Tugu Djogja


      : Djogja pro-penetapan

Malam sudah meraung-raung di iringan pepohonan. percik-percik berair mulai meranggas di ranting-rantingnya. Mereka datang dan pergi membersihkan debu. Dan  ada apa di ruas-ruas jalan selain sepi mengemis dar-der-dor knalpot pekat. Di tengah percabanggannya, dingin memeluk phallus Tugu Djogja. Kadang ada kilatan cahaya yang menghisap kulitnya. Tangan-tangan kecil, bersih dan kotor, meremasnya. Mencoba mereka hangatkan simbol itu.

Alas radial phallus itu terus dibersihkan tangan-tangan kecil. Mencukur dan menata lingkaran waktu demi waktu. Manusia datang dan pergi di sana. Ada yang mengkultuskannya dan juga sekadar mengkultuskannya. Manusia itu dikenal dan juga tak dikenal. Tetapi, mereka semua berpaduan koor pada koordinat itu. Ada klimaks kesenangan dan bangga setelah memandang rayu, meremasnya dan mengabadikannya. Ada rasa istimewah di sana.

Energi phallusentrik Tugu Djogja terus menanjak. Tetapi, ada germo-germo mandul dengan tangan tak kelihatan merayunya ke dalam keremangan. Mereka lantas memaksanya bersetubuh dengan perempuan berdiamter lebar dan terus lapar. Germo itu mengikat dan merias Tugu Djogja di ruang sempit Demokrasi. Matanya dilekatkan dengan kaca mata berlensa hijau. Dalam kaca mata itu, sekonyong-konyong perempuan berdiameter itu tampak laksana Nyi Roro Kidul dengan makhota bertuliskan “USA” di kepala. Tugu Djogja tidak merasa ereksi. Seperti gasing, ia bergerak di tempat.

Jutaan tangan kecil sontak berontak. Ruang sempit Demokrasi itu diduga adalah ruang medis yang mengebiri Tugu Djogja. Tugu Djogja adalah simbol istimewa. Keistimewaahnya adalah kekuatan yang membujuk sekaligus merangkul. Seraya berteriak patriotik primordial, anak-anak dan ahli waris Tugu Djogja meminta, kembalikan Tugu Djogja pada keistimewaanya. Tetapkan ia di tempatnya yang semula. Ruang sempit Demokrasi hanya bisa membuatnya tidak merasa aman. Di dalam ruangan itu, terlalu banyak dokter yang memegang pisau dan perempuan berdiameter itu akan mengambil semua keistimewaan benihnya.    

Phallusentrik Tugu Djogja masih tetap berdiri tegak. Banyak tangan terus menupangnya meski di kedingan malam. Tanah istimewa masih ia tempati. Tugu istimewa itu tetap dan selalu membuat banyak orang merasa nyaman.

Djogja, 14 September 2011
Alfred Tuname

Komentar