Dosen Dan Mahasiswa: Kuliah “Out Of The Box”


“Jika ingin kaya, siap jalan”. Ini adalah pepatah negeri tirai bambu, Cina.  Yang jalan ada interpretasi bebas atas pepatah Itu. Kaya tidak serta merta diterjemahkan sebagai materi.  Kekayaan pengetahuan, emosional-spiritual, pengalaman et cetera. Jalan pun demikian. Tidak hanya bangunan fisikal, jalan juga berarti cara, mekanisme et cetera. Formuasi bebasnya adalah untuk mendapatkan sesuatu yang bernilai lebih bersiaplah melakukan sesuatu. Sebuah formulasi lain dari zaman Romawi adalah si vis pacem para bellum. Jika ingin damai siaplah berperang. perti Berperang dalam konsteks lain juga adalah jalan. Negeri Paman Sam di orde George W. Bush Junior, berperang adalah salah satu jalan untuk memuaskan dahaga minyaknya di Timur Tengah. Itu ia lakukan dengan bersekutu dengan keluarga minyak USA Rockefeller. 

Jalan adalah juga jalan menambah pengetahuan di tengah rutinitas akademik yang mencekik. Proses mengajar dan belajar di ruang  ber-AC terasa kurang ampuh untuk meladeni dahaga ilmu pada mata kuliah Ekonomi Industri. Dan kami memilih jalan.  Saya menyebut perjalan ini sebagai “kuliah out of the box”.  Jalan di sini berarti mengayun langkah, mempertajam sorotan mata dan  memperluas pandangan dalam kebersamaan yang akrab. Dosen dan mahasiswa sama-sama berinisiatif untuk bertolak lebih dalam (duc in altum) menembus ilmu ekonomi industri dengan pengamatan. Inilah seni mengamat-amati. Mengamati berarti mendapatkan sesuatu yang bernilai dari objek amatan. Inilah yang membedakan kata kerja “mengamati” dan “melihat”. Melihat hanya berarti mendapatkan kesan sekilas lalu lenyap tidak berbekas. Kami pun berencana mengunjungi sentra-sentra industri di kabupaten Bantul, Djogjkarta. 

Jalan bareng dosen dan mahasiswa adalah suatu momen yang penting. Momen itu membuka erat relasi dan melenyapkan spasi jarak interaksi. Pecahnya tembok keengganan melahirkan keakraban dua generasi yang berbeda. Saat itu dosen menjadi sahabat. Sahabat dalam pengertian ini adalah suatu interaksi dengan rasa hormat dan saling mendukung dalam ilmu pengetahuan. Dosen tidak bisa dianggap “gudang” ilmu yang serta tahu (omni potent) tetapi sebagai media atau kunci yang melaluinya kita dapat membongkar brangkas pengetahuan yang belum dimengerti atau belum diketahui.  Kebersamaan itu juga adalah toleransi generasi. Toleransi berarti membuka wawasan dan open minded. Di tengah gejala sosial yang apatis dan tertutup (close minded), toleransi antar-generasi sangat dibutuhkan. Seorang dosen tidak boleh seperti seorang sopir angkutan umum yang seenaknya berhenti di tengah jalan tanpa memikirkan pengendara lain. Dia juga harus memikirkan generasi penerusnya dengan membimbingnya menjadi pribadi yang tidak hanya berpengetahuan tetapi juga kritis dan peka terhadap lingkungan sosial. Artinya dosen sebagai seorang intelektual tidak bisa hanya duduk manis di menara gading dan memandang miopistik sosialitas kehidupaan akademik.

Hari Minggu adalah hari ideal untuk melakukan perjalanan. Dosen dan mahasiswa berkumpul di halaman Universitas Janabadra (UJB), Djogjakarta pada tanggal 04 Desember 2011. Perjalanan dimulai pada jam 09.30 AM. Dua mobil Kijang Inova silver meluncur dengan kecepatan rata-rata. Pengamatan pertama adalah kampung kerajinan gerabah, Kasongan. Sepanjang mata memandang adalah display kerajinan gerabah. Berbagai bentuk seni gerabah dipamerkan dan dijual. Seni karena dikerjakan oleh tangan-tangan terampil dan bernilai estetis. Karenanya karya itu layak dihargai dengan harga tertentu. Di sinilah trasanksi ekonomi terjadi. Nilai ekonomis karya seni memiliki karakteristik elastis dengan kreativitas.  Dan tentu dalam transaksi ekonomi sebuah kerya seni, harga menjadi nomor dua bagi seorang pembeli yang memiliki sense of art yang tinggi. Ibu Rini.... , dosen pengampuh mata kulia Ekonomi Industri melayangkan pertanyaan padaku, “di daerahmu ada produksi kerajinan seperti ini nggak?” Sejenak aku terdiam dan berpikir tentang daerahku. “Setahuku belum ada kerajinan seperti ini. Mungkin ada tetapi masih terbatas”, jawabku dengan sedikit keraguan. Begitulah  jawaban singkatku atas pengetahuanku. Di Manggarai, bahan baku (raw material) kerajinan gerabah sangat banyak. Tetapi kemampuan dan kreativitas untuk meraciknya menjadi barang yang bernilai ekonomis masih terbatas. Kerajinan gerabah membutuhkan skill khusus. Boleh jadi, kerajinan itu ada tetapi hanya sekadar “subsistem”. 

