“Only free men are very thankful to one another”
-Spinoza
Sementara, aku sedang terhanyut kedinginan dalam genangan gletser pikiranku sendiri. Berenang-renang mengepakan tangan dengan segenap gaya yang kubisa. Gaya kupu-kupu, gaya punggung. Yang paling aku suka adalah gaya bebas dan menyelam hendak menyentuh dasarnya. Meski itu membuat telingaku bergetar dan berdenging, aku tetap memaksakan diri. Hampir saja dingin membungkusku dalam kantung kuning. Pikiran yang sadar lalu menarikku ke permukaan. Seolah aku adalah planton-planton yang merindukan cahaya. Aku kembali ke permukaan.
Rene Descartes membungkusku dalam kotak rasionalisme. Cogito ergo sum. Saya berpikir maka saya ada. Berpikir pun menjadi sesuatu yang penting. Tak perlu banyak cengar-cengir, just thinking. Dengan berpikir orang dapat menentukan posisi apa pun yang dia mau. Ketika Subcomandante Marcos, pejuang Zapatista, berpikir untuk melawan ketidakadilan di negaranya, ia memilih buah pikirannya, kata. “Kata adalah senjata”, begitu ia menulis. Dan kepalaku tersimpan jelas metode berpikir Cartesian. Pertama, tidak menerima apapun sebagai kebenaran, kecuali yakin itu benar. Kedua, memilah-milah persoalan untuk mempermudah penyelesaian. Ketiga, berpikir analitis dari jendela yang sederhana menuju gerbang yang paling sulit. Hingg terpakasa kau harus mengubungkan proposisi-proposis yang terkandung dalam kamar gelap pikirannku.
Semakin banyak proposisi yang tergacak di kepala, semakin sinis menguat menggemas realitas. Penemuan-penemuan yang tak terduga mulai muncul berbarengan dengan kepakan sayap pikiran. Kegancilan, keanehan, kegilaan menjadi chips penting dalam mesin sosial. Semua itu mejadi norma dan normalitas. Terdapat banyak norma yang mengikat kaki, kepala dan tangan. Terdapat banyak kertas nilai yang menyumbat mulut. Astaga naga, setiap kita sudah dipaksa memakai kain kavan untuk berjalan sepeti zombi di atas aturan-aturan itu. Hampir tak ada yang bernafas segar dan bebas sebab pita suara sudah diikat oleh daun loreng dan cokat gelap.
Dan semakin lama berkubang dalam sinisme, realitas menjadi lebih sempit. Keterasingan adalah konsekuensi. Alienasi menjadi kebahagiaan di ujung kamera-kamera sosial. Realitas pun menjadi terlipat. Seolah sedang terlempar di ujung menara dan hanya realitas luas dipandang dari kejauhan. Dan paparan ironi Seno Gumira Adjidarma dalam cerpen “Manusia Kamar” menjadi refleksi di gantang realitas itu. Idealisme dan realisme tarik menarik merebut kebebasan. Kebebasan menjadi mainan yang terguling-guling dalam perkelahian antara diri dan pikirannya sendiri. Mana yang sepertinya benar dan mana yang sepertinya bukan benar. Pragmatis menjadi third way, jalan ketiga.
“Hidup tidak hanya untuk bernafas”, celetuk Umar Khayam. Itu berarti hidup harus lebih dari sekadar untuk bernafas meski kadang aku bernafas dengan dengan mengeluarkan asap. Entalah mau disebut apa proses ini, pembakaran melahirkan pembakaran. Pragamatisme berdiri di belakang panggung celetuk itu. Segala sesuatu harus berfungsi. Pragmatisme lebih dalam dikupas oleh filsuf John Dewey, William James dan C.S. Pierce. Seorang penulis, R. Allan White, dalam bukunya Truth: Problem In Philosophy (1970), menulis, “...a true idea is one which fulfills its function, which works; false idea is one not”. Idea yang sering diterjemahkan sebagai opini, kepercayaan, pernyataan etc. hanya sebuah instrumen pada partikularitas fungsi. Ini menurut White. Maka ini kebenaran pragmatis. Sebuah jalan ketiga yang aku kenal. Dengan ini, aku tidak menjadi terasing dan terdepak ke ujung menara gading. Aku tetap di bawah bersama yang lain. Sosial berarti solider dan egaliter. Ada empati dan simpati. Meski tetap bersikap kritis. Kritis untuk mendapatkan pengertian. Pengertian hanya menjadi benar jika bermanfaat praktis.
Tak ada yang membuatku timbul ke permukaan dan turun dari menara itu. Tak ada yang membuka pintu kamar. Hanya diri sendiri dan ketekatan untuk berenang, merangkak dan bangun. Diri sendiri yang sapere aude. Diri sendiri yang duc in altum. Diri sendiri yang ingin gnoti se auton. Selanjut merangkul realitas, meremas etika dan memeluk keindahan estetika. Huah....aku lepas!!!
Special thanks to PKS
Djogja, 21 Juni 2011
Alfred Tuname
Komentar
Posting Komentar