Ari-Ari Atawa Interogasi 2: Sebuah Permenungan


“... i shall remain  alone with this empty sky above me,
since i have no other way of being among men...”

-Ucapan tokoh Goetz dalam naskah Jean-Paul Sartre, Lucifer and the Lord, in Two Plays, trans. Kitty Black, Harmondswordth: Pinguin, 1965.


Dan ternyata semua orang harus menonton theater. Dengan menonoton theater kita bisa tertawa. Dalam tawa, kita bisa keluar sekaligus masuk ke dalam diri kita sendiri. Hal itu seperti bernafas. Tertawa melepas sesak dalam diri. Saat itu, kita melepas kekonyolan-kekonyolan lakon kita sendiri. Dan kita pun terdiam menghirup aufklarung sufistik hingga membuat kita sadar dan terbangun.

Menonton theater berarti juga terlempar jauh dari dunia real. Di sana kita menyaksikan refleksi lakon real. Dan kita menjadi spectators, the masses, the people. Kita hanya terduduk diam (seated), menerima (receptive) dan passive. Theater bergelegar bebas saat kita terdiam. Augusto Boal menulis “theater was the people singing freely in the open air”. Dan ia menyebutnya dithyrambic song.

Ari-Ari atawa Interogasi 2 karya Arifin C. Noor adalah dithyrambic song. Sebuah nyanyian lepas bebas yang mengangkat tema eksistensi manusia dalam masyarakat modern. Masyarakat modern melahirkan sejarah panjang perjuangan kelas. Di sini, kaum kapitalis sebagai protagonist dan kaum pekerja (proletar) sebagai, meminjam istilah Boas, chorus. Protagonist diperankan oleh Malin Kundang dan chorus diperankan oleh Sandek.

Malin Kundang adalah seorang manager. Sandek adalah seorang tokoh buruh, pemimpin gerakan pemogokan massa. Diceriktakan Sandek adalah saudara Malin Kudang. Bahkan mereka bukan saja lahir dari ibu yang sama, tetapi memiliki sejarah hidup yang sama dan istri mereka pun sama. Uniknya, status sosial mereka berbeda, kaya dan miskin.

Harta dan status sosial membuat sang kapitalis Malin Kundang lupa daratan. Ia semakin pongah dan semakin serakah. Keserakahannya membuatnya gelap mata hingga tak mengenal saudaranya sendiri. Pendewaan ego membuatnya teralienasi secara sosial. Ia lepas dari istrinya sendiri dan berkelahi dengan pikirannya sendiri. Ia pun mengutuk ibu kandungnya sediri menjadi batu dan bersembunyi di balik falsafah tindakan karitatif. Lambat laun kebahagiaanya menciut seiring sejarah hidupnya yang meredup.

Sementara saudara Malin Kundang, Sandek, adalah seorang buruh pabrik dan seorang tokoh. Ia seorang reflektif dan sadara akan nasip kelasnya. Eksplotasi tenaga dan pikiran kelas buruh oleh para kapitalis membuat mereka lemah. Sandek terserang penyakit tuberkulosis dan jantung. Tetapi semangat mereka tidak luluh. Kesadaran akan harkat manusia yang sama membuat mereka lantang bergelegar, “kembalikanlah kami!” Pekik ini adalah mukadimah kesadaran eksistensi kemanusiaan mereka. Mereka bukan robot. Tempat ibadah mereka bukan pabrik. Lalu kejadian pemogokan masal dan Sandek yang “hilang” membuat seluruh kota menjadi bisu. Sandek menjelma jadi ideologi yang merasuki kesadaran setiap orang. Dan terjadilah panik. Chaos terjadi dalam kebisuan.

Ari-Ari atau Interogasi 2 merupakan salah satu karya Arifin C. Noor yang mengangkat tema eksistensi. Ia akrab dengan tema-tema eksistensi manusia. Dan ketika ia berklibat pada eksistensi, ia mulai dengan kegelisahan dan kritik terhadap kemunafikan, kemapanan dan moralitas. Dengan karya seni, ia masuk dalam gerakan moral sekaligus politik. Sebab, dengan mengutip Boal, “art is affirmed to pure contemplation, and on the other hand, it is considered to present always a vision of the world in transformation and therefore is inevitably political insofar as it shows the means of carrying out that transformation or delaying it”. Theater dan politik pun “are the old as theater and as politics”. Sebelumnya, filsuf Aristophanes menjelaskan “dramatist should not only offer pleasure but should, besides that, be a teacher of morality and a political adviser”.

