Diskursus Dalam Kanvas Politik BBM

Jalan demokrasi adalah berenang pada arus kesabaran. Bahwa setiap pegiat politik yang berenang dalam ngarai demokrasi like or dislaike harus berbesar hati untuk mengikuti prosesnya. Dan kita sudah mengamini bahwa proses politik kita adalah berdemokrasi. Demokrasi menawarkan peluang sekaligus risiko. Radikalisasi demokrasi akan menciptakan peluang bagi mereka yang bermental pemenang sekaligus mengurangi risiko. Atau sebaliknya, risiko semakin membukit bagi mereka yang tidak bermental pragmatis-oportunis.
 
Mental pragmatis-opotunis adalah bahaya dalam proses politik. Tetapi hal tidak bisa disalahkan juga. Mental pragmatis-oportunis juga bagian dari strategi politik. Atraksi akbar Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) dalam longmarch tolak kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM) bisa jadi adalah sebuah tindakan pragmatis-oportunis politik. PDIP, dalam demontrasi itu, menggandeng massa aksi (mahasiswa dan organ-organ lain). Kader-kader PDIP berteriak lantang dan membawa serta atribut-atribut partai. Secara konstitusional, praktik ini tidak lazim dan dianggap sebagai bagian dari kampanye politik (curi start). Tentu tidak bisa disalahkan juga. Di tengah ketidakpercayaan rakyat terhadap partai politik, PDIP mencoba meraih kembali kepercayaan itu dengan cara mengandeng tangan rakyat dalam aksi tolak kanainkan harga BBM. Asalannya jelas, partai hendak mengakomodasi suara-suara akar rumput. Karena alasan itulah maka setiap pemimpin daerah yang adalah kader PDIP turun ke jalan bersama rakyat. Ini strategi politik.
 
Pro-kontra kenaikan BBM tidak saja merangsek ranah ekonomi tetapi juga menyikut kandungan politik. Persoalan kenaikan harga BBM tidak saja membuat “susu bayi tak terbeli” tetapi juga membangunkan kembali birahi kekuasaan partai-partai yang selama satu dekade mandul. Di tengah kenyamanannya berbelanja, rakyat Indonesia tidak suka akan kenaikan harga kebutuhanan dan komoditi sebagai bagian dari efek domino kenaikan harga BBM. Rakyat berteriak keras bahwa pemerintah tidak membela rakyat. Gayung bersamut ketika partai politik berbondong-bondong mendukung rakyat. Partai koalisi pemerintah pun satu per satu melanggar “statuta” yang sudah mereka sepakati. Ini juga strategi politik.
 
Sekarang, kebijakan kanaikan harga BBM adalah “komoditi” politik. Sebuah aksiom lama kembali terangkat bahwa dalam politik tidak ada kawan dan lawan yang abadi, kecuali kepentingan. Dengan cara baca Marxian, “the state is an organ of class rule, an organ for the oppression of one class by another; it is the creation of ‘order’, which legalizes and perpetuates this oppression by moderating the conflict between classes” (V.I. Lenin, 1999;16). Stabilisasi kekuasaan dibangun oleh pemeritah Soesilo Bambang Yudhoyono (SBY) dan partai Demokrat dengan menggandeng partai-partai besar (Golkar, PKS, PAN dan Hanura). Koalisi partai ini menjelma menjadi an organ of class rule. Tujuannya adalah minimalisasi konflik sekaligus perkuatan lini pertahanan negara terhadap partai-partai oposisi (PDIP dan Gerindra). Akan tetapi, pola kawan-lawan itu tidak abdi. SBY dan partai Demokrat teralienasi oleh kawan-kawannya. Mengutip kata Kautsky, “it is a power alienating itself more and more from it”. Kebijakan kenaikan harga BBM menjadi komoditi bersama yang terbeli oleh kawan dan lawan pemerintah dan partai penguasa. Hal itu juga menjadi casus beli  melebarnya gelangang perang menuju RI-1 2014, bellum omnes contra omnes di antara partai politik.
 
Jika ujung-ujungnya kekuasaan, lantas rakyat pun pantas bertanya. Benarkah geliat partai-partai politik itu untuk kesejahteraan dan kemakmuran rakyat? Jawaban sementaranya adalah tidak. Titik sasar geliat lawan-lawan politik adalah tumbangnya hegemoni kekuasaan pemerintah (SBY dan Demokrat). Oleh karena itu, lawan-lawan politik itu harus menceburkan diri dalam kubangan penderitaan rakyat dan mengais amanat di dalamnya. Pencitraan berseliweran di sini dan tampak, seolah-olah, mereka sedang mengokomodasi suara rakyat. Dan rakyat lagi menjadi tameng politik. Dalam hal ini, setiap kebijakan yang tidak populis selalu melahirkan gejolak politik. Pemerintahan Megawati dan PDIP pernah melakukan kebijakan menaikan harga BMM dan mengantarkan SBY dan Demokrat merajai pentas politik tanah air. Ini realitas.
 
