Demokrat: Sebuah Kalkulus Kekuasaan

“The question is”, said Humpty Dumpty, “who is the master. That is all”.
Lewis Carroll, Alice in Wonderland


Berbicara tentang politik berarti berbicara tentang kekuasaan. Tujuan politik adalah kekuasaan itu sendiri. Dan dengan berpolitik, kita sedang praktek bernegara. Artinya kita terlibat dalam aktivasi distribusi kekuasaan. Demokrasi menjadi seperangkat jalan sekaligus gugus “aturan tak teratur” untuk menumbangkan menara-menara absolutisme politik fundamental dan doktrinal. Demokrasi berhasil melenyapkan tembok-tembok tirani dan feodal.

Spirit demokrasi adalah menjamin kehidupan politik masyarkat. Dan etisnya, demokrasi itu bagian nadi kehidupan masyarakat, “dari, oleh dan untuk rakyat”. Akan tetapi perjalan demokrasi bangsa kita ini baru sampai pada fase “pubertas”. Demokrasi yang “dewasa” dan terkonsolidasi masih fatamorgana. Pubertas demokrasi terindikasi pada kekisruhan kehidupan politik. Kekuasaan politik diraih dengan kerja “visible hand” yang nakal. Praktek delikuen politik yang menganga justru cepat dan tangkas lenyap jika ditelisik. Sayangnya, bamper konstitusi kita melempem dan tidak gesit. Semua institusi negara adalah anak piaraan penguasa. Patronase masih mencengkram watak-watak kepemimpinan. Dan pada fase ini, demokrasi kita memang sudah melenyapkan forma tirani dan feodal tetapi masih “malu-malu” menerobos watak feodal patrimonial. Demokrasi kita pun menjadi, menggunakan istilah majalah The Economist, collusive democracy.

Starting point-nya adalah kekuasaan. Politik itu sendiri adalah field of power. Persoalannya adalah mempertahankan kekuasaan atau lengser. Persoalan ini sekaligus menjadi pertanyaan esensial. Segenap politisi pasti hanya mengenal satu jawaban, “survival is the number one goal of great powers”. Kalkulus kekuasaan pun direncanakan untuk mengamankan posisi atau merebut posisi.  Kalkulus kekuasaan dimaksudkan untuk quantify and qualify semua asset dan sumber daya yang tersedia. Hukumnya berpilin dalam rimba politik, survival of the fittest.

Thomas Hobbes (1928) dalam bukunya “The Element Of Law, Nature And Politic” sudah mengenal watak politik manusia. Ia menulis bahwa “... in the first place i put for a generaly inclination of all humankind, a perpetual and restless desire Power after power, that ceaseath only Death”. Politik pun menjadi semakin tidak mudah. Strategi dan intrik-intrik politik banyak digelar. For power there is no resting place. Hal ini terjadi karena “... the power of one man resisteth and hidereth the power of another: power is simply no more, but the excess of power of one above that of another” (Peter Gowan, hal. 48). Ini adalah maxim Hobbesian.

Maxim Hobbesian ini sedang melibas ruas-ruas markas the rulling party, Demokrat, akhir-akhir ini. Citra Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) akan kandas pada pemilu 2014 secara yuridis. Patronase SBY pada partai Demokrat pun lambat laun luntur. Turbulensi kepanikan mulai terasa. Sindrom post power mulai terhalusinasi dramtis. Gejolak ini melahirkan gerak, motion dalam tubuh partai. Teleologi politiknya adalah pelanggengan kekuasaan dan pemenangan pemilu 2014. Dalam pada itu, motion partai bergerak seperti amoeba. Partai seakan membelah diri dalam memperebutkan siapa yang pantas menuju RI I (satu). Perpecahan pun terjadi. Saling sikut mulai tampak. Kasus korupsi Muhamad Nazaruddin, bendahara partai demokrat, merebak. Lawan politik bergerak seperti ikan lele. Mereka bermain di air keruh. The ruling party lantas goyang, berikut penguasanya. Nyanyian Nazzarudin pun semakin memojokan partai Demokrat. Semangat konsolidasi dalam Rakornas 2011 (Rapat Koordinasi Nasional) partai Demokrat hanyalah slogan untuk meninabobokan publik, voters, konstituennya. Memang tidak dapat dipungkiri bahwa itulah politik. Bahasa adalah senjata sekaligus kipas. Fungsinya adalah mengalahkan dan menenangkan. Andrew Heywood (2004) menulis bahwa “...political conflict reflects nothing more than confusion in the use of language”. Dan mengapa konflik? Jawabannya adalah kembali pada Hobbes bahwa pada dasarnya semua manusia bergerak menuju kekuasaan. Filsuf Aristoteles mengatakan secara eufemis, man is by nature a political animal.

Sementara itu, politik itu sendiri adalah seni. “Politics is not a science...but an art”, sebuah kalimat ajaib yang pernah diucapkan oleh konselor Jerman, Bismarck. Sejumlah pakar politik menyebut politik sebagai “art of impossibility”, sebuah proses seni yang meracik ketakmungkinan menjadi mungkin. Salah racik, politik akan menjadi empedu yang harus ditelah sendiri. Seperangkat manouver politik taktis yang keliru akan meruntuhkan integritas aktor politik itu sendiri. Politik memiliki anak kandung yakni kehormatan. Teriakan Nazaruddin dari kejauhan menggumpal dan membentuk iceberg yang menghantam “titanic” Demokrat. Kehormatan para elite poltik partai Demokrat pun mulai retak. Kasak-kusuk internal partai adalah upaya menangkis seragan Nazaruddin, “the good pet” yang “goes bad”. Menangkap dan menggurung “the bad pet” tersebut adalah upaya dilematis Partai Demokrat. Kalkulus politik kian rapat. Biayanya pun berat. Salah perhitungan, pamor Partai Demokrat akan luntur. Nazzarudin adalah bendara umum Partai Demokrat. Semua file dan transaksi penting diketahuinya.

Tentu saja, politik tidak berhenti pada defenisi garis lurus “art of impossibility”. Defenisi ini boleh jadi samaran tesis Machiavellian. Teleologi ekstrim politik pada kekuasaan akan mehilangkan nilai-nilai dan etika politik itu sendiri. Dan seruan klasik konselir Bismarck mestinya diterjemahkan menjadi “art of government”- “the excercise of control within society through the making dan enforcement of collective decisions” (Andrew Heywood, hal. 5). Akuntabilitas dan partisipasi menjadi spirit utama dalam proses ini. Kolektivitas pun hanya bisa terjadi apabila ada akuntabilitas dan partisipasi substansial. Semua proses ini dimaksudkan untuk mengontrol benalu-benalu politik yang koruptif dan kolusif.

Djogja, 27 Juli 2011
Alfred Tuname

Komentar