Gazéq sama
mbrérék/ndaing sama pabir”*
-Pepatah
Orang Rembong
Berpolitik
berarti mengembalikan kedaulatan kepada rakyat. Pilkada (Pemilihan Umum Kepala
Daerah dan Wakil Kepala Daerah) adalah momen politik sekaligus momentum
fundamental peletakan fondasi kedaulatan rakyat. Kedaulatan itu adalah berkah
pilihan sistem politik demokrasi. Artinya, pilkada merupakan perwujudan
demokrasi lokal. Sering kali even pilkada dikodifikasi sebagai pesta demokrasi
lokal. Akan tetapi, itu tidak serta merta para elit politik dan partai politik
memberikan hiburan memabokan untuk menghipnotis rakyat. Rakyat hanya akan
terhibur jika calon kepala daerahnya memberikan visi dan misi yang realistis
dan relevan untuk siap direalisasikan setalah menjadi kepala daerah.
Setelah
Realiasi UU No.32/2004,sistem desentralisasi adalah upaya peningkatanan ekonomi
dan akselerasi pertumbuhan ekonomi daerah. Dalam hal ini, pemerintah
daerah mempunyai peran penting arah pembangunan daerah. Pembangunan itu sendiri
berarti kesejateraan rakyat. Politik adalah intrumen penting untuk mendukung
pemerintah daerah menyebarluaskan kesejahteraan.Kesejahteraan menjadi nilai
tertinggi dalam penggunaan kekuasaan politik. Michael Foucaul melihat bahwa
tujuan pemerintah bukanlah memerintah itu sendiri, melainkan kesejahteraan.
Singkatnya, politik untuk mensejahterakan rakyat.
Sistem
desentralisasi melahirkan otonomi daerah. Setelah memasuki era otonomi daerah,
ada kecemasan muncul dalam kontestasi perpolitikan di daerah. Kecemasan itu
muncul dalam rupa pertanyaan: otonomi elit atau otonomi rakyat? Kecemasan ini
bersumber dari realitas politik daerah yang dikurung dan dikuasai oleh
elit-elit politik lokal. Elit-elit politik saling sikut merebut kekuasaan.
Determinan pemengan adalah partai politik yang kuat. Partai politik (parpol)
yang kuat punya sumber daya yang cukup untuk memobilisasi massa, populer dan
bisa mencengkram daya ingat masyarakat. Calon kepala daerah yang bisa
mengendarai parpol yang kuat berarti ia sudah siap untuk menang. Lantas dimana
rakyat saat itu? Rakyat terlepas dari kedaulatannya. Otonominya luluh pada
simbol-simbol primordial, kekurangan informasi, suramnya kedewasaan politik dan
tebalnya dompet untuk sebuah suara. Lantas, sejauh mana demokratisasi lokal itu
mengada? Jawaban sementara ada pada tesis filsuf Jean Jacques Rousseau. Bahwa
ketidakadilan sosial-lah yang menyebabkan demokrasi itu tidak bisa
direalisasikan.
Fenomena
desentaralisasi adalah fenomena ketidakadilan. Ketidakadilan sosial dan ekonomi
menjadi penanda kerawanan pembangunan suatu daerah. Ketidakadilan itu terlihat
dalam realisasi kebijakan-kebijakan politis pembangunan. Ada preferensial
proyek pembangunan sarana dan prasarana fisik (infrastruktur) di beberapa
tempat. Wilayah basis pemenangan pilkada akan menjadi prioritas pemanbangunan
infrastrukutr jika dibandingkan dengan wialyah lain. Disparitas pembangunan ini
menyebabkan disparitas pertumbuhan ekonomi dan kesejahteraan. Akan tetapi
persoalan tidak berhenti di situ. Proyek-proyek pembangunan hanya
terkesan artifisial sebab proyek-proyek tersebut bermasalah dalam hal kualitas.
