Hahae,Politik!: Jelang Pilkada Manggarai Timur 2013

Gazéq sama mbrérék/ndaing sama pabir”*
-Pepatah Orang Rembong

Berpolitik berarti mengembalikan kedaulatan kepada rakyat. Pilkada (Pemilihan Umum Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah) adalah momen politik sekaligus momentum fundamental peletakan fondasi kedaulatan rakyat. Kedaulatan itu adalah berkah pilihan sistem politik demokrasi. Artinya, pilkada merupakan perwujudan demokrasi lokal. Sering kali even pilkada dikodifikasi sebagai pesta demokrasi lokal. Akan tetapi, itu tidak serta merta para elit politik dan partai politik memberikan hiburan memabokan untuk menghipnotis rakyat. Rakyat hanya akan terhibur jika calon kepala daerahnya memberikan visi dan misi yang realistis dan relevan untuk siap direalisasikan setalah menjadi kepala daerah.

Setelah Realiasi UU No.32/2004,sistem desentralisasi adalah upaya peningkatanan ekonomi dan akselerasi pertumbuhan ekonomi daerah.  Dalam hal ini, pemerintah daerah mempunyai peran penting arah pembangunan daerah. Pembangunan itu sendiri berarti kesejateraan rakyat. Politik adalah intrumen penting untuk mendukung pemerintah daerah menyebarluaskan kesejahteraan.Kesejahteraan menjadi nilai tertinggi dalam penggunaan kekuasaan politik. Michael Foucaul melihat bahwa tujuan pemerintah bukanlah memerintah itu sendiri, melainkan kesejahteraan. Singkatnya, politik untuk mensejahterakan rakyat.

Sistem desentralisasi melahirkan otonomi daerah. Setelah memasuki era otonomi daerah, ada kecemasan muncul dalam kontestasi perpolitikan di daerah. Kecemasan itu muncul dalam rupa pertanyaan: otonomi elit atau otonomi rakyat? Kecemasan ini bersumber dari realitas politik daerah yang dikurung dan dikuasai oleh elit-elit politik lokal. Elit-elit politik saling sikut merebut kekuasaan. Determinan pemengan adalah partai politik yang kuat. Partai politik (parpol) yang kuat punya sumber daya yang cukup untuk memobilisasi massa, populer dan bisa mencengkram daya ingat masyarakat. Calon kepala daerah yang bisa mengendarai parpol yang kuat berarti ia sudah siap untuk menang. Lantas dimana rakyat saat itu? Rakyat terlepas dari kedaulatannya. Otonominya luluh pada simbol-simbol primordial, kekurangan informasi, suramnya kedewasaan politik dan tebalnya dompet untuk sebuah suara. Lantas, sejauh mana demokratisasi lokal itu mengada? Jawaban sementara ada pada tesis filsuf Jean Jacques Rousseau. Bahwa ketidakadilan sosial-lah yang menyebabkan demokrasi itu tidak bisa direalisasikan.


Fenomena desentaralisasi adalah fenomena ketidakadilan. Ketidakadilan sosial dan ekonomi menjadi penanda kerawanan pembangunan suatu daerah. Ketidakadilan itu terlihat dalam realisasi kebijakan-kebijakan politis pembangunan. Ada preferensial proyek pembangunan sarana dan prasarana fisik (infrastruktur) di beberapa tempat. Wilayah basis pemenangan pilkada akan menjadi prioritas pemanbangunan infrastrukutr jika dibandingkan dengan wialyah lain. Disparitas pembangunan ini menyebabkan disparitas pertumbuhan ekonomi dan kesejahteraan. Akan tetapi persoalan tidak berhenti di situ. Proyek-proyek pembangunan hanya  terkesan artifisial sebab proyek-proyek tersebut bermasalah dalam hal kualitas. Di sini telihat dengan jelas bahwa otonomi elit lebih dominan dalam penentuan proyek-proyek pembangunan. Disparitas pembangunan dan kualitas proyek pembangunan yang bermasalah menyebabkan akses masyarakat akan kehidupan yang layak menjadi bermasalah. Aktivitas ekonomi masyarakat akan terhambat, arus informasi melambat, aktivitas pendidikan tersendat dan ketidak-kedewasaan politik kian pekat. Keadaan ini akan melemahkan otonomi rakyat sebab rakyat menjadi sangat tergantung pada pola-pola kebijakan pemerintah. Di sinilah kegagalan pembangunan daerah sebab, mengutip Sandra Wallman dalam Perception of Development (1977), “…developments are determined not only by desire of material advancement but also by the community’s need to maintain autonomy”. Bahwa pembangunan itu gagal ketika otonomi rakyat diesklusi oleh kebijakan-kebijakan pembangunan itu sendiri. Sering kali terjadi otonomi rakyat itu tidak pernah tercapai sementara kebutuhan fisik pembangunan belum ada. Saat itulah, politik lokal berwajah monolog sebab rakyat hanya sebagai pelengkap penyerta dalam proses politik. Status tersebut tampak nyata proses pilkada. Tidak ada demokrasi dalam pilkada. Rakyat hanya dihasut untuk melegitimasi kekuasaan itu.

