Suksesi kepemimpinan propinsi NTT sudah dekat. Fugur-figur pemimpin
mulai memandang kursi kekuasaan sembari merancang kuda-kuda. Untuk sebuah
kursi, ada yang terang-terangan menunjukan cakar dan ada pula yang masih
senyap-senyap meruncingkan cakarnya. Mata media lokal diam-diam mengamati
cakr-cakar itu. Masyarakat NTT juga dalam berbagai kesempatan ikut dalam peruncingan
bakal calon pemimpin.
Di era teknologi yang berkembang pesat saat ini, keberadaan internet
hampir-hampir “mendarah daging” dalam habitus masyarakat. Internet menjadi
gudang pengetahuan sekaligus media cepat untuk bisa berkomunikasi dengan orang
lain. Mesin pencari (google, yahoo,
altavista,dll) dan media jejaring sosial (facebook, twitter, bloger, myspace,dll) adalah anak emas dalam
kultur baru abad ini. Hampir setiap orang tercelup bebas dalam kultur ini.
Kehadiran internet di tengah kehidupan masyarakat memberi pengaruh
yang signifikan terhadap perubahan kultur berpolitik. Cita-cita besar filsuf
Karl Popper dan pengikutnya George Soros menjadi mungkin: open society (masyarakat terbuka). Setiap orang mendapatkan tiket
asli untuk berekspresi. Akses dibuka seluas-luasnya. Dalam Open Society and Its Enemies (1962) Karl Popper menulis “personal relationships of e new kind can
arise where they can freely entered into, instead of being determined by the
accidents of birth…”. Kebebasan berekspresi bisa berati bebas masuk
sekaligus “keluar” dari gelimangan aktivitas kebermasyarakatan. Akan tetapi itu
mensyaratkan rasionalitas, pengetahuan dan resposibilitas. Dan demokrasi modern
juga mensyaratkan atau terjun bebas dalam kategori demokrasi Dahlian (Robert
Dahl); freedom of expression. Bahwa “citizens have a right to express themselves
without danger of severe punishment on political matters broadly defined”(Bernard
Crick, 2002:107). Secara politik, kebebasan ekspresi menjadi sebab sekaligus
akibat dimungkinkannya sumber-sumber informasi yang independen (access to alternative). Dengan demikian
informasi tidak lagi monolog.
Berpolitik menggunakan media-media internet di atas mencirikan
demokrasinya sendiri. Komunikasi politik individu adalah cornerstone of democracy. Dan internet membangkitkan gairah baru
komunikasi politik itu. Demokrasi mengandaikan setiap indivindu dalam
masyarakat dapat berkomunikasi(interpersonal
communication)secara rasional dan bebas. Terkait komunikasi politik
interpesonal dalam media internet, kaum liberal menyebutnya sebagai electronic democratisation, kaum
republikan menyebutnya sebagai cyberdemocracy
dan Habbermasian electronic democracy
untuk yang berperspektif deliberatif. Bangsa Indonesia bisa menyebutnya electronic democracy of Pancasila.
Secara konstitusi, demokrasi Pancasila memberikan garansi kepada
setiap zoon politikon untuk (berhak) terlibat
dalam kontestasi politik (dipilih atau
memilih pemimpin politiknya). Secara rasional dan bebas, masyarakat berhak
menentukan pilihan politiknya. Kemudian, demokraasi politik itu diejahwantahkan
dalam proses pemilu dan atau pilkada. Semangat demokrasi dalam pemilu/pilkada
adalah tersedianya ruang bagi rakyat untuk “melepaskan” mandat institusional
langsung, adanya perubahan politik baru (sirkulasi elit) atau peneguhan
komitmen baru sekaligus kekuasaan rakyat sebagai faktor determinan atas
kontestasu, kompetisi dan rivalitas politik. Dengan electronic democracy of
Pancasila, komunikasi politik interpersonal dapat terjadi lebih cair dan
rasional dalam ruang politik yang lebih luas (cyberspace).
