Para Elite Parah

Quo mendacium publicum continuetum eo homonis ingenium submersum excitatum”*
-Adagium Latin



Membaca berita koran dan menyaksikan berita televisi tak ubahnya sedang menyaksikan teater dengan dagelan usang para elite politik. Boleh jadi ranah politik itu sendiri adalah panggung teater kalau tak ingin disebut dengan panggung akrobat. Di atas panggung, para aktornya adalah elite politik. Dan penontonnya adalah rakyat. Karena hanya diminta menonton maka rakyat menjadi pasif.

Lalu ada apa dengan elite? Etimologisnya, elit berasal dari bahasa Latin, eligere. Verba Latin ini berarti memilih. Abad demi abad kata elite mengalami penyesuaian makna. Abad 14, penggunaan kata elite berarti a choice of person. Abad 15, elite berarti best of the best. Dan abad 18, elite berarti orang-orang terkemuka yang memegang jabatan-jabatan tertentu dalam masyarakat. Sementara itu, kata elite sendiri tersebar dari negara Prancis.

Dengan mengamati dinamika elite, Vilfredo Pareto menelurkan teori elite. Pareto membagi kelompok masyarakat menjadi elite dan non-elite. elite dibedahkan lagi menjadi governing elite dan non-governing elite. menurut Pareto, sirkulasi elite terjadi ketika para elit, governing dan non-governing elite, saling cakar memperebutkan porsi-porsi kekuasaan. Ia menggunakan istilah Lion dan Fox.

Dalam konteks pentas politik Indonesia kekinian, cakar-mencakar antara elite sedang terjadi. Penggunaan istilah “cicak vs buaya” adalah varian penamaan dari pertikaian elite. Perkelahian itu akan terus terjadi hingga saat pesta inagurasi Pemilihan Umum (Pemilu). Pemilu puncak proses sirlukasi elite dan sekaligus awal dari proses cakar-mencakar yang baru.

Fantasi pemenangan pemilu 2014 adalah detonator yang meledakan kisruh elite. Merebak kasus korupsi Nasarudin dan penelusuran kembali mafia pemilu 2009 merupakan salah satu hasil kisruh buah tangan “invisible hand” elite politik. Sasaran panah adalah the end of the rulling party, partai Demokrat. Sementara itu, kabar burung dari internal partai Demokrat itu sendiri terdengar issue kemiringan rel dukungan kepada ketua partai, Anas Urbaningrum.

Sementara itu, di ranah hukum, ketua Mahkama Konstitusi (MK) Mahfud MD berseteru dengan  mantan hakim MK Arsyad Sanusi. Mahfud MD mengungkap kasus manipulasi jabatan Arsyad Sanusi untuk menjerat Andi Nurpati, mantan anggota KPU yang menjadi politisi Demokrat. Dan Arsyad menyerang balik Mahfud dengan ayat-ayat code of conduct hakim yang dilanggar Mahfud saat genderang perang “cicak vs buaya” menggelegar. Dan masih terdapat banyak kisruh yang melibatkan wajah-wajah elite.

Wajah buruk para elite tersebut paling banyak berseliweran di layar kaca. Televisi nasional dengan “kepentingan” tertentu juga sangat gemar mengekspor kekisruhan tersebut. Media itu sendiri juga merupakan bagian dari kekisruhan elite. Masyarakat modern dengan rezim simulasi yang kental dijadikan massa pasif. Masa pasif ini dicecoki banyak lakon-lakon manipulatif aktor-aktor elite.

Aksi-aksi menipulatif elite merupakan tindakan merubah warna atau bunglonisasi diri. Sebuah pembelaan diri (self defence mechanism). Hal ini terjadi karena kisruh elite yang terjadi lebih kepada konflik destruktif, aksi saling jegal, saling potong. Kepentingan pribadi dan kelompok tertentu yang dikedepankan. Semua itu berpusar pada dinasti kekuasaan dan “keamanan” sumber daya-sumber daya strategis.

Kisruh elite mengakibatkan kegamangan institusi politik. Tesisnya adalah institusi-institusi politik akan menjadi berpengaruh (can be strong) apabila para aktor (elite) politiknya menghendaki demikian. Faktanya, institusi-institusi politik hanya berperan sebagai kartu garansi posisi dan status elite. Dan elite memanfaatkan status itu untuk kepenting pribadi dan kroni. Tujuan jadi alat dan alat jadi tujuan. Akibatnya, intitusi politik berjalan pincang dan kehilangan arah. Elite pun menjadi lebih powerfull daripada regulasi bahkan konstitusi. Bunga demokrasi hanya mekar di musim pemilu dan setelahnya kembali pada praktek aristokrasi. Semua menurut kehendak elite atau istilah orde baru, “atas kata bapak”.

Secara umum, masyarakat politik membutuhkan pemimpin. Para pemimpin tersebut  secara lancang boleh disebut sebagai elite politik. Kekuasaan pun terkonsentrasi di tangan para elite tersebut. Dengan kekuasaan itu, Para elite tersebut membuat keputusan dan kebijankan major yang berpengaruh pada kehidupan politik masyarakat. Tujuannya adalah kehidupan masyarakat yang adil dan menjunjung tinggi hak asasi manusia (HAM). Dan sementara jaringan elite terbelit dan saling sikut secara machiavellian untuk kepentingan pribadi dan kroni, sampai kapan suara rakyat hanya dijadikan gelembung busa ditiup ke langit, dipecahkan dan lenyap??? Para Elite politik kita memang sedang parah, payah.

Djogja, 05 Juli 2011
Alfred Tuname

*Kebohongan publik yang terus menerus terjadi akan mengakibatkan citra kepribadiannya pun turut semakin terperosok                                                

Komentar