Politik Jalan Dalam Lorong Demokrasi


Lain padang, lain pula belalangnya meski namanya tetap belalang. Demikian juga dengan demokrasi.  Setiap daerah memiliki lorong demokrasinya berbeda meski prinsip universal demokrasi tetap berlaku di sana. Atas dasar inilah demokrasi di ladang Manggarai (Manggarai Timur, Manggarai Tengah dan Manggarai Barat) pun perlu ditilik spesies belalangnya. Belalang berkaki besar atau belalang berkaki kecil. Belalang bersungut atau belalang tak bersungut.

Watak demokrasi sudah dikenal oleh orang-orang Manggarai sebelum universalitas demokrasi tiba di Manggarai. Warisan budaya yang diturunkan dari nenek moyang hingga terpatri dalam benak orang Manggarai modern mencermikan nilai-nilai demokrasi yang pernah didemostrasikan oleh Thersites, tokoh dikenal dari cerita tragi-komedi Troya hingga Barack Husein Obama. Goet-goet (pantun-pantun) merupakan warisan budaya Manggarai yang sedikit banyak mengajarkan cara hidup berdemokrasi. Goet yang berbunyi “nai ca anggi tuka ca leleng, bantang cama reje leleng; muku ca pu’u neka woleng curup, teu ca ambo neka woleng lako” sudah cukup meneteskan nilai-nilai demokrasi dalam realitas kehidupan orang Manggarai. Nilai-nilai itu diterjemahkan dalam kesamaan hak, mufakat dan keadilan. Nilai-nilai ini cukup kuat mempengaruhi dalam kehidupan sosial, budaya dan ekonomi. Namun watak budaya yang patrinealistik, perjalanan demokrasi pun tidak melenggang bebas. Demokrasi seolah masuk dalam lorong kecil. Tetapi penetrasi universalitas demokrasi yang terus-menerus dalam lorong demokrasi Manggarai mengakibatkan penyempitan relasi patron klien yang sudah lama berkubang di tanah Manggarai. Pelan-pelan pola relasi itu mulai ditenggelamkan.

Arus politik setelah era reformasi juga menimbulkan perubahan aras politik Manggarai. Lorong demokrasi pelan-pelan mulai terbuka lebar. Politik tidak lagi dibentangkan atas dasar relasi patron klien tetapi diuntungkan dengan relasi ekonomi. Modal sosial tidak akan pernah berarti tanpa modal ekonomi. Fenomena ini menanjak seiring dengan pragmatisme yang berkembang di masyarakat. Politik pun diarahkan pada pemenuhan dahaga masyarakat pragmatis ini. Dengan demikian, perjalanan menuju puncak kekuasaan dapat diraih dengan kepekaan akan pragmatisme yang terjadi di massa-rakyat.

Infrastruktur yang memadai merupakan kebutuhan yang cukup tinggi di Manggarai. Dengan topografi wilayah yang berbukit dan bergunung, kebutuhan akan aksesibilitas dan mobilitas menjadi sangat tinggi. Jalan raya pun menjadi primadona dalam komiditas politik daerah. Pembangunan jalan raya yang layak bagi masyarakat selain sebagai “jalan” memajukan ekonomi rakyat, pembangunannya juga berperan sebagai strategi politik yang strategis untuk mendapatkan hati raykat. Oleh karenanya, klaim atas pembangunan itu menguntungkan politisi incumbent. Karena jalan sebagai salah satu komoditas politik yang laris maka pembangunan jalan raya sepertinya bukan lagi upaya niat baik pemerintah untuk membantu mobilitas masyarakat untuk memajukan ekonomi dan kesejateraan tetapi semata hanya untuk kepentingan politik. Akibatnya, pembangunan jalan raya menjadi tidak merata. Tidak ada lagi skala prioritas. Pembangunan jalan hanya melihat basis-basis konstituen loyal. Selanjutnya, kemenangan politik dalam suksesi pemimpin daerah adalah semarak rayaan atas jalan politik yang telah dibanguan. Kemanangan adalah balas jasa konstituen pengguna jalan raya. Inilah “do ut des” dalam politik.

Etisnya, politik adalah balas jasa. Moralnya adalah niat baik. Ketika pembangunan jalan adalah “aspal” yang merekatkan rentang keberjarakan masyarakat dalam sirkulasi sosial, budaya dan ekonomi maka rakyat juga punya nurani untuk melihat siapa pemimpin yang layak dan pantas. Niat baik dalam pembangunan jalan direalisasikan dalam takaran kualitas jalan yang layak dan pantas. Etis politiknya akan bersambut dalam konstasi suksesi. Dan mekanisme kontrol terhadap pembangunan tetap dijalankan bersama masyarakat. Hal ini penting untuk menghindari politik yang keluar lintas moral. Artinya, pembangunan jalan yang rating politisnya sangat tinggi sehingga jalan dibuat ala kadar dan di luar standar layak.

Demokrasi di tanah Manggarai pelan-pelan  menjadi lorong kian melebar. Di tengah tabrakan-tabrakan sistem politik baru  dan habitus budaya dan politik lokal, masyarakat mulai bersikap kritis. Sikap kritis ini sangat penting bagi perjalan demokrasi di Manggarai. Sikap kritis ini dipakai untuk menyikapi setiap kebijakan  pemerintah (infrastruktur; jalan, misalnya) dan semua “sengketa” politik lokal yang terjadi meski “virus” pragmatisme juga mulai bertengger dalam masyarakat. Tetapi itu proses demokrasi. Kemelut-kemelutnya harus dinikmati untuk mencapai Manggarai yang lebih baik.

Djogja, 06 Januari 2010
Alfred Tuname




Komentar