Politik di Manggarai Timur (Matim) adalah gerakan melawan dirinya sendiri. Gerakan itu berarti berpindah dari lubang semut politik lokal yang ethnosentris kepada cakrawala rasionalitas politik (demokrasi). Ethosentrisisme adalah musuh demokrasi. Steven Vago dalam bukunya Social Changemenulis bahwa “ethocentricism  often constitutes a sizeable bulwark against change”. Sementara, perubahan itu selalu inklud dengan demokrasi. Rakyat Matim hari ini adalah masyarakat dan komunitas multikultur. Oleh sebab itu, pemimpin politik tidak bisa dipilih selayaknya kepala suku (tua golo). Artinya, radikalisasi ethnicentricisme adalah real politik lokal yang salah tempat (misplaced).  Amy Gutmann dalam “Introduction”pada buku filsuf Charles Taylor, Multiculture and “The Politics of recognition”(1992), menulis bahwa “muticultureal societies and communitiest that  stand for the freedom and equality of all people rest upon mutual respect for reasonable intellectual, political dan cultural differences… The moral premise of multiculturalism depend in the exercise of these deliberative virtues”. Itu berarti, dalam konteks politik lokal, pilihan politik yang rasional dan pengakuan atas perbedaan pilihan politik menjadi standar moral pelaksaan demokrasi politik Matim. Bahwa kekuasaan yang merupakan, dalam bahasa Hannah Arendt,“glue”dalam organisasi politik pemerintahan bukanlah milik pribadi atau “golongan”. Matim yang adil dan sejahtera (bonum commune) adalah tujuan praktik kekuasaan itu.     

Dengan demikian, demokratisasi politik lokal Matim hanya terjadi jika segenap elemem masyarakat mulai menggunakan kesadaran dan logika-logika politik rasional untuk menjatuhkan pilihan politiknya atas calon-calon pemimpin yang berani membuat kebijakan untuk kesejahteraan dan pembangunan Manggarai Timur. Tidak ada lagi standar-standar sentimen agama, etnis kesukuan dan citra. Di sini, akan terbentuk mandat imperatif atau model instructed delegated Roussean. Hal itu tejadi karena interaksi masyarakat sadar (civil society) dan political society sehingga lahir mandat imperatif bahwa pemimpin dan wakil rakyat bertanggung jawab kepada rakyat dan rakyat itu punya hal untuk me-recallpemimpin politik tersebut. Mengutip Rousseau dalam The Social Contract, rakyat Matim “can set them up and pull them down when it likes”. Pilihan, pada Pilkada Matim 2013, akan menentukan nasip demokrasi politik lokal dan bangunan kesejahteraan Manggarai Timur.Selain itu, kita hanya akan menghibur diri dengan tertawa,“hahae, politik!”. Dan kita terkurung dalam mousetrap retoris Horace (Satires, Book I, Satire 1),”why do you laugh? The name changed, the tale is told of you!”.


Djogja, 11 Mei 2012
Alfred Tuname

*”Berdiri sama sebaris, tegak sama sejajar” (dikutip dari Roger Tol, Adat-istiadat Orang Rembong di Flores Barat (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia,1997),hlm.210 dan 366.     

Komentar