Akan tetapi kita pun harus melihat realitas yang lain. Kenaikan harga BBM telah membuat rakyat semakin menderita. Kenaikan harga BBM selalu linear dengan kenaikan harga-harga barang, apa pun itu; pokok maupun tidak pokok. Kasarnya, masyarakat semakin dipermiskin. Efek domino kemiskinan ini adalah kerentanan social dan penyakit masyarakat (pekat) menjamur. Kompensasi BBM kepada masyarakat miskin adalah bagian dari kebijakan pemerintah yang tidak manusiawi. Pemerintah seharusnya lebih peka terhadap kondisi ril rakyat. Pemerintah menggunakan kaidah-kaidah makro untuk mengisi matriks kalkulasi kenaikan harga BBM dan perubahan anggaran pemerintah. Teknokrat-teknokrat tampak pandai menjelaskan skema-skema matematis perhitungan kenaikan harga minyak dunia dan dampaknya terhadap anggaran pemerintah (subsidi). Persoalannya adalah data. Ada teknokrat pro-pemerintah dan ada teknokrat non-pemerintah. Setiap teknokrat punya data yang berbeda-beda dan mengklaim sama-sama valid. Sekarang raykat percaya siapa? Kita tahu teknokrat tanpa kepentingan adalah mitos. Dalam sinis a la Pierre Bourdieu, nallus assume debet in magistrum, qui sub magistro non feurit disciplus (selalu ada master lain dibelakang master). Filsuf Theodor Wiesengrund Adorno dan Jurgen Habermas sudah lebih dulu melihat bahwa ilmu pengetahuan tidak bebas kepentingan. Jurgen Habermars membagi tiga macan ilmu pengetahuan: ilmu-ilmu empiris-analitis, ilmu-ilmu historis-hermeneutis dan ilmu-ilmu kritis. Para teknokrat adalah mereka yang terbenam dalam ilmu-ilmu empiris-analitis. Tetapi celakanya mereka mengikatkan ekornya pada kepentingan-kepentingan tertentu. Inilah yang membuat informasi yang mereka berikan tidak lantas membuat pencerahan. Sekarang rakyat sudah kritis. Masyarakat kritis adalah masyarakat yang sudah tercerahkan dan tidak lagi menjadi kamping congek. Kritis itu membebaskan rakyat dan dengan caranya sendiri mencari jalan emasipatoris. Ketika proses legislasi perlemen menimbun banyak kepentingan, maka radikalisasi demokrasi rakyat adalah parlemen jalanan, demonstrasi. Demonstrasi itu sendiri adalah konsekuensi homo democraticus  (Habermas, human beings are defined as democratic beings). Demonstasi adalah sah ketika legislasi parlemen tidak lagi menyuarakan amant rakyat. Demonstrasi bisa mendesak wakil-wakil rakyat untuk lebih mementingkan nasib rakyat di atas segalanya karena vox populi vox dei.  Inilah yang kumandangkan oleh Habermas kepada masyarakat modern sekaranga ini yakni demokrasi deliberatif, sebuah demokrasi dimana legitimitas hukum tercapai karena hukum lahir dari diskursus-diskursus dalam masyarakat sipil itu sendiri.  Artinya, keputusan-keputusan yang pro rakyat dipengaruhi oleh diskursus-diskursus “liar” yang terjadi dalam masyarakat. Pemerintah tidak bisa sa karepe dewe membuat kebijakan karena masyarakat sedang mengontrolnya. Hannah Arendt menyebutnya “kekuasaan komunikatif”. Jadi, partai politik juga organ perjuangan rakyat melalui diskursus-diskursus yang dibangun dalam masyakaryat itu sendiri.
 
Mingguan Asiaweek 18 September 1995 memuat ulasan berjudul, “Beyond the profit motive: as Asians get richer, Asia needs an ethic for the wealthy”.  Seperti kalimat ini, kita boleh menulis pesan “BBM” untuk perpolitikan tanah air bahwa  “lebih jauh dari kepentingan kekuasaan; ketika partai-partai politik bertambah kaya akan kepercayaan rakyat, maka partai politik memelukan etika untuk kekayaan itu”. Filsuf Jurgen Habermas menulis etika itu adalah etika diskursus.      
 
 
Djogja, 02 April 2012
Alfred Tuname

Komentar