“yang tidak aku sukai adalah praktik-praktik yang
menunggangi partai-partai politik untuk memperkaya
diri atau untuk melampiaskan ambisi-ambisi
perseorangan yang lobatama”
(Bung Karno)
Gracias por tu carta! Ini adalah sebuah ungkapan terima kasih kepada seseorang yang memberikan surat. Subjek penerima suarat (adresse) mengharapkan surat itu berisi sesuatu yang “full of grace” untuk perubahan hidupnya. Sejak manusia mengenal tulisan, surat menjadi media komunikasi penting dalam kehidupan privat maupun publik. Dalam dunia privat, seorang bisa saja menulis surat kepada seorang habibti (beloved one). Tentu saja, karena suratnya bersifat privat maka isinya juga privat, off the record. Dalam dunia publik, surat-menyurat terjadi di antara instansi-instansi publik. Surat yang bersifat publik biasanya sebagai perwujudan komunikasi antara pemerintah dan pihak yang diperitah (rakyat). Surat ini lebih cenderung monologis daripada dialogis. Ada pun surat yang bersifat swasta. Surat ini bersifat komunikasi bisnis.
Pada masa pra-orde baru, sebuah surat fenomenal yang mengawali kekuasaan super Soeharto adalah supersemar. Surat perintah 11 Maret 1966. Surat ini berisi penugasan kepada Soeharo untuk menjamin keamanan, ketenangan dan keselamatan Presiden Soekarno. Surat ini disalah gunakan oleh Soeharto dan melegistimasi dirinya sendiri untuk bertindak “sakarepe dewe” dan sekaligus dipakai sebagai surat pelimpahan kekuasaan. Mandat militer pun berubah menjadi mandat politik. Soeharto pun mengkudeta Soekarno. Hingga sekarang, supersemar belum diberikan kepada Badan Arsip Nasional. Surat tersebut belum diketahui keberadaannya.
Masa orde baru lebih parah lagi jika kita bicara soal surat. Setiap pernyataan “bapak” Soeharto adalah perintah. Pernyataannya sekejap bermetamorfosis menjadi surat. Surat sakti. Dengan prefis “kata bapak”, semua perkara diatasi tanpa perkara. Seperti mafioso Don Corleone, Soeharto makes an offer, and nobady could refuse it. Dan, seperti pernyataan Bonasera dalam Film The Godfather, “for justice, we must go to Don Corleone” (Soeharto).
Masa sekarang, post orde baru, surat sudah masuk dalam kerangkeng print capitalism (kapitalisme cetak). Print capitalism adalah segala sesuatu yang “berurusaan dengan bisnis kata-kata, bisnis bahasa-bahasa...” (Frans M. Parera, dalam Kompas, 2007, hal. 20). Kemudian sayap lain dari Print capitalism adalah “bisnis perbankan, perkreditan, bisnis pinjaman dan utang...” (idem). Di sini, kata adalah kurensi tersendiri. Nilainya sama dengan uang. Berkaitan kata sebagai kurensi, surat adalah setumpuk uang. Nilai uang dalam surat selain memiliki fungsi ekonomis, ia juga memiliki fungsi sosiologis dan politis.
Mari kita lihat surat edaran yang dikeluarkan oleh Gubernur Jawa Timur Soekarwo tentang pembersihan prostitusi Jawa Timur. Surat tersebut kemudian direspon sebagai surat edan. Rencananya, pemerintah Jawa Timur akan mengurangi tempat prostitusi, lokalisasi, secara berangsur-angsur hingga 2013. Lokalisasi terbesar di Asia Tenggara, Dolly, pun siap-siang guling tikar dan angkat tempat tidur. Meski mendapat resistensi, pemerintah tetap mempertahankan keputusannya. Alasannya sesusai dengan perda, padahal perda itu sendiri sedang bermasalah. Dalih pemerintah terkesan klasik. Lokalisasi menjadi sumber penyakit masyarakat. Alasan ini adalah alasan yang “dibuat-buat” karena kebijakan ini lebih cenderung politis.
