Kemesraan Politik

Orang-orang yang menempati lembaga eksekutif dan legislatif adalah hasil dari sebuah proses politik yang panjang. Lembaga itu sendiri adalah lembaga politik. Sebagai lembaga politik, para pejabat politiknya “berjuang” secara politis untuk menghadirkan bonum communae dalam ruang kehidupan masyarakat. The possibility of political struggle is struggle with justice. Pejuangan (struggle) mengandaikan sebuah kondisi dalam perbedaan tetapi bertemu pada sebuah titik yang sama. Perangkatnya adalah keadilan (justice). Politik selalu menghadirkan perbedaan kepentingan dengan interpretasi keadilan yang (mungkin) jarang objektif. Lalu dimanakan perjumpaan yang mesra dalam politik?

Tulisan ini berangkat dari berita media Pos Kupang pada tanggal 04 Agustus 2011. Judul besarnya adalah “Pemerintah dan DPRD Harus Mesra”. Diberitakan Ketua Bandan Anggaran DPR RI, Melkias Mekeng, di depan dosen dan para pegawai Unipa Maumere mengatakan “jangan berbicara yang tidak berguna untuk masyarakat dan saling menjatuhkan satu sama lain. Jika tidak ada kemesraan maka akan berdampak pada program kepentingan masyarkat Sikka tidak dilaksanakan dengan baik. Bangun kemitraan sehingga masyarakat jangan dirugikan”. Sekilas pernyataan Melkias Mekeng di atas bernuansa profetis. Jika ditelisik in altum pernyataan tersebut adalah pernyataan yang menimbulkan kecurigaan. Jika lembaga eksekutif dan legislatif menjalin kemesraan, kemesraan seperti apakah itu?

Art of impossibility dalam politik tercermin dalam sinisme usang bahwa tidak ada kawan dan lawan yang abadi selain kepentingan. Dalam realpolitik, itulah yang terjadi. Setiap aktivasi politis menaruh kepentingan di atas segalanya. Dalam hal ini, kepentingan pribadi berada pada puncak prisma kepentingan. Kepentingan keluarga dan masyarakat banyak mengikutinya. Frame kepentingan itu adalah kehormatan. Jauh-jauh hari Montesquieu sudah menulis bahwa “honour makes all parts of yhe body of politic move; its very binds them, and each person works for common goods and believing he works for his individual interest”. Retorika Montesquieu ini bertalian dengan realitas kontestasi politik kekinian. Bahwa ujung-ujungnya adalah kepentingan pribadi. Anak muda Slank lantas berteriak “... ujung-ujungnya duit”.   

Sudah menjadi rahasia umum, tumbal politik adalah rakyat itu sendiri di balik “ujung-ujungnya duit”. Kemesraan politik dual lembaga negara, eksekutif dan legisalatif, pun haru dicurigai sebab ujung-ujungnya bakal spektakuler. Kemesraan itu boleh jadi diterjemahkan sebagai kongsi. Sejatinya masing-masing lembaga tersebut berperan sebagai “kerajaan (king)” yang bertugas melaksanakan amanat rakyat dengan fungsinya masing-masing. Mekanisme di antara “kerajaan” itu adalah checks and balances. Checks and balances itu sendiri adalah bagian aktivasi kontrol atas tugas dan kewajiban. Setiap lembaga memang harus berbicara dalam frame checks and balances. Tidak ada yang dirugikan sebab semata untuk kepentingan dan kebaikan bersama (bonum communae). Klaim saling menjatuhkan adalah bagian dari mispersepsi dan ketidakdewasaan politik.

Mekanisme checks and balances akan menguap dengan sendirinya dalam kemesraan politik. Kemesraan politik akan menjadi “antitoksin” politik itu sendiri. Politik tanpa politik. Dalam istilah filsuf Slavoj Zizek, decaffeinated politik. Analoginya, coffee without caffeine, meat without fat, beer without alchohol. Adalah suatu kejanggalan politik bila jalan politik tidak ditapaki dengan manuever-manuever politik yang subtansial. Sementara, politik itu sendiri adalah medan perjuangan emasipasi. Politik menjadi medan perjuangan emasipasi karena politik menjadi pilihan utama untuk melepas belenggu-belenggu yang mendegradasi nilai-nilai kemanusiaan.

Lalu, rakyat berperan sebagai apa dalam kemesraan politik itu? Rumus kalkulus yang boleh ditawarkan dalam kamus saku kemesraan politik adalah “king x king = kong x kong” (king dikali king sama dengan kong kali kong). “Kong kali kong” politik di antara lembaga negara akan melahirkan kebijakan yang tidak pro rakyat. Rakyat di-anaktiri-kan. Dalam proses ini, rakyat bukan lagi sebagai tujuan tetapi hanya sebagai alat. Muslihat ini terjadi karena kepentingan politik berselingkuh dengan kepentingan pragmatisme ekonomi sekelompok orang.

Demokrasi pun hanya tegak sebagai panji dan jargon. Sekelompok orang justru membungkus wajah buruknya di balik manisnya panji dan jargon demokrasi. Realitas demorasi politik kita semakin mendekati,  seperti kata Hans Kelsen, “democracy is a fatherless society”. Lantas, masing-masing kelompok berkuasa bersepakat untuk merebut dan mensabotase warisan. Para “king” sudah ber-“kong kali kong” di kamar gelap. Di hamparan terang, rakyat sedang memakan nasi aking. Jerit mereka hanya terdengar samar-samar di kejauhan, seperti jelas Dwi Klik Santosa dalam pengantar buku teater “Mastodon Dan Burung Kondor” karya Rendra,”... dimana  jerit tangis rakyat seperti ibarat jerit burung-burung kondor yang gamang dalam mencapai makna karena terbelenggu oleh asas pembangunan yang munafik dan tirani”. Sampe hati!!!

Djogja, 01 September 2011
Alfred Tuname

Komentar

Posting Komentar