Mendadak


“Je pense done je suis”
      (Réne Descartes)


Kata mendadak memiliki padanan dengan kata sontak, tiba-tiba. Dalam KUBI (Kamus Umum Bahasa Indonesia), kata mendadak berasal dasar dadak. Dadak berarti tanpa diduga (diketahui, diperkirakan) sebelumnya; sekonyong-konyong. Sesuatu yang mendadak berarti sesuatu yang tidak bisa diprediksi, diketahui sebelumnya tetapi itu sudah terjadi.


Fenomena alam sebenarnya bukan sesuatu yang mendadak. Alam selalu memberi tanda sebelum alam itu "berulah". Sebelum gunung meletus, pasti ada tanda asap mengepul dan getaran di sekitar gunung. Tsunami datang setelah sejumlah volume air laut merosot dari bibir pantai. Banjir datang setelah guyuran hujan et cetera. Dan manusia dengan tingkat kejeniusannya mampu membaca tanda itu dan mambu menanggulanginya. Itulah yang membingungkan dengan fenomena lumpur lapindo. Dalam sebuah simposium tentang penyebab lumpur lapindo di Cape Town, Afrika Selatan, terdapat 42 ilmuwan perminyakan menyatakan banjir lumpur di Porong, Sidoarjo, 29 Mei 2006 disebabkan oleh pemboran PT. Lapindo Brantas dan hanya terdapat 3 ilmuwan yang mengatakan babjir lumpur disebabkan oleh gempa Djogja serta 13 ilmuwan yang mengatakan gabungan keduanya. Dengan demokrasi, kesepakatan jatuh pada keputusan bahwa lapindo harus bertanggung jawab atas bajir lumpur tersebut. Femonena lumpur lapindo merupakan kejahatan korporasi tentang pencemaran lingkungan. Keserakahan membuat mereka menjadi serakah. Sudah serakah, mereka lepas tanggung jawab. Anehnya, mahkama agung membuat keputusan bahwa nagara harus bertanggung jawab atas banjir lumpur lapindo. Entah berapa berapa jumlah uang konglomerat yang mengalir ke Mahkama Agung itu sehingga uang rakyat yang harus dipakai untuk menanggung keserakahan PT Lapindo Brantas.


Femomena alam hampir sama dengan realitas ekonomi. Tidak ada sesuatu yang mendadak dalam realitas ekonomi. Ekonomi dapat dikalkulasi, diprediksi (forcasting) dan bahkan sampai dispekulasi. Sebelum terjadi krisis ekonomi amerika yang kemudian menjadi krisis global yang melanda Eropa dan Asia pada tahun 2008, seorang ekonom dunia yang mendapat Nobel, Joseph E. Stiglizt sudah memprediksi kondisi ekonomi amerika kurang sehat. Indikasinya terlihat dari sistem bunga (interest rate) rendah, pertumbuhan ekonomi yang bergantung pada busines properti dan pengaturan sistem keuangan yang longgar. Tidak lama berselang, busines properti mengalami kebangkrutan. Raksasa institusi keuangan Lehman Brother yang berfungsi sebagai pihak ketiga antara investor dan calon debitor sub-prime mortage dalam sektor properti kemudian menyatakan diri bangkrut. Resesi ekonomi amerika serikat pun menjalar ke Eropa dan Asia. Efek domino ini juga mengenai sektor keuangan Indonesia. Bank Century adalah contoh yang paling sering dibawa-bawa. Mantan menteri keuangan, Sri Mulayani mengatakan kolapsnya Bank Century memberi efek sistemik dan negara harus menyelamatkan bank ini. Dengan kajian dan keputusan KSSK (Komite Stabilitas Sistem Keuangan) tentang dana bail out Bank Century, LPS (Lemabaga Penjamin Simpanan) mengeluarkan dana Rp 2,7 triliun untuk Bank Century.  Lalu para mafioso yang berkerja sama dengan the sovereign atau mafia dalam negara menangkap momen ini sebagai "blessing in disguise". Konspirasi dirancang dan "dieksekusi". Ujungnya-ujungnya pilpres 2009. Seperti menyimpan ikan busuk, baunya sudah dan mudah tercium. Formasi "cantenacio" dibuat. Hukum pun terbeli. Sampai sekarang penyelidikan century gate pun susah ditembus. Ada bargaining adhoc yang digunakan sebagai zat antibodi atau komoditas barter.


Bagi para koruptor, zat antibodi diproduksi dengan cara mendadak. Tidak seperti fenomena alam dan aktivitas ekonomi, zat antibodi ini susah ditebak. Ia muncul secara tiba-tiba. Penguasa rezim orde baru, Soeharto mendadak sakit ketika hendak dibawah ke meja hijau. Dalam kasus Miranda gate, Nunun Nurbati, istri adang daradjatum yang menjadi "calo" dana travellers cheque antara Miranda Swaraj Goeltom dan anggota dewan fraksi partai PDIP, mendadak sakit dan insomnia saat hendak diperiksa KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi). Mafia pajak, Gayus Tambunan mendadak keliling Asia (Singapura, Malaysia, Macau) saat menjadi terdakwa padahal masih menjadi tahanan rutan brimob Mangga Dua, Jakarta. Hampir semua koruptor punya gelagat yang sama seperti ini. Kalau tidak bersembunyi di luar negeri, biasanya seolah-olah sakit. Mereka sakit bukan lantaran mendadak kaya, tetapi karena pekerjaan korupsinya telah diketahui.


