Malam menjelang natal, ibu memutar susu formula. Sementara ayah menggendongnya dengan lembut. Sesekali kumis ayah menyentuh halus pipinya. Seorang anak perempuan mungil dan cantik tahu yang mana sentuhan sang ayah dan mana sentuhan seorang ibu. Suara tangisan kecil bergema seperti nyanyian malaikat. Tangisan bayi itu adalah bahasa. Ia sedang lapar.
Lalu ibu menggendong bayi perempuan itu. Nyanyian bunda menghibur bayi yang sedang makan. Sesekali bayi ditimang dengan gerakan-gerakan menggemaskan. Dalam hatinya, bunda berharap, “cepatlah besar, nak. Jadilah anak cantik yang baik”.
Ayam berkokok pertanda hampir pagi. Mimpi telah membawa ayah pegi ke dunianya sendiri. Pelukan ibu masih melekat pada tubuh bayi. Sayup-sayup mata ibu masih tertahankan. Cahaya cintanya lebih kuat dari rasa ngantuk. Itulah seorang ibu.
Cinta seorang ibu kepada anaknya adalah penyerahan diri yang utuh pada kehidupan. Cahaya Ilahi terpecik dalam kasih seorang ibu. Ibu selalu setia dan tidak pernah menuntut. Ia mencintai bukan demi sebuah penghormatan atau penghargaan. Ia mencintai karena cinta. Itu saja. Tidak lebih dan tidak kurang. Ruang emas dalam hatinya, ibu berikan seluruhnya untuk anak dan ibunya.
Arswendo Atmowiloto (2009) dalam novel pribadinya “Dua Ibu” mengurai tanda seorang ibu. Pertama, ibu ialah sebutan untuk perempuan yang melahirkan anaknya. Kedua, ialah sebutan untuk perempuan yang merelakan kebahagiaanya sendiri buat anak orang lain. Dan ibu yang teristimewa ialah ibu dengan paduan dua sifat itu. Tetapi ibu tidak berhenti pada tampakan definisi itu. Ibu adalah segala-galanya. Kepadanya, mazmur pujian dan syukur pantas dinyanyikan.
”Kasih ibu kepada beta tak terhingga sepanjang masa...” Ibu selalu memeluk anaknya dengan tangannya yang halus meski harapan mulai menepi. Senyum ibu menjadi layar terkembang di tengah arung gelombang kehidupan menuju tanjung harapan yang lebih baik.
Mengasihi ibu adalah hukum alam yang paling utama (prima natura lex). Karenanya, untuk semua Ibu dan perempuan, selamat Hari Ibu. Di tanganmu, harapan dunia yang damai ditahtakan.
Untuk ibuku, aku menyayangimu. Kalimat manis itu selalu terungkap. Dan frase terima kasih, sejatinya, tidak pernah cukup untuk membalas jasamu. Tetapi aku hanya punya itu. Saat ini dan nanti ibu selalu di hati.
Djogja, 21 Desember 2011
Alfred Tuanme
Komentar
Posting Komentar