“Kudut neka hemong kuni agu kalo”
Demokrasi bukan tujuan tetapi jalan menuju tatanan kehidupan bersama yang lebih baik. Banyak orang, organisasi, dan negara yang mengamini jalan demokrasi ini untuk tatanan kehidupan yang lebih baik. “One might have a number reasons for accepting democracy: it might be seen as the most fair system, the most just system, and so on” (Michael Goodhart, 2005). Demokrasi pun menjadi sistem sosial yang lahir dari rahim dialektika sejarah manusia yang melebur dalam kelompok sosial dan berperan dalam regulasi rotasi kekuasaan di dalamnya. Demokrasi juga bukan sekadar standar untuk mengatur sirkulasi kekuasaan tetapi juga sebagai seni dalam kehidupan bergaul demi tercapai bonum commune (kehidupan bersama yang lebih baik).
Sebagai sebuah organisasi, Ikamaya (Ikatan Keluarga Besar Manggarai Raya) memilih jalan demokrasi dalam bujur-lintang "pergaulan hidup"-nya. Demokrasi adalah paket yang "tak berbungkus" dalam nilai-nilai budaya manggarai kepada ahli warisnya. Nilai tersebut ditetaskan dalam ungkapan “muku ca pu'u neka curup, teu ta ambo neka woleng lako; bantang cama reje leleng”. Sebagai sebuah seni, demokrasi telah memoles pola-pola kebersamaan dan pengambilan kebijakan bersama. Kebersamaan yang terbersit iklim persaudaraan dan kekeluargaan membuat Ikamaya terus menggema dalam hati dan pikiran seluruh warga Manggarai Yogyakarta.
Di awal tahun 2011 ini, Ikamaya menyematkan platform demokrasi dalam mengatur rotasi kekuasaan (pemimpin). Tanggal 06 februari 2011, Ikamaya mengadakan Pemilihan Ketua Ikamaya (pilkaya) yang baru. KPPI (Komisi Pemilihan Pengurus Ikamaya) yang mengurus pemilihan ketua ikamaya menggunakan sistem pemilihan langsung di setiap distrik (rayon) untuk mengakomodasi suara-suara demos Manggarai Yogyakarta. Rayon-rayon tersebut terdiri atas rayon Mrican, Babarsari, Janti-Kledokan, Sagan, RPS-rayon "Pantai Selatan" (Kusuma Negara, Timoho dan sekitarnya) dan Maguwo. Asas pemilihannya menggunakan asas pemilihan umum negara Jerman yakni langsung, umum, bebas, setara dan rahasia. Skema ini pemilihan ini dipakai untuk memperoleh pimimpin (ketua Ikamaya) yang legitim (legitimate) secara demokrasi. Idealitas demokrasi dalam pilkaya 2011 sangat terasa yakni keterlibatan hampir seluruh demos (ase kae,lawa) dalam proses pemilihan. Idealitas inilah yang teriakan oleh Jose Maria Maravall bahwa politisi yang ingin berkuasa dan membuat keputusuan dimungkinkan oleh mekanisme demokratis yakni pemilu. Dalam konteks pilkaya, setiap kandidat yang mencalonkan diri untuk dipilih adalah "politisi". Setiap demos bertanggung jawab dan sadar akan pilihannya. Money politics-one dollar one vote terinjak oleh prinsip one man one vote. Di beberapa praktek pelaksanaanya memang terdapat kekurangan-kekurangan teknis seperti diangkat oleh perwakilan organisasi Gavarta, Arfan Nabu dan praktisi organisasi, Fransales Mando Djerubu, bahwa kurangnya sosialisasi tentang proses pilkaya, tetapi secara keseluruhan proses itu berjalan aman dan in optima forma. Segenap perwakilan organisasi “di bawah” Ikamaya (Ikamrsta, Gavarta, Plakat, X-Pio, Society, Loyola Community, Ikalewa dan JXCOM) mengapresiasi kerja Ikamaya dan KPPI dalam proses pilkaya.
Ikamaya Dalam Kerlip Demokrasi
Ikamaya merupakan sebuah sebuah organisasi kekeluargaan di antara ase-kae, lawa Manggarai di Yogyakarta. Nama Ikamaya pertama kali dicetus pada tanggal 22 juni 2008 setelah sebuah kesepakatan beberapa ase kae Manggarai di wisma PMKRI, Jl. Dr. Wahidin no. 54, Yogyakarta. Nama Ikamaya pun dipakai hingga sekarang. Defacto, organisasi ini berperan sebagai wadah besar lawa Manggarai dalam rangka mengatur aktivitas berkumpul, berekspresi dan bersosialisasi sebagai orang Manggarai perantauan. Wadah tersebut lahir dari kesadaran akan ens socieale (makhluk sosial) dan tidak terjebak dalam logika idealisme subjektif dalam kerangkeng solipisme (dari bahasa latin "solo ipsus"-saya sendiri- paham tentang saya sendirilah yang ada, yang lain tidak ada). Dengan demikian Ikamaya (yang telah lama) lahir sebagai perekat "bangsa" Manggarai di Yogyakarta (obligatio in supra solidum). Dalam selendang keeratan itu, Ikamaya butuh suatu metabolisme dinamis sebagai cara mengadanya (mode of existence) dalam orgnisasinya yang statik. Pilihannya adalah demokrasi. Inilah political commitment Ikamaya. Itu berarti, dalam penjelasan Michael Goodhart, “democracy is a choice, a creed peope embrace based on reasons and passions”. Reasons and passions ini menjadi ransum untuk membangun Ikamaya.
