Menggarami Teri Cinta

           : Ichen Jumpa

Perjalanan ini terasa begitu singkat. Pagi terbit seakan hanya menunggu siang. Lalu kemilau emas petang seakan hanya sebagai gerbang menunggu dunia gelap pekat dan dingin. Jendela rumah sudah tertutup. Kacanya yang bening sudah lembab. Siang memakan bumi dengan panas dan memuntahkan berlapis-lapis dingin di kala gelap.

Dia hanya duduk memandang keluar ruang yang kosong. Berat kepalanya membebani langkah. Derai musik jazz tak mampu memuaikan hatinya yang beku. Pensil di jemarinya tak lagi bergerak membentuk kata. Kalimat bernuansa bunga atau pun racun lenyap, ludes di pikirannya yang senyap. Kini pikirannya bagai bangkai gurun yang kering dan berbatu.

Di hadapannya ada beberapa buku puisi yang sudah ia baca. Igor Stravinsky, Anna Akhmatova, Gabriela Mistral, Wislawa Symborska, Mallarme, Charles Baudelaire dan Arthur Rimbaud. Tapi dia tak bisa menulis lagi puisi-puisinya. Kata bagai barang langka. Ilham bagai UFO (unidentified flying object) yang asing asali. Kini ia pun duduk dengan lapisan kapur pada tubuhnya. Teman-teman memandangnya bagai patung filsuf Plato. Kaku dengan tangan di dagunya.

Ada apa dengannya? Dingin malam semakin membekukan kamar. Perlahan-lahan matanya mulai mengeluarkan cairan. Mungkin hatinya sedang terasa cair. Ia sedang menggaramai cintanya yang baru muncul setangkai teri agar tak tumbuh menjadi binatang mamalia lainnya. Ia membiarkan rasa itu mengering pada kantung hatinya. Pria itu menghabiskan malam itu di kamarnya yang sempit oleh rasanya sendiri. Tak mau ia ingat apa-apa lagi. Tak mau ia ingat siapa-siapa lagi.

Ia menyulut sebatang rokok. hadirkan teman kesendirian dan membakar kenangan dalam asapnya. Pergi semua duka dan lara. Janji akan tak ada lagi sedu sedan itu. Sampai suatu saat nanti ia kembali menggaris kertas putih dengan puisinya yang baru dengan notasi balok di atasnya. Sebuah lagu cinta. Suatu hari di suatu kesempatan.

Djogja, 09 August 2011
Alfred Tuname

Komentar