Mengapa Malam???

“I am nothing but the point where the system, or the Symbolic, speaks”
(Tony Myers, 2003)


Malam menjadi waktu yang momen yang baik mendengarkan musik bergenre blues. Blues menembus prisma sanubari. Ia meremas jiwa dan membuka kotak-kotak pikiran yang sudah bertahun-tahun membungkusnya dalam aturan ini dan itu. Blues pun terdengar bagai mantra yang memanggil-manggil entah apa pun siapa. Itu terjadi karena kesendirian menekuni diri sendiri.

Diri menekuni diri sendiri seraya menenun diri berdasarkan benang-banang pikiran dan tongkat-tongkat jiwa. Malam dan blues membantuku merapikannya. Perangkat  abstrak malam dan getar blues hanya sebagai prangkat-sarana sebab aku sendiri yang beraksi. Diri sendiri beraksi (menenun diri) sebab ia sering kali lupa pada diri sendiri. Lantas diri itu mau menemukan bayang-bayang diri yang belum tersimbol. Selamanya, diri selalu tak berbentuk sempurna. Di ruang kesendirian, diri hendak dibentuk dari kehilangannya dalam proses pembentukannya yang tak pernah paripurna. Malam telah menatahkan cermin sehingga diri dapat dipandang dalam multi paralaks. Paralaks melahirkan bagitu banyak dimensi refleksi rupa indah dan rupa buruk. Tetapi partikularitas refleski rupa-rupa itu hanya bisa ultimum jika dicangkul dalam universalitas penenunan diri. Tentang ini, aku teringat pada filsuf F.W.J. Schelling. “Any organic whole is not made up of two complementary halves,...but is rather composed of these two halves plus a double supplement that disturb the orgnic whole”. Kumpulan rupa indah dan buruk berikut patahan-patahannya turut membentuk keutuhan diri dalam ke-tak-utuhan-nya.

Karena ke-tak-utuhan itu, diri selalu merindukan malam dan blues. Ia memanggil-manggil malam setelah kelumpuhan dan kemandulan diri menghadapi realitas siang. Realitas siang diatur oleh hantu-hantu multiplikasi simbol yang terus diberondong oleh kekuatan yang bernama monster ideologi. Ideologi sudah tercelup malu-malu dalam otoritas negara. Maka lahirlah notasi-notasi yang terekstraksi dari ideologi melalui negara. Terdapat notasi keadilan, integritas, kebebasan, transparansi, sukses, indentitas, dan bla-bla-bla. Di sana pula terdapat ruang politik, pasar, sosial, budaya dan sebagainya. Lalu atas keharusan notasi-notasi itu, diri manusia di tempat dalam ruang yang sudah di siapkan. Dalam kotak ruangan itu, diri manusia menjadi animorf (object) kebingungan yang mencoba memainkan notasi atas bacaannya sendiri. Pengkhotbah (animorf) tersimbolisasi dari khotbahnya. Nominasi politisi handal diberikan kepada diri yang berkoar-koar tentang sengkarut kekuasaan meskipun sebenarnya “politisi” itu sedang lapar, lapar dan lapar. Nominasi pebisnis, usahawan sukses diberikan kepada diri yang bekerja robotik meski sebenarnya hanyalah diri represif yang tampil narsis-eksentrik. Nominasi pengadil yang berani diberikan kepada pemilik kursi “meja hijau” yang berjuang demi hukum meski semuanya hanyalah opera untuk membesaskan aktor yang siap menaruh alas kursi dengan setumpuk “kertas” bernilai intrinsik. Nominasi duta budaya diberikan kepada diri pegiat kebudayaan yang tekun dan kreatif pada identitas meski hanyalah aksi performatif dan komersialisasi budaya (de-kulturisasi). Dan terdapat banyak nominasi gagah-gagahan lainnya. Diri menyadari itu dan tentang semua itu. Tetapi diri sudah menjadi cynical subject sebab sudah terjebak cynical attitude Sloterdijkian (filsuf Jerman Peter Sloterdijk), “they know very well what they are doing, but still, they are doing it”. Pembenaranya ada pada formulasi filsuf Slovenia, Slavoj Žižek, “the ideological illusion lies in the reality of what we do, rather than what we think”.          

Negara sudah menyiapkan “neraka” bagi diri yang keluar pagar kodifikasi ideologi. Diri itu kemudian di-de-kodifikasi sebagai pengkhianat. Panti rehabilitasi, rumah sakit dan penjara atau bahkan “liang 1X2 meter” disiapkan bagi pengkhianat itu. Stigmanya adalah penghianat ideologi lahir dari kegilaan (madness). Jadi, pengkhianatan berarti kegilaan. Padahal, jalan “kegilaan” itu adalah jalan emas diri terlepas dari penanda-penada ideologi dan menjadi subjek tulen; subjek yang bukan lahir dari subjektivikasi bentukan petak narasi-narasi besar. Subjek itu adalah subjek Lacano-Descartesian, ‘i thinks, therefore, i am’ as ‘i think where i am not, therefore i am where i do not think”.

Lalu, di rapatan sekat-sekat malam, diri yang berpikir (cogito) membaca kembali dogma-dogma yang tersirat selintas dalam esai, prosa dan puisi. Tafsiran bermain-main di atas lanskap subject of the enunciated dalam guratan catatan itu. Semua pertanda ideologi menari-menari di atasnya. Subject of the enunciation mengankat sesuatu yang simptomatik dalam katastrofik pun phantasmatik catatan. Itulah ke-tak-utuhan diri; diri yang mencoba berpikir sebebas mungkin dalam batasan bahasa dengan pagu sintaks dan tata bahasa. Cogito berkomunikasi dengan ke-tak-utuhan diri melalui agen representasinya di ruang malam dan lagu midnight blues. Ada  yang selalu tertunda dalam cogito, karenya semakin banyak malam dan blues yang dihasrati. “Che vuoi?”, tanya malam. Malam bisa menghilangkan fantasi dan memberi kesempatan pada blues.

Djogja, 18 September 2011
Alfred Tuname      

Komentar