Prostitusi merupakan fenomena sosial yang selalu hadir dalam setiap zaman. Karenanya, bisnis prostitusi selalu menjadi bisnis yang menggiurkan. Seks seperti pakaian, selama orang masih memakai pakaian, bisnis pakaian pun tak pernah sepi. Begitulah prostitusi. Semakin keras peraturan terhadap prostitusi, prostitusi akan semakin remang dan meningkat. Dengan perspektif foucauldian, perda pelarangan prostitusi merupakan perangkat kekuasaan untuk mengontrol individu. Bahkan kekuasaan mengontrol individu sampai pada kenikmatan-kenikmatan yang paling intim. Kekuasaan mau mengukur kepatuhan individu sampai pada taraf yang paling privat. Artinya kekuasaan mendapati orgasmusnya sendiri setelah mengontrol perilaku individu terhadap perangkat aturannya. Dalam kaca mata Foucault, sasaran kekuasaan itu adalah tubuh.
Pertanyaannya, apakah penyakit (jika itu penyakit) masyarakat akan tersembuhkan jika lokalisasi ditutup? Ternyata tidak. Kebijakan penutupan tempat prostitusi sama seperti menekan sebentuk silikon. Penetrasi silikon akan menggelembungkan sisi yang lain dari silikon tersebut. Penutupan Dolly, misalnya, akan mengakibatkan magnitudo penyebaran prostitusi ke berbagai tempat. Bahkan bukan saja di hutan-hutan yang remang dan sepi, tetapi juga dekat dengan rumah keluarga dan bahkan kantor pemerintah dan dewan. Lebih parah lagi jika terjadi eksodus besar-besaran ke daerah lain. Karena “supply” akan selalu ada selama “demand” ada. Artinya, penutupan lokalisasi tidak berpengaruh signifikan terhadap praktek prostitusi. Solusinya jelas tidak pada penutupan lokalisasi tetapi dengan berbagai alternatif kebijakan yang menanamkan budi pekerti. Salah satu diantaranya adalah peningkatan kualitas pendidikan nilai.
Satu hal lagi yang berkaitan dengan surat edan adalah surat keputusan KPK (Komisi Pemberantas Korupsi) terkait pencekalan M. Nazzarudin, politisi Partai Demokrat, dalam dugaan kasus korupsi wisma atlet Seskemenpora. KPK mengeluarkan “surat cegah” kepada Nazzarudin untuk bepergian keluar negeri pada tanggal 24 Mei 2011. Sementara Partai Demokrat “mengizinkan” bendahara umum Partai Demokrat itu ke Singapura pada tanggal 23 Mei 2011. Itu berarti Partai Demokrat sudah tahu akan adanya “surat cegah” tersebut dan sengaja menyuruh Nazzarudin ke luar negeri untuk menyelamatkan gonjang-ganjing berkuasa itu.
Karena kasus ini merembes pada ranah politis maka “surat cegah” pun bernuansa politis. Ada permainan bawah tanah antara partai berkuasa itu dengan KPK. Artinya, KPK tidak lagi komisi yang independen. KPK turut bermain dalam kasus yang menggoyang partai berkuasa itu. KPK sebagai komisi yang punya integritas saja harus terpaka tunduk, apa lagi Satgas Mafia Peradilan. Satgas hanya berfungsi aktif ketika kasus korupsi mendera lawan politik partai berkuasa. Sekarang, Ketua Dewan Pembina Partai Demokrat, Susilo Bambang Yudhoyono, ternyata berdiri paling belakang untuk melawan korupsi. Dan ketika partai berkuasa itu bermain mata dengan komisi yang punya taring untuk “menghajar” para koruptor, kepada siapa lagi rakyat harus berharap akan praktek pemeritahan yang bersih? Ribuan komisi tidak akan berguna jika tidak mengabdi pada rakyat dan keadilan. Mungkin salah satu cara untuk melawan surat edan itu adalah spanduk besar yang bertuliskan “TURUNKAN PENGUASA KORUP” dalam sebuah long march dan revolusi rakyat. Kata Soekarno, “...bersama kita akan ganyang segala kesulitan. That’s what the revolution is for!” Revolusi sebab elit salalu gaduh dan pemimpin tidak pernah berteman dengan kesunyian untuk memikirkan rakyatnya.
Djogja, 16 Juni 2011
Alfred Tuname
Komentar
Posting Komentar