Lanur Kepada Timung Te’e1

fur: so

Sebelum banjir sore nanti, aku ingin cepat-cepat menyebrangi sungai ini. Aku ingin ke rumahmu. Rumah di sana kau tinggal. Rumah di seberang sungai ini. Tak ada harta yang kubawa. Tak ada sekarung siri. Tak ada seikat jagung. Tak pula kubawa tuak dalam tabung bambu. Aku pun hanya berjalan tanpa kasut di kaki. Aku tak ingin meminjam punggung seekor kuda sebab itu akan membuatku malu di hadapanmu.

Ke rumahmu bukanlah sejenis liburan bukan pula kunjungan. Datang ke rumahmu adalah perjuanganku. Ada di rumahmu adalah perjuangan ke dua setelah kedatangan pertama kau tak membukakan pintu bagiku. Perjalan dari Timur ke Barat. Jalan yang kulalui melewati rute yang sulit. Rute pertama sudah terhapus dari ingatanku. Semak berduri terhampar luas di depan mataku. Sementara tebing dan curam siap menarik kaki telajangku. Aku pun harus membungkuk dan merayap menjelajahi pungung gunung. Namun, bagaimana pun harus kulalui itu meski rasanya seperti menendang sebongkah batu dan menelan biji kemiri.    

Jika malam menutup langit dan dingin membungkus bumi aku hanya tertegun menatap kunang-kunang yang sedikit memberi cahaya di malam gelap. Sementara nyanyian burung hantu menghiburku untuk menepis rasa takut akan buasnya kehidupan malam. Lalu sayup-sayup mata memaksaku untuk baring di lapis daun gebang. Selimutku hanyalah untaian senyum manis yang pernah kudapat darimu, Timung Te’e. Rindu padamu membuatku ingin malam cepat berlalu. Selamat malam menjadi perpisahan menyambut pagi.

Sorak siul burung Kiong yang menyambut pagi membangunkanku. Hari sudah terang benderang. Bangun dan kulanjutkan perjalanan. Tak ingin kuterlambat. Semakin lambat bebanku semakin meragi. Aku tak membawa apa-apa tapi ada beban yang kupanggul. Yang kurasa seperti setingkat langit sedang menindihku. Atau seperti beban Atlas yang memikul bola bumi ini. Beban itu terbungkus dalam tiga kata dan teranyam ketulusan.

Lalu bila aku sudah di depan pintu rumahmu, kuharap kau bersedia buka pintu rumahmu. Kau sendiri yang membuka pintu rumahmu, bukan yang lain. Dengan itu, aku langsung memberikan bingkisan yang terbungkus berserta ikatannya. Saat kau menggendongnya aku pasti senang. Aku menjadi Lanur yang paling beruntung dan bahagia. Tapi jangan panggil aku kakak, kae2, nara3 atau apa pun atribut hubungan sanguinis. Aku seorang yang lain, Lanur, seorang dari Timur, yang ingin masuk rumahmu di Barat sana. Bukan pula orang asing tapi seorang yang dekat di hatimu dan mengajakmu berjalan ke dataran yang sama tidak kita ketahui.


Djogja, 14 Mei 2011
Alfred Tuname

Catatan:
(1). Lanur dan Timung Te’e          : tokoh cerita rakyat orang Manggarai
(2). Kae                                     : kakak
(3). Nara                                    : saudara

Komentar