Akhir-akhir ini ulat bulu merayap pelan-pelan ke berbagai daerah. Ulat bulu merayap bergerombol di berbagai jenis tanaman. Mereka bergerak pelan dan memakan daun-daun hijau. Booming ulat bulu sangat meresahkan masyarakat. Tidak hanya petani, ulat bulu juga meresahkan masyarakat perkotaan. Dan ternyata ulat bulu tidak hanya merusak tanaman pertanian tetapi juga berbagai jenis tumbuhan dan pepohonan yang menjadi habitatnya. Ulat bulu tidak hanya menyebarkan rasa jijik tetapi juga gatal-gatal. Kata para ahli, ulat bulu ini berkebang dan menyebar ke mana-mana dikarenakan perubahan cuaca yang tidak menentu dan musnahnya predator-predator ulat bulu.
Lalu apa hubungan ulat bulu dan legislatif? Secara kasat mata, ulat bulu memang tidak memiliki relasi linear pun kausalitas dengan legislatif. Legislatif yang dimaksud di sini adalah Dewan Legislatif alias Dewan Perwakilan rakyat (DPR). DPR merupakan orang-orang istimewa. Mereka istimewah sebab mereka adalah orang-orang yang dipercaya mewakili suara rakyat dan dipilih secara langsung oleh rakyat itu sendiri. Di mata rakyat, DPR akan mewakili mereka untuk mengimbangi sistem kebijakan pemerintah (Eksekutif). Pola checks and balances ini sangat diharapkan semata demi tercapainya tujuan besar sebuah negara yakni kesejahteraan rakyat yang adil dan beradab.
Ulut bulu-legislatif adalah sebuah analogi. Jika diamati secara saksama perilaku dewan legislatif kita memiliki kesamaan dengan ulat bulu. Setiap anggota legislatif bukanlah solitary (Latin, Solitarius=seorang diri). Ia justru tergabung dalam sebuah kelompok, yakni rakyat yang ia wakili. Dan ia adalah seorang wakil rakyat. Tetapi dalam keadaan solitary itu ia justru tidak solider terhadap rakyat yang ia wakili tersebut. Sebagai individu, anggota dewan tampak tidak merepresentasikan apa yang mereka wakilkan dan malah merasa lebih superior dari rakyatnya sehingga justru menjaga jarak dengan mereka. Ketika menjelaskan tentang moralitas, Nietzsche menyebut perilaku ini sebgai pathos of distance.
Ketika anggota dewan tersebut lepas dari kesehatian dengan rakyatnya yang harus diwakilinya, mereka malah meleburkan diri dalam sekolompok massa yang mereka bentuk sendiri. Massa itu adalah para anggota dewan sendiri. Sebagai sebuah massa, anggota dewan adalah kelompok yang spontan, pragmatis, fragile dan cenderung “destruktif”. Massa anggota dewan bersifat spontan sebab setelah pemilihan umum legislatif mereka tidak lagi menyuarakan aspirasi rakyatnya (konstituen) dan telepas dari ikatan dan amnesia janji. Dalam keadaan keberjarakan itu, mereka berkumpul dan “bersentuhan” dengan sesama anggota dewan yang sebenarnya punya perilaku yang sama. Persentuhan itu menjadi meterai untuk bersama-sama mencari keuntungan-keuntungan yang pragmatis. Mereka menjadi berani untuk “melawan” rakyat dengan dengan rasionalisasinya sendiri demi kepentingan pragmatis mereka. Elias Canetti dalam bukunya Masse und Macht (1960; Crowds and Power), menulis bahwa “...only in crowds that man can become free of this fear of being touched”. Itu berarti sebagai sebuah massa, anggota dewan sebenarnya kerumunan yang solid untuk mempertahankan kepentingan pribadi dan kroni. Dan rakyatnya sendiri justru dilihat sebagai pihak antagonis atau dalam terminologi Canetti, the unknown. Massa ini juga bersifat fragile dalam tubuh internalnya sendiri. Perpecahan akan terjadi jika terdapat individu-individu yang berseberangan dengan kelompok massa (mayoritas anggota dewan). Namun biasanya perpecahan itu biasanya bersifat temporer. The unknown mereka bukan dari tubuh internal sendiri tetapi rakyatnya sendiri. Dalam diktum metaforois Canetti menyebut massa ini sebagai the flight crowds yaitu massa yang terbentuk karena terdapat ancaman bersama. Di sini, kepentingan umum (salus populi) sepertinya menjadi ancaman. Inilah ciri detruktif massa anggota dewan.
