Makan

Ketika orang mengamini masuk dalam gerbang dunia yang bulat adalah sebuah persoalan maka persoalan pertaman manusia adalah makan. Seorang bayi sebelum masuk  dalam fase imaginer dan simbolik lacanian akan menangis meminta makan. ASI (air susu ibu) membuatnya tetap bertahan untuk hidup. Tangisan itu keluar dari corong penderitaan akan kebutuhan makan. Tangisan bayi pertama saat dilahirkan boleh jadi adalah suara dari kedalaman diri, dari alam ketaksadaran, yang sadar bahwa menghirup nafas di dunia berarti sebuah  penderitiaan sebab ia harus makan.

Makan pun menjadi ultima prima causa. Mengapa? Makhluk yang namanya homo sapientia harus berusaha keras untuk mendapatkan makan. Burung pipit pun tidak gratis tidak gampang mendapatkan makan sebab ia harus terbang untuk mendapatkannya. Peradaban pertama, kata sejarah, dimulai karena makan. Kelelahan hidup nomaden dan berburu membuat orang menciptakan peradaban. Di sini, pendistribusian makan mulai diatur. Aturan langgeng dalam patokan-patokan pikiran dan ingatan. Lahirlah tradisi dan adat-istiadat. Nyanyian-sorak gembira saat panen dan karya seni handicraft yang dihasilkan saat waktu senggang setelah kenyang terangkum semuanya dalam defenisi kebudayaan.

Dalam kaitannya dengan kebudayaan itu, keberadaan makan pun menjadi penting tapi tidak segalanya-segala. Tidak segala-segalanya karena penting. sebuah falsafah Jawa berbunyi “mangan ora mangan seng penting ngumpul”. Pertanyaannya, bagaimana orang bisa “ngumpul” jika perutnya masih kosong dan keroncongan? Falsafah tersebut sangat sangat metaforis meski filsafat positivisme logis menegasikan dan menenggelamkan metofora dalam ranah filsafat. Kebersamaan tetap diutamakan di samping makan. Segala sesuatu (termasuk makan) dapat dipenuni asal saja barisan kebersamaan tetap dijaga. Kebersamaan itu adalah keadilan. Kebersamaan menandakan keadilan.  Tanpa keadilan kebersamaan akan susah dirumuskan. Metaforis “berkumpul” itu adalah demokrasi. Secara bersama  manusia berjuang bersama dan mengatur kehidupan untuk memenuhi hak-hak hidup.

Makan adalah hak setiap orang mempertahankan hidup, survive. Makan adalah kebutuhan dasar. Tanpa dasar ini, manusia dikategorikan sebagai orang miskin. Ini klaim ekonomi. Perkara kemiskinan, negara Indonesia memiliki banyak daerah yang masih mendekam di bawah sayap kemiskinan. Negara belum pernah selesai menunai amanat UUD ’45 dan sila kelima Pancasila. Para aparatus negara sibuk “makan” sendiri.   Dana pengadaan buku untuk mencerdaskan anak-anak bangsa dan melepaskan kurungan kemiskinan malah di-”makan” oleh “rayap”.

Primum manducare, deinde philosophari. Makan dulu baru berfilsafat. Adagium ini pernah digunakan oleh konglomerat tambang asal pulau Rote, NTT, Jusuf Merukh1 untuk menyindir para aktivis anti-tambang di NTT yang didukung oleh para rohaniwan. Merukh mengatakan bahwa propinsi NTT adalah dearah miskin dan kering. Tradisi agraris di derah yang kering membuat masyarakat NTT kepanasan dalam kemiskinan. Kandungan mineral di tanah Flobamora yang membuatnya kering. Proyek agraris dan peternakan adalah sebuah pemaksaan dan kekeliruan. Australia memberi “bantuan” dalam proyek peternakan sebanarnya “udang di balik batu”. Australia tengah memainkan politik ketakutan. Mereka takut Indonesia (NTT) akan menjadi pengekspor mineral terbesar mengalah Australia sebab mereka tahu kandungan mineral di tanah Flobamora tersebut. Disebut-sebut bahwa tanah Flores Timur dan Sumba memiliki kandungan tembaga dan emas yang luar biasa mengalahkan Free Port, Papua. Dalam rasional ekonomi politik ini, Merukh memberikan sinis kepada aktivis anti-tambang, “makan dulu, baru berfilsafat”.

Rupanya, Jusuf Merukh belum tahu bahwa “manusia tidak hanya butuh roti”. Manusia butuh ruang. Tanah Flobamora  adalah ruang bagi masyarakat untuk berekspresi dan melakukan ritual-ritual budaya yang membuat mereka mencintai hidup. Di sini, makan untuk hidup bukan hidup untuk makan. Dan tambang tidak pernah menyelesaikan persoalan kemiskinan di NTT. Persoalan di NTT bukanlah kemiskinan tetapi keadilan. Derita masyarakat Papua yang yang kaya akan mineral itu bersumber dari ketidakadilan. Masyarakat menolak tambang bukan hanya karena mencintai tanah leluhur mereka dari kerusakan tetapi juga bayang kengerian dan ketidakadilan yang terus menghantui mereka. Tambang adalah ambisi phallus konglomerat melobangi pertiwi untuk meraup keuntungan pribadi dan kroni.

Makan gak makan asal ngumpul. Dengan ngumpul  orang dapat mencari cara untuk dapat makan dan menditribusikannya secara adil. Bukan saja “roti” tetapi juga kebahagiaan, kebenaran dan “sapientia”.


Djogja, 30 Maret 2010
Alfred Tuname

1)     Buletin Bisnis Indonesia, Rabu, 15 Desember 2010.

Komentar