada ideologi marxisme dalam budaya belis. Kedua, budaya belis mendahului tranksaksi ekonomi. Ketiga, gerakan “tinggal landas” perempuan Manggarai menjadi perempuan modern. 

Jauh di luar angkasa teologis dan eskatologis, marxisme adalah filsfat dan weltanschaung.  Marxisme menyediakan perangkat analisis untuk membedah dan memahami dunia yang kita diami. Ide-ide Karl Marx dan Engels, yang kemudian dikembangkan oleh V.L. Lenin, Rosa Luxemburg, L. Trotsky, Gramsci, T. Adorno, Mao, Tan Malaka, Slavoj Zizek etc, terus berkembang hingga saat ini. Francis Fukuyama pernah memaklumkan “the end of history” dengan kapitalisme sebagai pemenang mutlak terbukti keliru. Marxisme masih terus bergentayang seperti hantu hingga saat ini. Jika kita membaca pemikiran dalam marxisme ortodoks hingga new left, kita akan menemukan bahwa benang merah marxisme adalah gerakan kesadaran; kesadaran melawan eksploitasi dan ketidakadilan. Eksploitasi itu muncul dari ide-ide dominan yang merupakan kreasi ide-ide kelas penguasa (kaum borjuasi). Di masa jayanya, kaum borjuasi secara progresif meletakan patok-patok peradaban. Saat itu, proletar hanya meng-ekor als een kip zonder kop. Atau seperti kata V.I. Lenin, “orang-orang yang berada di pinggir jurang tidak akan dapat menjadi orang yang memakai nalarnya secara tepat”. Kaum proletar pun tidak mendapat akses untuk kehidupan yang lebih baik. Eksploitasi itu melahirkan ketidakadilan dalam kehidupan kaum proletar. Marxisme membuka cara pandang kaum proletar itu. Ketika kesadaran kaum proletar menubuh, tuntutan akan keadilan pun merebak. Tuntutan akan kemajuan peradaban yang lebih baik pun meledak.  Dan bahwa harga kemajuan itu sendiri adalah perjuangan. Di zaman modern, marxisme bekerja dengan cara yang hampir sama untuk melawan kapitalisme. Dalam bahasa Mao, “revolusi membutuhkan darah”. 

Lantas, apa relevansi marxisme pada budaya belis? Tarsisius menulis bahwa “…marxis tidak ada sama sekali di dalam belis”. Saya mengibaratkan itu seperti kompiang tanpa isi (daging). Jelas, kompiang itu tidak berisi daging. Jika kompiang itu berisi daging maka kompiang itu tidak akan bertahan lebih lama lagi. Di tengah cengraman cakar kapitalisme yang terus mengakar, marxisme hanya akan menjadi daging yang siap busuk dalam arus peradaban. Artinya, budaya belis adalah produk borjuasi kecil dengan struktur patriarkat peradaban agraris Manggarai. Budaya belis pun dibuat untuk mempertahankan struktur kekuasaan tersebut. Akan tetapi, orang Manggarai adalah subjek belis sebab praktik budaya belis dilakukan oleh orang Manggarai. Dan dalam konteks kita sekarang, “kompiang belis itu berisi daging (marxisme)” sebab kita sedang mempertanyakan kembali, mendefenisikan kembali dan membongkar praktek-prakek budaya belis yang rasa-rasanya “double-exploitative”(eksploitasi terhadap calon suami dan anak perempuan). Kita sadar bahwa ada sesuatu yang tidak beres dengan pratik budaya belis tersebut. Inilah esensi filsafat marxisme. Filsuf Slavoj Zizek mengatakan, “philosophy is not solve problems but to redefine problems” dan filsuf Alain Badiou menjelaskan bahwa “philosophy's missi on is here to shed light on this distance. It must reflect upon and think a distance without measure, or a distance whose measure philosophy itself must invent” (Badiou and Zizek, 2009).

Keresahan akan praktik budaya belis adalah keresahan akan eksistensi budaya Manggarai. Persoalannya bukan pada hilangnya ritus belis akan tetapi pada watak ritus belis itu sendiri. Jika diamati, watak kapitalisme sedang menggoyang kemapanan budaya belis. Ketika uang menjadi penting maka terjadilah ekonomi belis. Volatilitas nilai rupiah, “kasta” jabatan profesi orang tua, hirarki pendidikan etc pun bisa menjadi determinan penting untuk sebuah konsensus belis. Prinsipnya linear atau berbading lurus. Seperti hukum permintaan dalam ilmu ekonomi, semakin tinggi (volatilitas, kasta, hirarki, etc) semua faktor determinan di atas maka nilai nominal belis pun akan semakin membengkak sebab yang faktor cinta, kasih sayang, sejarah berada bersama, etc dianggap “ceteris paribus”. “Amor vincet omnes” Virgilian luluh di hadapan kehendak “money talk-fetishism”.   