Dan sejalan dengan pemikiran Willy Eichler (ideolog Partai Demokrat Jerman) bahwa "demokrasi bukanlah suatu nilai yang statis". Demokrasi selalu berada dalam tas jinjing kita untuk terus bergerak bersama arah langkah kaki. Esensi demokrasi adalah proses maju dan menuju yang lebih baik. Nilai-nilai demokrasi sudah tersendimentasi dalam gerak jalan Ikamaya. Sendimentasi itu selalu terserap dalam warna-warni kegiatan ikamaya (kegiatan budaya, akademis, religius, olahraga dan lain-lain). Premis-premis yang terbersit dalam tubrukan, mengutip bahasa sahabat Gonsaldus Jusin (ketua Ikamaya 2008-2011) dalam artikel "Satu Tak Mesti Sama" (M-zone, edisi I,19 november 2008) "dialogis, diskursif, reflektif dan kalau perlu dialektis" lonto leok hingga melahirkan unaniem (mufakat) di ujung warna-warni kegiatan ikamaya merupakan wajah demokrasi sepanjang sejarah (history/herstory) keberadaan Ikamaya. Tidak berhenti pada idea, sumbangsi dan donasi berupa sejumlah uang kepada ikamaya adalah wujud partipasi demos sekaligus melegitimasi keberadaan Ikamaya sebagai sebuah organisasi besar Manggarai. Inilah yang dijelaskan Noberto Bobbio (1994) dalam artikel "the future of democracy" bahwa "every social group needs to take decisions binding on all members of the group so as to ensure its own survival, both internally and externally". Sense of belonging ada dalam aktivitas ini. Jelas, dengan mengutip rumusan W.C Smith (1970), (herstory-tambahan penulis)/history is significant and decesive but not final. Lenggang jalan Ikamaya pun masih panjang. Formasi-formasi Ikamaya butuh udara segar untuk respirasinya yang lebih baik. Maka lahirlah suksesi dalam pilkaya di awal tahun 2011 ini.
Pilkaya 2011 menerbitkan sederet dering poliponik yang terdiri dari anggota Ikamaya, praktisi, dan pengamat. Maria S. irene, ketua Ikamarsta (Ikatan Keluarga Manggarai Timur Seluruh Yogyakarta), mengatakan bahwa "pilkaya tahun ini sangat berbeda dan memberikan perubahan yang positif karena dapat membuat semua ase kae terlibat dalam memberikan suaranya juga melahirkan generasi-generasi pemimpin yang potensial buat kemajuan Ikamaya". Hery Prayono, deklarator Loyola Community, advitser Passy dan Ikamarsta, pun mengamini pendapat Irene. Senada dengan Irene, ia mengatakan "ini perubahan terbesar di Ikamaya dan harus dipertahankan". Inilah gerak dinamis demokrasi. Dalam group-nya yang kecil, kerlip demokrasi itu terlihat. Demokrasi dengan caranya sendiri, cara Ikamaya. Mungkin seperti aklamasi Soekarno (1965) dalam bukunya "Di Bawah Bendera Revolusi", "djangan meniru sahaja "demokrasi-demokrasi" yang kini dipraktekkan di dunia luaran..." "Di dunia luaran" boleh diberi tanda kutip untuk merujuk pada horizon di luar Ikamaya. Dan pilkaya 2011 juga merupakan "sebuah langkah yang bagus untuk mulai membangun demokrasi dalam kehidupan bersama", mengintip sepotong pikiran Erik Tanu, ketua Ikalewa (Ikatan Keluarga Lembor-Welak Yogyakarta). Dalam keberlangsungan prakek pilkaya, Narsi Narus, penggawa JXCOM (Jogja Xaverius Community), melihat bahwa ini merupakan "sebuah langkah konkrit untuk menghidupkan iklim demokratis di lingkungan Ikamaya". Sebagai langkah, ia tidak pasif. Aktivasinya bergantung pada orang-orang yang mengoperasikannya.