Roda terus berputar melindas jalan beraspal halus. Kami meninggalkan Kasongan menuju kampung wisata Manding. Manding adalah sentra kerajinan kulit. Industri kerajinan kulit ini memproduksi sandal, sepatu, tas, jaket dan barang-barang lain berbahan baku kulit. Selain bentuknya menarik, hasil produsi tersebut memiliki kualitas ekspor. Di pasar domestik, harga barang-barang tersebut relatif terjangkau. Oleh karenanya, banyak pengunjung yang datang ke tempat ini untuk wisata belanja. 

Perjalanan pun berlanjut. Kami mengujungi salah satu tempat belaja oleh-oleh khas Bantul, Tumpuk. Di tempat ini dijual makan ringan seperti intip goreng, peyek belut, kripik jamur, bakpia, sale, geplak, kue bawang, onde-onde dan lain-lain. Kemasannya sangat menarik. Kemasan menarik membantu proses peningkatan  transaksi penjualan. Tentu ada rasa sedap yang memanjakan ujuang lidah juga dibalik kemasannya. Inilah prinsip usership yang dipakai. Kami juga dipersilakan untuk melihat dapur produksi geplak. Proses produksinya cukup sederhana. Prosesnya hanya menggunakan peralatan tradisional. Hanya saja, dibutuhkan tenaga kerja yang trampil. Proses ekonomi terjadi di sini. Ada pendapatan, serapan tenaga kerja dan pajak. Di banyak daerah, makanan khas oleh-oleh juga ada, bahkan bervariasi dan unik. Yang menjadi persoalan adalah tidak ada aktivitas ekonomi atas panganan tersebut. Tidak ada kemasan yang menarik.  Semua hanya diproduksi sebatas kebutuhan konsumsi pribadi. 

Karena batik sudah merupakan ikon pakaian nasional, kami pun mengunjungi salah satu rumah produksi batik. Rombongan bergerak iringan menuju kelurahan Wijirejo, desa Bergan, kecamatan Pandak, Bantul. Batik Wijirejo adalah sebaris aksara yang tertulis pada papan nama di depan rumah itu. Sepeti di Tumpuk, kami juga dipersilakan untuk melihat secara langsung dapur produksi. Pemilik Batik Wijirejo adalah tuan rumah yang baik. mereka menyambut kami dengan ramah dan antusias. Pemiliknya menjelaskan kepada kami proses pembuatan batik sampai pada jenis-jenisnya. Ada jenis batik cap dan batik tulis. Motif pada batik cap menggunakan “mal” yang sudah dirancang khusus dan di-cap pada helai kain. Sementara batik tulis dikerjakan dengan menggambar secara langsung oleh tangan-tangan kreatif. Kisaran harga setiap jenis batik berbeda-beda. Batik tulis sedikit lebih mahal dibandingkan dengan batik cap. Perbedaan itu dikarenakan pengerjaan batik tulis membutuh imagi kreatif, ketelatenan dan rentang waktu pengerjaannya. Jadi harga sebuah karya memelukan kuantifikasi atas faktor-faktor tersebut. Pakaian (untuk laki dan perempuan) hasil karya Batik Wijirejo memilki kualitas tinggi. Harganya pun selayak kualitasnya. Dengan harga Rp 120.000,-an kita sudah dapat membawa satu pakaian batik yang berkualitas. “di luar sana, banyak pakaian batik yang diproduksi masal dan kualitas asal-asalan (seng penting batik) tetapi harganya mahal”, kata seorang teman. Karenya kita perlu jeli melihat dan membeli batik sehingga tidak terjebak dalam prangkap “asal batik”. 

Tidak terasa, koordinat matahari sudah lebih condong ke barat. Dimensi kuning keemasan sudah mulai menggambar langit. Gejolak lambung mulai terasa. Saatnya harus makan. Kami memilih makan siang di pantai Kuwaru. Tidak ada yang luar biasa dari sebuah pantai selain hanyalah sebuah pantai. Yang luar biasa adalah bagaimana manusia merawat suasana pantai yang arsi dan memberikan suatu yang bernilai bagi pengujungnya, meski ini sesuatu yang sangat subjektif. Peran pemerintah dearah Bantul sangat penting di sini. Pemerintah daerah Bantul sudah berani mengubah sesuatu yang hanya pantai menjadi taman wisata pantai. Pemerintah daerah Bantul berani mengambil resiko atas investasi publik di pantai Kuwaru. Reboisasi pantai, pembangunan jalan raya, kincir-kincir angin dan fasilitas bangunan lainnya dibangun di sepanjang pantai. Satu yang unik adalah terdapat sawah di pinggir pantai. Ketika “sawah beton” menggeser areal pertanian sawah di Sleman dan kota Djogjakarta, pemerintah daerah Bantuk justru melakukan ekstensifikasi pertanian sawah. Usaha pemerintah daerah Bantul tidak sia-sia. Kas daerah (Pendapatan Asli Daerah) akan membengkak berkat pajak dan retribusi. Yang lebih penting lagi bukanlah prinsip “grow first, distribute later”, akan tetapi terutama adalah terciptanya lapangan kerja dan mengurangi tingkat kemiskinan. Sependapat dengan Charles K. Wilber (1963) bahwa “the challenge is not to achieve high growth rates of  per capita GNP but to reduce poverty, unemployment and inequality”. Dan kami pun dapat makan bersama dan menikmati indahnya suasana pantai di sore hari. 

 Mentari siap tenggelam seakan tertelan bumi. Angin dingin mulai memeras kulit tubuh. Kami pun harus kembali ke tempat di mana kami mulai. Ketika pengalaman adalah guru yang terbaik (experientia est optima rerum magistra), maka pengalaman perjalanan ini adalah maha guru untuk pengetahuan yang baik. 


Djogja, 06 Desember 2011
Alfred Tuname

Komentar