Dalam tulisannya, Tarsisius mencoba merambah ranah “arkeologi” belis bahwa “belis itu akar budaya yang mendahului persoalan ekonomi yang begitu rumit di jaman kita”. Jelas, tesisnya memang demikian jika budaya belis disandingkan dengan praktik ekonomi kekinian. Akan tetapi jika kita mengaitkan budaya belis dengan praktik ekonomi itu sendiri tesis di atas menjadi homeless mind. Praktek ekonomi telah ada bersama ritus belis an sich.  Dalam praktik belis itu sendiri ada motif transaksi. Kita pun patut curiga, jangan-jangan secara etimologis kata belis berasal dari kata beli. Persoalannya bukan motif transaksi belis, tetapi pada  ketidakwajaran takaran neraca saluran-saluran belis (materi). Di sini, belis mengalami displacement.       

 Keresahan akan belis yang mengalami displacement bukan saja terjadi pada generasi muda tetapi pada semua elemen masyarakat Manggarai. Hal itu bisa terjadi karena karena persoalan budaya belis sangat berkaitan dengan praktik ekonomi sosial dan ekonomi politik masyarakat Manggarai. Dengan menilik pada defenisi budaya itu sendiri, seorang victiorian anthropologist Edward Taylor (1871) mendefenisikan sebagai “... that complex whole which includes knowledge, belief, art, morals, law,custom, and any other capabilities and habits acquired by man as a member of society (Marc Manganaro, 1922: hal. 1)”. Budaya diciptakan oleh manusia untuk mengatur tatanan kehidupan sosial. Di dalamnya, ada pengetahuan, kepercayaan, seni, moral, hukum dan semua kapasitas dan kebiasaan. Demikian pun dengan budaya belis. Dalam prosesi ritus belis, orang Manggarai harus mengetahui segala hal tentang belis sekaligus yakin bahwa nilai dan pesan moral-nya bisa membuat kehidupan keluarga semakin lebih baik. Ada seni komunikasi dan negoisasi di sana. Dan kebiasaan-kebiasaan pun menjadi norma yang harus ditaati dalam ritus belis. 

Dalam konteks kekinian, segenap kapasitas dalam belis menjadi “very condition of possibility” dalam kehidupan sosial dan politik Manggarai. Ekonomi sosial menjadi maksimal bersamaan dalam budaya belis. Sebagai contoh kecil, dalam proses rekrut kepegawaian suatu instansi pemerintahan, preferensial pilihan jatuh pada seseorang yang dianggap keluarga dari proses kawin-mawin. Sida  masih  dianggap sebagai ekonomi sosial. Sida itu sendiri tidak bisa dipandang semata sebagai “proses pemiskinan”. Sida pun tidak bisa dianggap sebagai komesialisasi budaya akan tetapi sebagai, mengutip Pierre Bourdieu, cultural capital.  Artinya, mengutip kalimat David Swartz dalam bukunya Power and Culture: The Sociology Of Pierre Bourdieu (1997), bahwa ”…a wide variety of resources including such things as verbal fasility, general cultural awareness, aesthetic preferences…” menjadi modal dalam produksi budaya. Hanya saja memang modal intangible tersebut dikonversikan dalam modal tangible. Di sinilah wujud materi sida itu menjadi tampak. 

Ekonomi politik belis juga berkerja aktif pada suksesi kepemimpinan eksekutif (Pemilihan Kepala Dearah secara langsung-Pilkada) dan legislatif. Selain kekuatan ekonomi (money and property), calon kepala dearah juga melirik modal sosial yang pernah terjadi dalam proses kawin-mawin. Untuk menentukan siapa wakil, calon kepala daerah juga melihat modal sosial sang calon wakil selain kapasitas individu dan ekonomi. Sama halnya dengan seorang calon legislator. Modal sosial ini penting sebagai penentu elektabilitas. Loyalitas pemilih atas dasar keluarga “hereditaris” masih dianggap tinggi. Budaya belis menjadi penting di sini karena dapat merapatkan hubungan keluarga yang terbina dari proses kawim-mawin. Inilah modal sosial meskipun berbasis keluarga besar atau suku. 