Di sini telihat dengan jelas bahwa otonomi elit lebih dominan dalam penentuan
proyek-proyek pembangunan. Disparitas pembangunan dan kualitas proyek
pembangunan yang bermasalah menyebabkan akses masyarakat akan kehidupan yang
layak menjadi bermasalah. Aktivitas ekonomi masyarakat akan terhambat, arus
informasi melambat, aktivitas pendidikan tersendat dan ketidak-kedewasaan
politik kian pekat. Keadaan ini akan melemahkan otonomi rakyat sebab rakyat
menjadi sangat tergantung pada pola-pola kebijakan pemerintah. Di sinilah
kegagalan pembangunan daerah sebab, mengutip Sandra Wallman dalam Perception of Development (1977), “…developments are determined not only by desire
of material advancement but also by the community’s need to maintain autonomy”. Bahwa pembangunan itu gagal ketika
otonomi rakyat diesklusi oleh kebijakan-kebijakan pembangunan itu sendiri.
Sering kali terjadi otonomi rakyat itu tidak pernah tercapai sementara
kebutuhan fisik pembangunan belum ada. Saat itulah, politik lokal berwajah
monolog sebab rakyat hanya sebagai pelengkap penyerta dalam proses politik.
Status tersebut tampak nyata proses pilkada. Tidak ada demokrasi dalam pilkada.
Rakyat hanya dihasut untuk melegitimasi kekuasaan itu.
Politik di
Manggarai Timur (Matim) adalah gerakan melawan dirinya sendiri. Gerakan itu
berarti berpindah dari lubang semut politik lokal yang ethnosentris kepada
cakrawala rasionalitas politik (demokrasi). Ethosentrisisme adalah musuh
demokrasi. Steven Vago dalam bukunya Social Changemenulis
bahwa “ethocentricism
often constitutes a sizeable bulwark against change”.
Sementara, perubahan itu selalu inklud dengan demokrasi. Rakyat Matim hari ini
adalah masyarakat dan komunitas multikultur. Oleh sebab itu, pemimpin politik
tidak bisa dipilih selayaknya kepala suku (tua golo). Artinya, radikalisasi ethnicentricisme adalah real politik lokal yang salah
tempat (misplaced).
Amy Gutmann dalam “Introduction”pada buku filsuf Charles Taylor, Multiculture and “The Politics of recognition”(1992),
menulis bahwa “muticultureal societies
and communitiest that stand for the freedom and equality of all people
rest upon mutual respect for reasonable intellectual, political dan cultural
differences… The moral premise of multiculturalism depend in the exercise of
these deliberative virtues”. Itu
berarti, dalam konteks politik lokal, pilihan politik yang rasional dan
pengakuan atas perbedaan pilihan politik menjadi standar moral pelaksaan
demokrasi politik Matim. Bahwa kekuasaan yang merupakan, dalam bahasa Hannah
Arendt,“glue”dalam
organisasi politik pemerintahan bukanlah milik pribadi atau “golongan”. Matim
yang adil dan sejahtera (bonum commune) adalah tujuan praktik kekuasaan itu.
Dengan
demikian, demokratisasi politik lokal Matim hanya terjadi jika segenap elemem
masyarakat mulai menggunakan kesadaran dan logika-logika politik rasional untuk
menjatuhkan pilihan politiknya atas calon-calon pemimpin yang berani membuat
kebijakan untuk kesejahteraan dan pembangunan Manggarai Timur. Tidak ada lagi
standar-standar sentimen agama, etnis kesukuan dan citra. Di sini, akan
terbentuk mandat imperatif atau model instructed
delegated Roussean.
Hal itu tejadi karena interaksi masyarakat sadar (civil society) dan political society sehingga lahir mandat imperatif bahwa
pemimpin dan wakil rakyat bertanggung jawab kepada rakyat dan rakyat itu punya
hal untuk me-recallpemimpin politik tersebut. Mengutip Rousseau dalam The Social Contract, rakyat Matim “can set them up and
pull them down when it likes”. Pilihan, pada Pilkada Matim 2013,
akan menentukan nasip demokrasi politik lokal dan bangunan kesejahteraan
Manggarai Timur.Selain itu, kita hanya akan menghibur diri dengan tertawa,“hahae, politik!”. Dan kita terkurung
dalam mousetrap retoris Horace (Satires,
Book I, Satire 1),”why do you laugh? The name changed, the tale is told of you!”.
Djogja, 11
Mei 2012
Alfred
Tuname
*”Berdiri
sama sebaris, tegak sama sejajar” (dikutip dari Roger Tol, Adat-istiadat Orang Rembong di Flores Barat (Jakarta: Yayasan Obor
Indonesia,1997),hlm.210 dan 366.
Komentar
Posting Komentar