Teror yang paling menakutkan pada saat perang adalah teror sniper. Sniper itu sendiri merupakan pembunuh berdarah dingin. tembakannya jarang meleset. Dalam film Enemy at The Gates(2001) garapan Jean-Jacques Annaud, sniper adalah seorang tokoh jagoan sekaligus pahlawan yang membangkit semangat nasionalisme dan patriotisme bangsa Russia menghadapi gempuran Nazi German. Aktor Jude Law berperan mengesankan sebagai Vassili Zaitsev, sniper Rusia hebat saat itu. Propaganda kehebatannya menimbulkan ketakutan tersendiri pasukan infantri dan panzer German. Tetapi sniper hanya boleh beraksi pada saat perang. Prinsipnya, membunuh sebelum dibunuh.
Sejarah bunuh-membunuh yang melibatkan sniper juga bertebaran di negara kita. Peristiwa pembunuhan ala sniper itu ada dalam catatan tragedi bangsa ini, entah hanya sebatas diary tak dianggap atau pun sebagai catatan tragedi memorial. Sebagai diary tak dianggap karena peristiwa itu hanya berita abu-abu yang enggan (takut) diusut. Publik lantas mengoceh, “masa jeruk makan jeruk”. Sebagai catatan tragedi memorial karena masih ada orang yang peduli terhadap hak asasi manusia (freedom from fear). Siapa saja bisa jadi korban penembakan itu. Oleh sebab itu perlu ada catatan sejarah. Sejarah kelam yang tidak pantas untuk terjadi kembali. Harapannya, Geschichte ist einmalig. Tragedi itu berhenti dan tidak berputar kembali.
Tembang tragedi lama itu ternyata terus berputar. Harapan bertepuk sebelah tangan. santer sniper terdengar saat tragedi “petrus” (penembakan misterius). Teror penguasa terhadap rakyat merebak saat itu. Banyak pemuda mati terkapar. Hanya karena tatto di badan, mereka menjadi sasaran bidik. Jelasnya bukan karena tatto semata, ada rasionalitas “gila” dibelakang tragedi petrus itu. Setelahnya kita mendengar lagi kata petrus alias sniper itu pada tragedi penembakan Nasrudin Zulkarnaen yang melibatkan mantan ketua KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi), Antasari Ashar. Kejanggalan demi kejanggalan tidak berhasil mengungkap adanya sniper sebagai penembah tulen sebelum penembakan oleh preman. Uji balistik menjadi mentah. Sekali lagi publik berkata, kalau maling memeriksa maling hasilnya pasti seperti baling-baling, memusingkan. Lalu muncul kembali. Kali korbanya adalah masyarakat Lambu, Bima, NTB. Diagnosa luka tembak pada tubuh dua korban tewas mengindikasikan tembakan sniper. Ada luka tembakan menembus dada dan luka tembakan bagian lengan tembus ketiak. Kita pasti yakin kisah tragedi penembakan sniper ini akan berlalu bagai angin tanpa tindakan hukum yang pasti. Hilangnya seperti lenyapnya sniper di semak-semak dataran tinggi Sape. Penembakan seperti ini juga sedang terjadi di Aceh dan Papua.
Sepertinya catatan sniper adalah derai luka dan darah rakyat. Lalu mengapa rakyat hanya menjadi sekawanan binatang di ujung tropong bidik seorang sniper? Bukankah senapan laras panjang seorang sniper dibeli dengan uang rakyat dalam pajak dan retribusi? Senapan itu justru digunakan untuk membunuh rakyatya. Ternyata benar kata Friederich Nietzsche (1844-1900) bahwa “the best weapon against an enemy is another enemy”. “Another enemy” karena ia membunuh tuannya sendiri. Sementara sniper itu sendiri adalah seorang profesional seperti robot profesional lainnya yang isi di balik topi bajanya hanya berkata yes, sir!!! kepada komdannya.
Sniper berkerja atas perintah. Sniper adalah piaraan komdan yang tentu saja bertalian sengkarut dengan penguasa. Karennya mengusut tuntas tindak krimanal sniper adalah amat sulit. Persoalannya begitu kompleks. Jika itu benar-benar terjadi maka dampaknya akan sangat sistemik. Cara kerja sniper adalah cara kerja militer jadi mana mungkin pengadilan militer menindaklanjuti tindak kriminal luar biasa ini sebab itu artinya membakar rumah sendiri.
Itulah kisah tragedi rakyat bangsa ini. Penguasa semakin semena-mena terhadap rakyatnya sendiri. Ternyata teror yang paling kejam justru berada di balik gerbang gedung-gedung pemerintahan. Hak rakyat semakin diinjak-injak oleh sepatu bot pemerintah. Perjalanan kemanusiaan rakyat Indonesia seakan mengalam deadlock. Rakyat tidak lagi menemukan daerah kebebasan, wilayah ekspresi dan ruang kreasi. Rakyat ditarik paksa ke ruang interogasi di masa silam. “Tiba-tiba”, seperti kata filsuf Jean Baudrillard, “muncul sebuah tikungan di jalan, sebuah titik kembali. Di suatu tempat, panorama yang riil menghilang, panorama di mana Anda masih mempunyai aturan untuk bermain dan pegangan tempat bergantung”. Di ujung tikungan jalan itu, penguasa menyuguhkan kembali sejarah kelam, tragico-katastrof. Tragedi yang beku kembali cair dan berdarah. Penguasa memberi kita buku-buku pelajaran sejarah dan tembang-tembang lama sementara mereka sendiri tak pernah mau belajar dari sejarah. Monumen dan catatan sejarah pun hanya sebagai komoditas nihil nilai. Lalu l’histoire se repete. Suguhan itu terjadi di depan mata. Sejarah kita pun menjadi grafik seismograf tragedi. Jika Baudrillard berasumsi “sejarah itu sendiri tidak lenyap, ia hanya dalam tidur panjang, dalam keadaan koma”, maka mari berjuang untuk mengakhiri catatan tragedi dengan titik sehingga hanya ada catatan commedia, sejarah kebebasan. Kita adalah bangsa yang besar sebab kita belajar dari sejarah. Kita belajar untuk terus mengais momen-momen emansipatif. Awas ada sniper.
Djogja, 04 Januari 2012
Alfred Tuname
Komentar
Posting Komentar