PORNO PRAGMATIK”: SURAT SUDAH TERBUKA

(Surat balasan untuk sahabat Marcelus Ungkang)


Dalam sepintas kenangan, surat “kores” seminarian sering kali tertulis pantun laconic, “4x4=16”: sempat tak sempat harap dibalas. Dengan tulisan ini, saya pun bermaksud melayangkan surat balasan terbuka untuk sahabat kita Marcelus Ungkang. Kebetulan ada kesempatan itu. Sahabat Marcelus Ungkang mengajak kita saling bersuratan secara terbuka. Maka mekarlah surat terbuka dan surat itu sudah terbuka (terbaca).

Dalam sebuah uraian, penulis Frans Anggal pernah menelurkan sebuah frase, “porno diksi”: sebuah diksi yang tertutup (ketat) tetapi sebenarnya menonjolkan. Ilustrasinya adalah pakaian perempuan atau laki-laki yang tetutup ketat tetapi justru menonjolkan suatu bagian dari tubuhnya. Secara lancang, saya pun mau menamakan surat terbuka sebagai “porno pragmatik”. Surat lazimnya ditulis dan dikirim secara “tertutup”. Sahabat Marcelus Ungkang pun menuliskan keterangan singkat pada cacatan kaki suratnya bahwa, sebenarnya, suratnya dialamatkan kepada seorang sahabatnya. Tetapi surat dilayang untuk kita, facebookers. Surat pun terbuka untuk publik. Kita membaca dan mencoba menghubungkan setiap tanda yang mencuat dan interpreter-interpreternya. Kita sedang “mengintip” surat privat yang terbuka secara publik. Inilah “porno pragmatik”. Tetapi sudahlah kawan, ini hanya sebuah penamaan yang lancang yang tak perlu kita perdebatkan. Saya hanya gemar bermain-main dengan diksi dan leksia.

Nah, mari kita kembali pada tulisan Marcelus Ungkang, “Soal Jarak Kultur”. Dalam pembacaan subjektif saya, melalui uraiannya, Marcelus Ungkang sedang mengoret-ngoret setiap tanda dalam kultur Manggarai.  Berbasis sangkar logika deduktif, lahirlah premis mayor bahwa terdapat jarak kultural (cultural gap) dalam kultur Manggarai. Jarak itu terjadi pada generasi berbeda; generasi tua dan muda. Antesenden-antesendennya terurai secara clara et distancta. “tetapi itulah realitasnya”, demikian kata sahabat Marcelus Ungkang.

The question is what is that reality?  Hulu apa yang membawa keberjarakan itu? Saya melihat realitas an sich bertalian dengan kebenaran universal, universal truth Žižekian (the most dangerous philosopher in the West, Slavoj Žižek). Universal truth is accesible only through a very partial (non-partial) and angaged standpoint. Bahwa lekatan kultur pada generasi tua dan muda adalah sebentuk parsialitas kultur yang membentuk universalitas kultur Manggarai. Kultur Manggarai hanya bisa diterima dari setiap konstruksi parsialitas kulturnya. Demikianlah realitas. Jadi sebenarnya, jarak kultural itu non est, tidak ada. Jarak kultural, menurut saya, hanyalah prasangka purba yang terus menghantui setiap generasi. Dan setiap generasi punya pakemnya masing-masing. Setiap generasi memiliki “logikanya” sendiri yang mungkin susah dimengerti oleh “logika” lain. Kekayaan kultur pun mekar dari setiap kembang kultur yang berbeda itu.

Lalu, berbicara soal generasi, kumpulan kita terdiri dari generasi tua dan generasi muda. Saya dan Anda boleh ditahbiskan sebagai generasi muda. Saya kira, kita sepakat dengan ini.  Di pundak kita, ada kultur yang terwariskan. Dalam benang primordial, kultur itu adalah kultur Manggarai. Kultur Manggarai yang melekat pada kita adalah, mengutip penyair Prancis, René Char, “notre heritage n’est precede d‘aucun testament” (warisan ditinggalkan kepada kita tanpa surat wasiat). Kultur kita lahir dari rahim yang sama, Manggarai. Dan kita pun adalah anak kandung kultur Manggarai.

Ketika kita sebagai anak, kita sudah tercelup dalam warisan universalitas kultur Manggarai. Bawaan kultur tersebut masih melekat tetapi tentu dengan aklamasi logika kita sendiri. Lantas, sebagai anak pula, kita menerjemahkan kultur itu dari proses mimesis dan diegesis dalam narasi-narasi budaya yang terbaca. Sahabat Marcelus Ungkang menyebutnya dengan teks. Ini adalah sebuah pendekatan filsafat bahasa Derridian (dari filsuf Prancis Jacques Derrida). “dunia” kultur Manggarai adalah sebuah teks. Setiap generasi membaca teks sama, hanya saja dengan “gramatika” yang cenderung berbeda. Karena perbedaan “gramatika” tersebut maka kita jarang pernah menemukan “bahasa bersama”. Optimisme kita hanya bisa berhenti pada sikap afirmasi; menerima semua partikularitas dalam konstruksi universalitas kultur Manggarai. Analoginya, setiap ada kelahiran baru pasti ada ari-ari yang harus dikuburkan. Dan setiap anak pasti berbeda dengan orang tuanya.

Aha, sahabat Marcelus Ungkang menulis “sejarah memang bukan suatu kontinuitas, melainkan diskontinuitas: retakan atau patahan”. Saya melihatnya sedikit berbeda, kawan. Sejarah terus berjalan maju membayangi aras “Being and time”. Dalam konteks kita, kontinuitas sejarah kultur Manggarai berjalan maju dalam setiap diskontinuitasnya. Boleh jadi prosesnya saling berkelindan dalam logika Hegelian, dialektika. Ada kontruksi, dekonstruksi, rekonstruksi dan konstruksi dan seterusnya. Yang mungkin kita perlu khawatir adalah bukan pada jarak (gap) tetapi, meminjam terma Sigmud Freud, Unbehagen in der Kultur: the discontent/unease in culture. Inilah kekhawatiran bersama kita. “Unbehagen in der Kultur” terhadap kultur Manggarai akan melahirkan sikap eskapis yang justru meninggalkan dan menghilangkan kultur Manggarai an sich.

Kultur kita akan terus berproses dalam sirkulasinya dengan budaya lain, Other.  Proses itu berlangsung dalam sitz im leben-nya sendiri. Kita pun tak perlu meminta sang pemimpin dengan jiwa Srikandi dalam tubuh Gatot Kaca. Pemimpin adalah kita sendiri, bukan? Perubahan adalah diri kita sendiri dan melalui diri kita sendiri. Ya, karena kita adalah bagian dari kultur itu. Dan kultur Manggarai sedang berubah di dalam dan melalui diri kita sendiri. Semuanya sedang mulai karena kita sudah memulainya. Mari kita melihat keterbukaan seorang tokoh Manggarai, Dami N. Toda, “Manggarai mencari pencerahan”. Sebijaknya, tulisan Dami N. Toda tersebut mewakili pencarian pencerahan tersebut, pencerahan dalam kultur Manggarai. Kita pun tidak pernah tahu pencerahan tiba. Dalam prosesnya kita hanya bisa menyerempet dan mendekati cahaya pencerahan itu.

Akhirnya, terima kasih kawan atas suratnya. Mari kiata saling bersuratan untuk membuka dan memperbanyak perspektif. Menginggat pe’de dise empo, kudut neka hemong kuni agu kalo. Tabe.

Djogja, 21 Agustus 2011
Alfred Tuname


Komentar