Cermin

Bayangan pencar menyambut terpaan cahaya. Refleksi bentuk serupa bergentayang tidak tersentuh. Bergerak mekanis searah aksi. Cermin itu utuh. Ia sedang berkisah tentang sejarah. Catatan-catatan kisah membekas pada garis-garis permukaan wajah. 

Cermin itu setia mengisah. Apa adanya dan ada apa yang tersimpan pada subjek cerita.  Subjek itu perempuan renta. Garis-garis wajah mulai membengkak.  Tonjolan dan ngarai mulai ektrim. Cermin mulai terlihat kabur di hadapannya. Cermin tidak lagi merefleksikan gambar manis di matanya. Tetapi cermin itu tidak retak pun bergradasi. 

Perempuan itu tersenyum pada selembar gambar usang. Photo tertempel di bagian atas lebar cermin. Wajah cantik menempel pada tengkorak masa mudanya. Photo usang itu diterinya dari seorang pria pemujanya. Lembar putih dibekang photo itu tertulis sebait puisi: “parasmu laksana putri di atas kencana/creatio ex nihilo/sukar didapat mahal dicari/berlaku arif dan akal bicara sempurna”. Tetapi itu di waktu dan masa yang lalu. Masa dan waktu itu,  banyak pria berbaris dan berbondong ingin mengecup manisnya. Itulah pria di saat itu. Cantik masih pilihan teratas. Mungkin itu takdir. Menjadi pria adalah takdir tetapi menjadi lelaki dalah pilihan. 

Perempuan renta itu juga tidak bisa memilih untuk terus muda dengan sejuta puja-puji atas dirinya. Muda telah menjadi dokumen usang. Semua itu hanyalah kenangan. Baginya, muda adalah perjuangan untuk mengingat.  Dia tahu bahwa everything is growing old. “Aku tua sekarang tetapi seorang putri di hari kemarin”, ia membatin untuk menghibur.

Sekarang perempuan renta itu jatuh cinta pada photo itu. Photo di masa mudanya. Ia tidak suka lagi pada cermin. Cermin membuatnya tampak layu. Berbeda ketika ia seorang yang ayu, ia jatuh cinta pada cermin. Sepanjang masa muda, ia terpikat pada cermin. Cermin lebih setia memujanya saat itu. Dan ternyata, pria itu sama seperti cermin. Pujaan hanya mengalir ke genangan masa muda, hanya pada seorang putri muda. Pria beristri menyangkal istri lantaran pikat seorang putri. 

Setitik cahaya pagi menembus ruang. Sinar setitik memantul dari guta kening antara dua alis matanya. Cahaya itu seperti bindi berwarna merah pada perempuan-perempuan Hindustan. Senyum terlukis kembali di bayangan cermin. Kearifan terpencar dari titik itu. Perempuan renta itu merasa kecantikan masih melekat padanya. Kecantikan tidak datang dan pergi, tidak berkembang pun layu, di mana pun  dan sampai kapan pun. Ia mengingat kata filsuf Plato,” kecantikan adalah sesuatu yang tidak dapat dilihat bentuknya dari wajah, kaki, tangan, tubuh dan dari segala sesuatu yang berbentuk daging”. Dan ternyata kecantikannya masih terlelap ketika ia terlalu sibuk mencari kecantikannya di balik polesan-polesan yang ia sendiri tidak pernah tahu polesan itu terbuat dari apa.  

Bibir yang menawan bukan pada senyuman pun ciuman, tetapi pada kata-katanya yang indah. Di petak mata, cara ia memandang dunia, kecantikannya terletak. Perempuan renta itu tak ingin lagi memandang cermin. Cermin membuat pandangannya kabur. Lalu ia membungkus cermin itu dan membuatnya ke dasar sungai. “Bersemayamlah dengan tenang di tempat asalmu”, katanya kepada cermin itu. 

Djogja, 16 Desember 2011
Alfred Tuname

Komentar