Dalam teori ekonomi, persedian komoditi yang sangat terbatas membuat orang berburu untuk mendapatkannya. Kekuasaan pun dapat dipandang sebagai sesuatu yang sangat ekonomis. Dalam pandangan klasik, kekuasaan itu hanya dimiliki oleh orang dengan posisi atau jabatan tertentu. Kekuasaan melekat bergelantungan di atas pundak raja, ratu, kaisar, presiden, perdana menteri, sultan dan lain-lain. Oleh karena itu, kekuasaan pun menjadi “barang” yang persediaanya terbatas. Setiap orang berjuang untuk mendapatkannya bahkan dengan cara apa pun.
Bahwa setiap orang berjuang untuk mendapatkan kekuasaan bermula dari kemauannya. Filsuf Nietzche menyebutnya “der wille zur macht” (the will to power). Kemauan merupakann elemen yang memproduksi diferendisiasi kualitas sekaligus kuantitas antara dua atau lebih kekuatan (forces). Gilles Deleuze (1986) menyebutnya sebagai differential element of forces, dimana La force est ce qui peut, la volonte de puissance est ce qui veunt. Karenanya, setiap orang yang punya dasar kemauan “der wille zur macht” sangat mungkin akan terlibat dalam pertarungan.
Indonensia dalam konteks kekinian adalah suatu momen pertarungan. Klimaksnya kekuasaan pasca pemilihan umum (pemilu) 2014. Pemilu adalah kesempatan (chance) atas “der wille zur macht”: menggusur atau mempertahankan kekuasaan. Syaratnya, mengutip Gilles Deleuze, “the will to power has chance at its heart fot only the will to power is capable of affirming all chance”. Sekarang adalah tenggang persiapan sebelum kesempatan itu. Persiapan adalah perang yang tak tampak. menang ditentukan oleh persiapan yang matang (Victoria amat curam). Untuk meneguk anggur kemenangan, partai politik menyiapkan jalan politik. Maka, mulailah partai-partai politik menebarkan pesonanya. Wajah manis pesona partai tertampak pada tebalnya tampilan kosmetik slogan. Ada partai yang membabtis diri sebagai calo perubahan, sebagai pegiat ekonomi rakyat, sebagai pendengar nurani rakyat sejati, sebagai pelopor demokrasi, dan lain sebaginya. Slogan manis selalu terdengar menjelang pemilu seperti gombal lelaki saat mendekatkan diri (PDKT) dengan seorang pujaan hati. Kebanyakan partai dan slogan membuat rakyat galau dan bisa jadi memilih dalam perasaan melayang (flying). Dan biaya kosmetik dan “PDKT” dalam tidaklah murah. Dana negara untuk partai sangatlah kecil. Oleh karena itu, dana bantuan tunai partai adalah penting dan urgen untuk dicari. Transaksi nakal pun sering terjadi pada proses mendapatkan dana tersebut.
Kekuasaan pun menjadi dekat dengan politik. Partai politik dengan segenap cara dapat menghantarkan seseorang atau kawanan merealisasikan dominasi dan kekuasaanya. Musuh bersama tidak penah ditemukan. Sesama kompetitor adalah musuh. Incumbent dan the ruling party berusaha untuk mempertahankan kekuasaan dan dominnasi. Akan tetapi politik itu sendiri tidak identik dengan kekuasaan. Ada dimensi yang lebih intim pada politik dibanding kekuasaan dan dominasi yakni kebenaran (the truth). Mengutip Prof. Sahetapi, “politic is not about power or domination, but about the truth”. Karena terintegrasi dengan kebenaran, politik itu sendiri adalah proses mencari kebenaran dan menawarkan. Tetapi politik tidak mengupayakan pembenaran-pembenaran atas praktek politik. Pembenaran-pembenaran dapat menjerumuskan politik dalam momen yang katastrofik. Katastrofik politik ini dapat terjadi sebab, mengutip Robert Dahl, “institutive idea of politics, as something like this: A has power over B to extent that he can get B to do something that B would not otherwise do”.
Meskipun sebagai highest art, politik bukan pertama-tama memperebutkan kekuasaan. Menurut Jurgen Habermars, ada wacana dan komunikasi. Dengan kata lain, kekuasaan akan semakin ditambahkan jika agen politik serius berwacana dan berkomunikasi. Kesaling pengertian dan merasakan nilai orang lain adalah cara politik santun. Dengan cara itu, emansipasi dan solidaritas dapat terjadi dan didiseminasi. Kekuasaan Foucaulian terjadi melalui proses ini. Abstraksinya adalah kekuasaan berarti suatu jalinan dan relasi. Kekuasaan itu ternyata tidak menetap pada satu agen tetapi terbesar dalam suatu relasi. berwacana dan berkomunikasi sangat berkenaan dengan produktivitas kekuasaan (productivity of power: (power relations are integral to the modern social productive apparatus, and linked to active programs for the fabricated part of the collective substance of society itself)) dan konstitusi subjetivitas dalam relasi kuasa (constitution of subjectivity through power relation: the individual impact of power relations does not limit itself to pure repression but also comprises the intention to teach, to mold conduct, to instill forms of self-awareness and identities). Di sinilah politik demokrasi berdomisili bahwa politik bukan soal pembagian kekuasaan tetapi berwacana dan berkomunikasi untuk menemukan the truth.