Dalam kehidupan sosial, domestikasi perempuan dalam kerangka patriarkat tentu menjadi perhatian bersama. Dalam hal ini, kita pun sepenangungan dengan perhatian Tarsisius atas “provokasi” gender dalam konteks Manggarai. Mari kita dukung perempuan Manggarai. Esensi gerakan gender adalah kesamaan hak. Bahwa perempuan Manggarai pun harus diberi kesamaan akses dan tidak ada dikotomi perbedaan biologis. Di sinilah Kartini-Kartini muda Manggarai berpartisipasi dalam membangun kemajuan peradaban Manggarai yang lebih baik. Sedikit masukan untuk Tarsisius adalah ketika kita mengaktifkan isu gender jangan sampai terjebak dalam “contradictio interminis”. Artinya kita harus menggunakan glossarium yang melekat pada studi-studi gender. Penggunaan diksi “wanita” dalam tulisan Tarsisius bisa dianggap sebagai symbolic violence terhadap perempuan. Kata “wanita” sudah mengalami peyorasi. Kata itu ditolak mentah-mentah oleh pegiat gender. Boleh jadi, kata itu berkaitan dengan frase dalam bahasa Jawa yakni “wani tata”(mau ditata) yang hampir sama dengan pengertian konco wingking. Kata itu tersirat makna perempuan selalu menjadi yang kedua. Dan ketika kita menggukan kata “Kartini”, itu berarti kita sedang menghadirkan sosok Kartini yang memperjuangkan nasip kaumnya dengan artikulasi emansipasi. Sejak 25 Mei 1899 (di Jepara) hingga 07 September 1904 (di Rembang) ia sudah berjuang mematahkan pembagian “nasip” antara perempuan dan laki-laki melalui suratnya kepada sahabatnya, nyonya E.H Zeehandelaar hingga R.M. Abendanon). Ia tidak setuju dengan perlakuan “pilih kasih” bupati Jepara, ayahnya dan menghendaki perlakuan dan akes yang sama pada semua anak, laki-laki maupun perempuan. 

Akhirnya, guratan-guratan kata tentang budaya menjadi penting untuk selalu dipikirkan. Budaya Manggarai (belis) adalah warisan tanpa surat wasiat yang harus terus dijaga oleh setiap generasinya. Dan tafsir atas budaya itu juga penting sebab kita hidup pada zaman yang sama sekali tidak dapat diduga oleh nenek moyang kita dan mungkin oleh kita sendiri. Di sini, bahasa tulis menjadi memegang peranan agar kita tidak terjebak dalam, mengutip filsuf Martin Heidegger, Gedankenlosigkeit (ketidakberpikiran). Artinya bahwa kita memang tidak pelupa, tetapi tidak berpikir dan dalam ketidakberpikiran itu, kita tidak hanya melupakan melainkan juga mengingat. Bahayanya, ingatan dalam ketidakberpikiran itu bisa menjadi “prasangka”. Sebagai orang Manggarai, tentu kita tidak ingin hidup dalam prasanka budaya atau berbudaya als een kip zonder kop, bukan? Mari kita berpikir tentang kekuayaan budaya kita. Dan kepada kae Asmat Tarsisius, saya ingin bermimesis pada syair pendek Soe Hok Gie, “kita memang berbeda dalam segala hal kecuali ke-Manggarai-an kita”.

Djogja, 01 Mei 2012
Alfred Tuname
                      

Komentar

  1. Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.

    BalasHapus
  2. Ulasan yang bagus...
    apakah ini pertanda bahwa belis tidak cocok lagi dalam budaya Manggarai skrg ini?

    Kira-kira apa dan bagaimana tanggapan para para leluhur (andaikan mrk hidup saat ini) terhadap fenomena yg terjadi)? thanks

    BalasHapus
  3. saya menemukan tulisan ini ketika search kata belis. ulasan yang menarik, ada pemikiran beda dan menemukan kata kunci borjuisme dalam sistem belis. saya ingin menguatkan analisa belis sebagai wujud budaya patriarkhi-kapitalis yang menjadikan tubuh perempuan sebagai arena permainan untuk akumulasi harta dan kekuasaan. harap bisa berdiskusi lanjut. salam, yolanda

    BalasHapus
  4. misa tidak pemerintah daerah atau kepala adat(tua golo) setiap daerah mengintervensi budaya belis yg kapitalis ini? belis kapitalis lama kelamaan kehilangan nilai budaya, dan lebih diselimuti dan didominasi nilai "pasar"! OJ

    BalasHapus

Posting Komentar