Theater Ari-Ari atau Interogasi 2 berbicara tentang eksistensi manusia dalam kontemplasi dan kritik terhadap laku manusia. Kesamaan antara Malin Kundang dan Sandek adalah kesamaan eksistensi. Mereka adalah manusia dengan dengan harkat dan kebebasan yang sama (konspep human right). Jean-Paul Sartre menulis, “everyone is the same as the Others to extend that he is Other than himself”. Mereka dibesarkan oleh bumi pertiwi yang sama pula. Tetapi kepongahan dan keserakahan kapitalisme (tokoh Malin Kundang) membuat semua kondisi menjadi chaos. Bellum. Seperti kata Heraclitus, “all that happens, only happens because there is struggle”. Class struggle pun terjadi. Untuk ambisinya, kapitalis(me) menyangkal dan mengutuk ibunya sendiri, di mana ibu adalah bumi pertiwi. Pencemaran dan krisis lingkugan berawal dari sini. Kaum buruh dieksploitasi seekstrim mungkin demi profit yang sebesar-besarnya. Exploitation  der l’homme par l’homme terjadi di rumah masyarakat modern.

Kelas buruh tidak diam. Mereka juga bergerak. Kesedaran pribadi bertumpuk menjadi kesadaran kelompok dan kelas. Mereka bersatu atas perasaan senasip. Kesadaran mereka memastikan mereka sedang ditindas. Hati, mulut, perut mereka sedang dibekukan. Atas modalitas fraternity-terror itu mereka bersama-sama bergerak mengekspresikan diri. Dengan kemanusiaan yang bebas, mereka menuntut keadilan. Mereka menuntut kesejahteraan. Dan saat kata juga sudah mengabdi pada ideologi kapitalisme, mereka memilih untuk diam. Mogok berkerja. Kehidupan menjadi stagnan. Semua tak berwarna dan bisu. Kepanikan dan chaos merebak. Negoisasi menjadi deadlock.

Represi dan ketidakadilan yang dirasakan kelas buruh menjadi alasan perang. Represi dan ketidakadilan merupakan teror terhadap kemanusiaan. Dan perjuangan manusia adalah kebahagiaan dan freedom. Oleh sebab itu, seperti slogan The Gauche prolétarienne di Prancis, mereka boleh berkata, on a raison de se révolter! (it is right to rebel). Represi dan ketidakadilan menjadi “la raison  de cette raison”. Rebel dan protes pun masuk dalam ranah dialektika kehidupan. Tindakan itu lahir dari manusia yang bebas, dalam terma filsuf Agustinus, “ex libero voluntatis arbitrio” (keputusan kehendak yang bebas).

Dialektika yang terjadi dalam theater Ari-Ari atau Interogasi 2 terlihat dari runtut-runut perjalan Malin Kundang untuk menelusuri sejarah hidupnya. Inilah perjalan “pulang ke rumah” sang Malin Kundang. Rumah itu adalah kemanusiaan itu sendiri. Di mana, sastrawan Milan Kundera mengumandangkan, “humanisme adalah perang melawan lupa”, Malin Kundang sedang dalam jalan itu. Dan puncak kebahagian adalah ketika ia kembali pada pengkuan ibunya. Ibunya yang tadinya kaku dan beku, kembali merangkul anaknya. Sapaan Malin Kepada ibunya, “bundo....”, menjadi momen rekonsiliasi antara ibu dan anak. Air mata ibu jatuh di atas kepala Malin Kundang yang bertelut memohon ampun. Inilah haru kasih sayang sepanjang masa seorang ibu. Ada maaf dalam jemari ibu mengusap derai air mata Malin Kundang. Sebuah perjalanan sentimental manusia terurai indah dalam karya Arifin C. Noor.

Momen indah selalu terjadi pada momen rekonsiliasi. Saat itu semua jenis rasa kesal kembali nol. Pertanyaan dasarnya adalah bagaiman dengan laku sasaran kritiknya? Apakah kapitalisme sudah “memohon ampun” pada bumi pertiwi yang pernah menjadi objek masokhisme projek pembangunannya? Rekonsiliasi dan perjumpaan yang dialogis pun menjadi penting sebelum semuanya titik. Rekonsiliasi semua manusia dari semua jenis lapisan. Rekonsiliasi manusia dengan habitat dan alamnya. Rekonsiliasi mengembalikan kemanusiaan kita dan memutuskan ketidakmanusiaan kita. Filsuf eksistensialis, Jean-Paul Sastre, sebelumnya sudah berpesan bahwa “the human is nothing more than the dissolution of inhuman”.

-Catatan ini dibuat setelah menonton pentas teater Ari-Ari atawa Interogasi 2 karya Arifin C. Noor dengan sutradara Kurniawan Hasna Jaya di Auditorium Jurusan Teater, kampus ISI, Yogyakarta pada hari Jumat, 24 Juni 2011, pukul 19.30-selesai
-And special thanks to kelompok teater AK51, Akindo.

Djogja, 26 Juni 2011
Alfred Tuname

Sumber:
Boal, Augusto. 1985. Theater Of The Oppresed. New York: Theater
Communication Group

Badiou, Alain. 2009. Petit Panthéon Potatif. London: Verso
Dister, Nico Syukur. 1988. Filsafat Kebebasan. Yogyakarta: Kanisius
Lenin, V.I. 1999. The State And Revolution. Sidney: Resistence Books


Komentar