Untuk mengaktivasi "alat demokrasi", operator harus memahami dan bisa mengoperasikannya. Kualitas pemahaman akan "alat ini" akan menempati posisi paralel dengan sebutan demokrat. Artinya, dalam penjelasan Michael Goodhart, "to be a democrat is to endorse democracy's prinsiples..." prinsip demokrasi bertalian dengan definisinya (bahasa Yunani demos=rakyat; kratos=kekuasaan), "dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat". Dalam konteks kita, " dari Ikamaya, oleh Ikamaya dan untuk Ikamaya". Dengan demikian "pemerintahan" ikamaya berada dalam genggaman "demos" Ikamaya. "Demos" Ikamaya adalah subjek "pemerintahan" Ikamaya. Oleh karenanya, setiap kebijakan dan keputusan harus mempertimbangkan implikasi "politis" dan mengacu deliberasi "demos" Ikamaya. Inilah participatory democracy dalam Ikamaya. Sejalan dengan ini, tiupan balon kecil mantan praktisi Ikamaya, Rian Juru, ada baiknya juga bahwa "perlu langkah radikal lagi membangun Ikamaya melalui forum bersama untuk merancang orientasi organisasi". Blue print kegiatan organisasi yang merunut orientasi adalah sangat urgen sehingga perubahan yang positif seperti kata irene, tidak berhenti pada demokrasi prosedural pilkaya. Ard Dalo, sahabat pengamat organisasi, mengkhawatirkan pilkaya sebagai awal menuju Ikamaya yang lebih baik jangan sampai berhenti pada mencari ketua yang baru dan sekadar rutinitas organisasi. Ia menjelaskan bahwa semua itu harus "merupakan kesempatan dan proses remind-melihat, mengoreksi diri dan membangun idealisme baru-yang mengakar dengan kehidupan mahasiswa-mahasiswa" dan semua orang Manggarai di Yogyakarta. Design akbar participatory democracy menuntut akseptasi idealisme yang akseptibel. Bahwa participary democracy transcends procedural matters and confronts all issues of social justice of manggarai head-on. Setidaknya point ini, seperti ungkap Ari Resno (Ketua Loyola Community), "dapat mengangkat citra" dan huge brand Ikamaya.
Ketua Ikamaya Terpilih Dalam Bingkai Harapan
Alan Woods (2005) dalam pengantar bukunya "Reason In Revolt" menulis bahwa "pengalaman sejarah menunjukan bahwa segelintir orang bisa bermakna, jika situasi objetktif berubah- sesuatu yang niscaya terjadi. Hal yang terpenting adalah kita harus mengawalinya". Ikamaya sudah mulai proses sejarah perubahannya dengan mengawalinya dengan pilkaya yang lebih demokratis. Tetapi sejarah itu belum final. Ada pernik-pernik harapan yang melapisi prisma Ikamaya. Primasi (kedudukan istimewa) Ikamaya menempati ruang pikiran dan hati "demos" Manggarai Yogyakarta. Setelah teman-teman para ketua organisasi, anggota, praktisi, dan pengamat Ikamaya mengungkapkan adverbium kualitatif tentang peristiwa pilkaya 2011, ada harapan untuk Ikamaya yang lebih visioner. Harapan-harapan agar Ikamaya tidak miopi untuk melihat dan peka terhadap realitas lawa Manggarai. Di pundak ketua Ikamaya terpilih, harapan-harapan itu diletakan. Harapan yang merepresentasikan harapan beratus-ratus anggota organisasinya dan sahabat-sahabat, ase kae, lawa-"demos"-Ikamaya itu adalah bersama agar lebih peka terhadap kehidupan sosial di sekitar kita. Ketua terpilih pun diharapkan dapat lebih menyatukan ase kae lawa Manggarai. Dibawah kepemimpinan ketua terpilih diharapkan supaya solidaritas dan kekeluargaan semakin ditingkatkan. Kepercayaan yang sudah diberikan harus dipelihara dengan baik dengan terus aktif membangun rasa kebersamaan dalam berbagai aktivitas kegiatan direncanakan. The last but not absolutely less, para pengurus Ikamaya harus memiliki integritas dan pribadi yang bertanggung jawab, koperatif, jujur dan selalu optimis. Pesannya kecilnya adalah jangan dan jangan pernah mengeluh! Harapan-harapan ini akan terus didendangkan untuk mengeliminasi ungkapan “post coitum omne animal tristist est” (setelah suatu momen yang baik dan menegangkan, kita sering kehilangan sesuatu yang lebih besar). Akhirnya, "hasil besar tak dapat dicapai dalam sekali gebrak, dan kita harus puas untuk bergerak ke depan selangkah demi selangkah, seperti halnya berjalan", demikian kata Samuel Smiles. Ikamaya pun dapat berubah lebih baik jika terus berjalan bersama dalam erat gandengan tangan. Salut untuk ketua Ikamaya demisioner, profisiat untuk ketua Ikamaya terpilih, dan viva Ikamaya.
Djogja, 06 Februari 2011
Alfred Tuname
Komentar
Posting Komentar