Adalah sangat menarik jika kita menyaksikan katalog informasi yang
terlepas bebas pada berbagai media di internet. Dalam konteks suksesi
kepemimpinan NTT 1 tahun 2013, selain media lain (website, blog, twitter, dll),
facebook (group facebook)menjadi wadah letupan-letupan ekspresi. Ekspresi ini
sedikit-banyak menyodorkan jejaring informasi kepada facebookers tentang berita, argumentasi,opini dan lain-lain.
Normatif, konservatif-dogmatis dan radikal dapat dengan mudah terkategorikan
untuk tiap baris kalimat yang melekat pada wall.
Lantas apakah dengan mengaku sebagai follower group tertentu itu menentukan sikap dukungan terhadap
bakal calon (balon) tertentu? Tentu tidak demikian. Sebagai follower tidak mesti sebagai pendukung.
Itu berarti setiap follower dengan
senang hati terlibat berdiskusi, berbicara atau mungkin juga beraspirasi.
Substantsinya bisa berbentuk sanjungan, kritikan, dan masukan konstruktif bukan
saja kepada sang balon tetapi kepada semua insan politik. Limitasi terhadap
setiap pembicaraan hanyalah bukti bahwa kita tidak terbuka atau masih takut
terhadap bayangan kekuasaan. Bahkan kita tidak berani “telanjang” menyikapi
semua kejanggalan-kejanggalan kekuasaan. Jika mau mendapatkan figur pemimpin
maka sebaiknya kita berhenti untuk menjadi “anak emas” kekuasaan bahkan
bayangan identitas primordial yang semu itu sekalipun. Akan tetapi bahasa pun
yang digunakan pun harus tetap berada dalam harmoni ethico-gramatica.
Facebook group yang mendukung Benny Kabur Harman dan Christian
Rotok sebagai bakal calon gubernur NTT merupakan bagian dari dinamika politik
lokal dalam domain eletronik democracy of
Pancasila. Bahwa setiap orang boleh berbicara soal dua tokoh Manggarai
tersebut. Berbicara tentang kedua tokoh ini berarti pertimbangan rasional atas mode of politics kedua tokoh itu. Diskursus
terjadi di sini. Mengapa berbicara (berdiskursus)? Dengan bericara kita sedang
berada dalam sebiduk filsuf Immanuel dan Slavoj Zizek yang melawan moto klasik,
“don”t think, obey!”. Mereka
menawarkan semangat baru yakni “Obey, but
think!”. Berbicara berarti self-criticism.
Pembicara menaruh takaran rasional dalam neraca perpolitikan. Kita terlalu
banyak berbuat sehingga lupa untuk berbicara (dengan orang lain) tentang apa
yang sudah kita lakukan atau apa yang kita pikirkan. Permasalahn kemiskinan dan masalah pertambangan boleh jadi adalah
radang pembangunan NTT sebab setiap pemimpin terlalu asik sendiri berbuat dan
tidak berkomunikasi satu sama lain (dengan rakyat dan pemimpin lainnya). Bahwa
rakyat pun harus berbicara untuk menangkal propaganda dalam komunikasi monolog.
Propaganda itu sendiri merupakan kebutaan struktural (structurally blind) sebab wacana “tricle down” menjebak kita pada politik pencitraan (imagodemocracy). Sementara itu, imagodemocracy adalah musuh dalam
kantung demokrasi kita. Bahwa NTT membutuhkan pemimpin yang “radikal” (berani,
jujur dan mengakar pada rakyat) dan seorang negarawan.
Apakah tokoh Benny Kabur Harman dan Christian Rotok adalah seorang
tokoh yang “radikal” dan seorang negarawan? Mari kita berbicara dulu. Setelahnya
kita boleh mengakui ketokohan kedua figur ini untuk NTT 1. Dan lantas tangas
tangkas kita mengapresiasi, “people,
people this”(bhs. Manggarai; ata,
atas so’o = orang, orang ini).
Djogja, 26 Mei 2012
Alfred Tuname
Komentar
Posting Komentar