Menjelang pemilu 2014, partai-partai politik sudah mulai tebar pesona, meski masih malu-malu. Tidak juga memalukan sebab perilaku centil partai politik masih dalam koridor hukum. Partai yang dekat dengan pemilik modal terus menerus “membuat asap di dapur”. Partai baru Nasional Demokrat (Nasdem) setiap hari ngalor-ngidul di media layar kaca (Metro Tv). Partai ini memiliki hubungan “dekat” (kalau bukan relasi “ayah-anak”) dengan televisi nasional tersebut. Begitu juga partai Golkar (ANTV dan TVOne). Diikuti pula dengan partai lain-lain. Televisi merupakan media komunikasi massa yang paling popular dan unggul (audio visual). Melalui televisi, pesan dengan multiplikasi motif dalam disebarkan secara masal. Sayangnya, model komunikasi dan berwacana melalui media ini terkesan berat sebelah. Frame kepenting politis terlalu kuat memagari pesan yang disampaikan. Reactive forces Nietzscean terkuat mengganjal active forces kekuasaan dan the ruling party (Presiden Susila Bambang Yudhoyono-SBY dan partai Demokrat). Setiap saat, masyarakat televisi hanya menjadi saksi kebakaran jenggot SBY dan the ruling party. Praktek Korupsi yang melanda Anas Urbaningrum, Muhamad Nazarudin dan kader partai Demokrat, kebijakan pengurangan subsidi BBM, curhat Presiden dan lain-lain adalah lubang-lubang kotor pada celana kekuasaan yang harus diploroti dalam pandangan media dan partai sekutunya. Jelas, independensi jurnalistik media Indonesia perlu dipertanyakan. Independensi jurnalistik media bergantung pada kepentingan politis dan modal (baca: pemilik modal media berafiliasi dengan partai politik). Akibatnya, komunikasi dan wacana yang muncul hanya berbentuk prosa monologis: propaganda, kreasi opini publik, kritikan pedas tanpa pemanis dan lain-lain. Politik yang berwajah monolitik ini mengurung the truth dengan distorsi kepentingan kekuasaan dan dominasi.
Untuk kepentingan kekuasaan dan dominasi, partai politik dengan segenap amunisinya sudah saling sikat-patkulipat meski pemilu 2014 masih belum tampak batang hidungnya. Pertarungan elit politik sudah terjadi. Mereka saling ikat dan kunci. Dan lagi, rakyat menjadi korban kepentingan politik itu. Partai politik dan elemen perwakilannya tidak bisa diharapkan untuk mewududkan kehidupan bangsa yang beradap dan masyarakat adil dan sejahtera. Mereka justru menjadi ujung tombak degrasi harapan dan moral bangsa. Korupsi dan tamak kekuasaan berkeliran di istana perwakilan dan partai politik. Korupsi dan tamak kekuasaan ini memiliki proksi yang dekat dengan sinis politik filsuf Slavoj Zizek bahwa “…the true driving force of our political activity is not ideology or interest, but rather unconscious libidinal motivations”.
Namun, sebagai anak kandung kebudayaan dan politik Indonesia, kita perlu tetap berpengang pada politik harapan dan motivasi baik dalam aktivitas politik itu sendiri. Politik harapan yang dimaksudkan adalah bahwa setiap aktivitas politik adalah lembar sejarah perjalanan politik bangsa menuju politik yang lebih beradap. Harapan berada di pundak kita semua, generasi penerus, yang telah mengais nilai-nilai sejarah itu dan bertekad memperbaikinya. Motivasi akbarnya adalah kehidupan bangsa yang adil dan beradap. Sekarang pun, sejarah sudah tertulis di depan mata kita. Darinya kita dapat menentukan siapa yang pantas memegang kekuasaan dan kepercayaan kita, saat ini atau pun saat itu tiba. Rakyat punya kuasa karena sebenarnya rakyat juga berpolitik (Nitzschean reactive force). Das Sein, realitas aktitivas politik kekinian sangat kacau, penuh intrik, simulasi, manipulatif dan koruptif. Das Sollen, realitas politik seharusnya menghantarkan bangsa Indonesia menjadi bangsa yang besar, bermartabad, adil dan sejahtera. Dalam kesenjangan das Sein dan das Sollen ini, rakyat Indonesia masih punya das Wollen (the will), kemauan untuk memperbaiki malpraktek politik menjadi politik yang lebih santun dan demokratis menuju cita-cita besar kehidupan berbangsa dan bertanah air. Hanya the will yang bisa membebaskan (liberates) politik dari aroma ketidakberadabannya. Sebab prinsip filosifis the will adalah creating and joy (mengutip Nietzsche, “my willing always comes to me as my liberator dan bringer of joy”). Dengan demikian, kebebasan, keadilan dan kesejahteraan menjadi finis coronat opus atas pilihan politik rakyat itu sendiri.
Djogjakarta, 26 Maret 2012
Alfred Tuname
Komentar
Posting Komentar