Perilaku ulat bulu (massa) anggota legislatif kita ini jelas-jelas terlihat mulai dari proyek studi banding ke Yunani, kasus bank Century, Mafia pajak, hingga yang terakhir pembangunan gedung baru DPR/MPR RI. Studi etika anggota dewan ke Yunani ternyata melahirkan kasus “pariporn”. Seorang anggota dewan dari partai PKS justru asik menonton film porno saat sidang DPR berlangsung. Mungkin prinsipnya adalah veni, vidi, vici! Saya datang, saya nonton dan saya puas (orgasme)! Mengapa hal itu terjadi? Studi banding tersebut sebenarnya hanya alasan (topeng, kedok) untuk membagi-bagi uang negara di antara mereka. Studi banding etika tersebut tidak beresensi. Uang pun menjadi alat pemersatu (persentuhan) massa ini. Saat itu, persentuhan melahirkan ekstensifikasi massa diantaranya pemerintah dan partai politik.
Dalam sinetron kasus Century, para anggota dewan pandai memainkan akrobat. Layaknya sebagai sebuah sinetron, akrobat-akrobat tersebut tidak bersentuhan dengan penyelesaian masalah dan kerugian uang negara tetapi sekadar menghibur dan mengelabui rakyat. Penyelesaian kasus Century adalah jalan tak berujung. Sutradara dan para aktor pada akhirnya sepakat untuk meninabobokan kasus ini. Tak lama berselang muncul sinetron baru berjudul mafia pajak Gayus Tambunan. Nasipnya tetap sama tidak ada penyelesaian yang benar-benar selesai. Penyelesaian kasus mafia pajak hanya artifisial sebab tidak menyentuh mafia kelas kakap yang sebenarnya. Yang terjadi hanya jatuhan hukumuan penjara kepada si “udang” Gagus Tambunan yang pandai bersembunyi di balik batu meski akhirnya ketahuan.
Yang massa hangat tentang perilaku massa anggota dewan adalah pembangunan gedung baru DPR/MPR RI. Dengan segala kontroversinya, anggota dewan bermaksud membangun gedung baru DPR/MPR dengan dana negara Rp 1,138 triliun. Pembangunan gedung ini adalah sebuah proyek untuk mendapatkan “dana segar” massa anggota dewan. Dana segar tersebut sangat terkait dengan pembiayaan dalam pemilu 2014. Indikasinya adalah meskipun mendapat resistensi dari rakyat mayoritas pemerintah justru menyetujui rencana tersebut. Dalam kondisi ini, tesis Hobbes, homo homini lupus menjadi benar. Bahwa massa legislatif, pemerintah, partai politik adalah serigala bagi untuk rakyatnya sendiri. Massa itu justru “memangsa” rakyatnya sendiri.
Lalu bagaimana nasip demokrasi yang sering didegung-dengunkan kepada rakyat? Ternyata demokrasi kita hanya sekadar atribut-atribut eksterior. Demokrasi hanya memenuhi syarat prosedural. Demokrasi sebagai jalan minus malum itu hanya dikenal dikenal saat kampanye dalam pesta rakyat (pemilu). Selanjutnya, jalan pemerintahan penuh dengan intrik, korupsi dan manipulasi. Demokrasi yang deliberatif (komunikasi) masih jauh dari panggang sebab negara ini masih dipimpin oleh sekelompok massa (ulat bulu) yang korup dan parasit. Non potestas super terram quae comparatur ei (Di dunia ini tidak ada yang dapat menandingi dan menyaingi negara). Dalam kontes Indonesia, tesis V.I. Lenin masih terbukti bahwa negara adalah alat dari kelas untuk berkuasa, walaupun negara bertujuan untuk mendamaikan kelas tetapi konflik itu tetap tak terdamaikan. Lenin, dalam bukunya The State and Revolution1, mengutip Karl Marx bahwa “...the state is an organ of class rule, an organ of oppression of one class by another”. Di sini, organ of class rule itu berwatak massa.
Djogja, 28 April 2011
Alfred Tuname
1) V.I. Lenin, The State And Revolution (Australia: Resistence Books, 1999), hlm.16.
Komentar
Posting Komentar