Bicara soal sakit, poskupang.com (20/08/2010) menelurkan berita "Video Porno Lokal Hebohkan Flotim" dan judulnya vidoe tersebut adalah "ogo brara" (aduh sakit). Video ini mendadak hebohkan daerah Lewotana tersebut. Entah apa yang membuat judul video ini menjadi "aduh sakit" sehingga membuat "sakit" pikiran masyarakat flores timur. Penulis tidak berani berkomentar. Kata berita, adegan video ini mengambil lanskap sekokan berair sebagai setting. Hal ini berbeda dengan setingan Video Ariel, Luna dan Cut Tari yang lebih berkelas, di hotel. Seorang memberi komentar atas berita online ini demikian, "krisis moral telah melanda generasi ini, kemanakah peranan guru-guru agama, tokoh masyarakat dan tokoh adat??" komentator itu ternyata lupa bahwa "polisi" moral itu lebih senang mengurus politik lokal dan persoalan tambang sebab lebih jelas aliran "dana"nya. Lalu aparat polisi bergerak cepat menyelidiki persoalan ini. Informasinya, mendadak saksi dan pembuat video mesum ini sudah berada di Malaysia. Mendadak aktor pria terkena sakit jiwa. Sementara aktor wanita biasa "nongkrong' di Waiwerang mencari pelanggan. Bayangkan, seorang pria sakit jiwa melakukan "atraksi eros" dengan wanita yang suka "nongkrong" itu (Wanita Tuna Susila). Jangan-jangan, mereka yang suka merekam "atraksi eros"-nya adalah memang orang sakit jiwa. Lalu, bagaimana dengan banyak orang yang melihat-(video)-nya?  Goenawan Muhamad (Tempo, 17/04.2006) menulis tesis bahwa pornografi adalah persoalan yang timbul ketika banyak orang mendapatkannya. Heboh vidoe "ogo brara" itu pun menjadi soal karena banyak orang melihatnya dan meresahkan orang tua. Institusi kepolisian kemudian menggolongkannya sebagai "pekat", penyakit masyarkat. Ketika klaim seksualitas adalah sesuatu yang sakral maka fenomena pornografi ini menjadi persoalan. Persoalan ini berkembang ke arah paralaks (parallax). Seperti kebingungan Goenawan Muhamad, kita bertanya "atas dasar yang mana kita menentang pornografi? Karena dosa atau karena berbahaya?...negara dan agama pun akan menemui batas kekuasaannya, dan pornografi akan jadi seperti tembakau; sesuatu yang tak sehat, tapi terus ada, hanya kadang-kadang memikat, lalu kita lupa".


 
Fenomena lupa yang terasa aneh dan janggal terjadi dalam proyek jalan di Kabupaten Manggarai Timur, Flores, NTT. Mendadak "belasan warga setempat mendatangi DPRD Matin" (poskupang.com, 09/01/2011). Alasan proyek peningkatan Jalan Watu Cie ke arah Pocong, Kecamatan Poco Ranaka, berubah Menjadi Watu Cie ke arah Golo Tenda. Pemegang proyek lupa bahwa papan informasi yang mereka tulis pada proyek itu adalah proyek jalan Watu Cie-Pocong. Dengan alasan apa pun,  ini adalah sebuah penipuan terhadap masyarakat. Pemerintah "mengerjai" rakyatnya sendiri. Ternyata di dearah, demokrasi hanya sebatas prosedural tanpa komunikasi, demokrasi deliberatif. Dalam proyek pemerintah daerah, rakyat hanyalah tumbal padahal sumber dana adalah dana rakyat, Dana Alokasi Umum (DAU). Masalahnya, kenyataan seperti ini bukan cuma sekali tetapi sering terjadi. Desentralisasi fiskal tidak melahirkan efisiensi biaya, efisiensi ekonomi, perbaikan akuntabilitas dan peningkatan mobilitas dana, malah justru sebaliknya. Pemborosan dan penyelewengan dana semakin merajalela. Proyek-proyek fiktif tumbuh menjamur di musim desentralisasi dan otonomi daerah. Meminjam kalimat Frans Anggal (www.frans-anggal.blogspot.com, 15/05/2009), "pejabat memerintahkan bawahan mencairkan dan menggunakan anggaran yang tidak sesuai dengan peruntukannya kemudian membuat laporan pertangungjawaban fiktif. Proyek siluman!". Harapannya DPRD bukan bagian dari siluman tetapi "spiderman" yang membela rakyat.


Tiba-tiba, mendadak, Djogja mati lampu. Padahal listrik sudah dibayar. Mana mungkin, sistem kelistrikan Dearah Istimewa Yogyakarta (DIY) diatur seperti banyak daerah di indonesia timur yang tidak terus terang tetapi penerangan dengan sistem 1 x 2 (satu hari mati, dua hari hidup). Mungkin DIY juga lupa mengurus listriknya karena sibuk mengurus RUU DIY pro penetapan.


Djogja, 03 Maret 2010
Alfred Tuname

Komentar